Artikel
"Bersahabat" dengan badai
Oleh Sri Muryono
29 Mei 2020 16:47 WIB
Presiden Jokowi menyampaikan pernyataan pers setelah memeriksa persiapan skenario "normal baru" di fasilitas publik, di stasiun MRT bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Selasa (26/5/2020). ANTARA/@setkabgoid/pri. (ANTARA/@setkabgoid)
Jakarta (ANTARA) - Sudah hampir tiga bulan sejak 2 Maret 2020, pemerintah dan rakyat Indonesia berjibaku menghadapi virus corona dengan segala dinamika yang menyertainya.
Hari-hari ini adalah kehidupan yang lunglai dengan keresahan dan kegelisahan dalam diri setiap orang. Entah kapan akan berakhir.
Sementara grafik korban virus yang bermula dari Wuhan (China) itu masih naik, walaupun angka-angka harian yang diumumkan setiap sore menunjukkan fluktuatif. Sering naik, kadang dan pernah turun walaupun hanya beberapa hari saja.
Lihat saja data sekilas ini. Pada Rabu (20/5) jumlah kasus 693, Kamis (21/5) 973, Jumat (22/5) 643, Sabtu (23/5) 949, Minggu (24/5) 526 dan Senin (25/5) 479. Sedangkan Selasa (26/5) 415, Rabu (27/5) 686, Kamis (28/5) 687 dan Jumat (29/5) 678 kasus.
Angka-angka itu menunjukkan perjuangan dalam mengatasi pagebluk ini masih pada masa berat. Semua orang masih menanti dengan harap-harap cemas bagaimana pergerakan grafiknya; masih akan terus naik atau landai dan kemudian turun pada titik paling rendah.
Selama masa penantian dalam ketidakpastian ini, tak banyak yang bisa dilakukan, kecuali mengisi keseharian dengan kegiatan yang bisa dilakukan di rumah. Tentunya dengan tetap menjaga agar tetap sehat lahir dan batin melalui ibadah.
Dalam kenyataannya, virus corona tipe baru (COVID-19) ini telah mengerem berbagai kegiatan dalam kehidupan. Banyak sekali kegiatan dalam kenormalan dengan target-target yang harus dicapai terpaksa dihentikan.
Tiba-tiba semua kenormalan itu harus berubah total. Orang harus menghentikan atau mengurangi kegiatan di ruang publik, kemudian tinggal di rumah dan bekerja dari rumah (bagi yang memungkinkan).
Tak sedikit orang harus menahan tangis dan kesedihan diam-diam karena pekerjaannya terhenti. Juga banyak yang dilanda kepanikan karena takut terpapar virus corona.
Baca juga: Normal baru, AirAsia kembali terbang pada 8 Juni
"Dikalahkan"
Kehidupan ini sedang "dikalahkan" oleh virus corona. Tak sedikit orang sedang memendam tangis dalam batin karena harus "terusir" (sementara) dari pabrik, toko dan kantor-kantornya kemudian harus di rumah saja.
Dalam situasi seperti itu, wabah virus corona tampaknya telah menggiring kehidupan untuk istirahat sejenak kemudian orang harus mengendapkan hati. Terhadap siapapun, virus ini tanpa memandang usia dan status; dari yang tinggal di rumah kontrakan hingga rumah-rumah mewah.
Dalam perenungan pun, virus ini terasa sedang me-"reset" dan me-"start" kehidupan dunia ini untuk bernafas sejenak. Tak dapat dipungkiri pula bahwa dalam masa rebahan berbulan-bulan terpikirkan, virus corona sedang "mengajak" dan "mengajarkan" untuk menjernihkan pikiran.
Juga menata hati dan mengingatkan kembali untuk menemukan kesalahan-kesalahan agar tidak diulangi lagi. Atau meneguhkan jalan baik dalam meniti kehidupan ini.
Dalam rebahan selama bencana global non alam ini, makna-makna itu bisa diperoleh. Itu menguatkan keyakinan bahwa selalu ada makna dan hikmah di balik bencana dan musibah.
Tetapi sampai kapan masa rebahan dan penjernihan pikiran ini? Tak satupun ada yang tahu dan bisa memastikan.
Baca juga: Sambut normal baru, Gojek perkuat standar protokol kesehatan
Keluar Belenggu
Tidak adanya kepastian kapan wabah ini akan berakhir tentu semakin membuat gelisah. Itu karena daya tahan ekonomi dan ketahanan keluarga harus terjaga.
Pekerja tak bisa lebih lama lagi menunggu hingga situasi benar-benar membaik. Selain daya tahan ekonomi keluarga, pabrik atau perkantoran juga tak berhenti terlalu lama karena punya beragam kewajiban.
Bagi keluarga yang tidak mampu, pemerintah tentu saja tidak bisa terus-menerus menjadi sinterklas. Yakinlah pemerintah manapun tidak akan bisa berderma terus kalau ekonomi tidak berputar atau bergerak.
Sementara itu, beragam beban berat juga harus dihadapi perusahaan-perusahaan--tempat bergantung banyak orang dan keluarganya--akibat roda produksi terhenti. Dari persoalan tagihan, gaji, pesangon hingga tunjangan hari raya yang tertunda.
Posko Pengaduan Tunjangan Hari Raya (THR) Kementerian Ketenagakerjaan telah menerima laporan mengenai 336 perusahaan yang dianggap melanggar aturan perihal pembayaran THR keagamaan.
Posko Pengaduan THR pada 11-25 Mei 2020 menerima laporan dari 453 pelapor mengenai 336 perusahaan yang diduga melanggar aturan tentang pembayaran THR.
Baca juga: Kemarin, THR Tim Gubernur batal dipotong hingga rencana buka sekolah
Beragam persoalan itu menjadi pemicu dan pemacu bagi pihak terkait untuk berpikir tentang strategi menyelesaikannya meski ada pandemi. Wacana dan rencana normal baru (new normal) kini membahana ke seantero wilayah Indonesia.
Implementasi dari wacana dan rencana itu kini sedang hangat-hangatnya diperbincangkan publik. Ada pro dan ada pula yang kontra.
Para pejabat pemerintahan dari pusat hingga daerah juga ikut menyampaikan fase-fase yang akan dilakukan. Namun semua itu akan sangat tergantung Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dan Kementerian Kesehatan dalam menyusun "standard operating procedure" (SOP).
Banyak pihak sedang menanti kepastian pemberlakuannya berikut SOP yang harus dijalankan. Dari pengalaman yang sudah dijalankan, upaya menekan rantai penularan virus ini sebenarnya sudah dipahami dan dijalankan tapi perlu dioptimalkan.
Antara lain, selalu menggunakan masker, menjaga jarak fisik (physical distancing), menjaga jarak sosial (social distancing), sering cuci tangan dan hindari kerumunan.
Baca juga: Sepanjang April, penumpang MRT Jakarta hanya 4 ribuan orang
Kalau cuma itu, rasanya selama tiga bulan terakhir sudah banyak yang menjalankan. Hanya saja yang perlu ditekankan adalah pengawasan oleh petugas dan saling mengingatkan antarwarga.
Kini semua pihak sedang menunggu dan bersiap menghadapi suasana kenormalan baru. Ada dua kemungkinan warga atau institusi dalam menghadapi kenormalan baru.
Pertama, langsung "tancap gas", "lepas kopling" dan "gigi pol" serta percaya diri akan bisa beraktivitas secara optimal untuk mengejar target yang telah tertunda selama tiga bulan terakhir.
Pihak-pihak yang masuk kategori ini yakin akan bisa beraktivitas optimal karena sudah menerapkan protokol kesehatan dan SOP untuk menghadapi normal baru. Namun karena tingkat percaya diri yang tinggi semangat mengejar target yang tertinggal tiga bulan justru bisa melupakan protokol kesehatan.
Kedua, tak sedikit orang dan pihak masih ragu, takut dan khawatir menghadapi kenormalan baru mengingat grafik korban COVID-19 yang masih naik pekan ini. Karena itu, memasuki era baru ini dengan sikap "wait and see".
Ibarat berkendara, orang atau pihak di kategori ini memasuki babak normal baru dengan "gigi satu" dengan daya pacu "setengah kopling".
Siapapun orang di dunia ini terutama di Indonesia sedang menghadapi badai yang sama. Tetapi tidak setiap orang ada di perahu yang sama.
Kewaspadaan dan kehati-hatian nahkoda melintasi badai akan menyelamatkan hingga ke pantai dengan keyakinan bahwa "badai pasti berlalu".
Baca juga: PLN siapkan tiga fase pelaksanaan normal baru
Hari-hari ini adalah kehidupan yang lunglai dengan keresahan dan kegelisahan dalam diri setiap orang. Entah kapan akan berakhir.
Sementara grafik korban virus yang bermula dari Wuhan (China) itu masih naik, walaupun angka-angka harian yang diumumkan setiap sore menunjukkan fluktuatif. Sering naik, kadang dan pernah turun walaupun hanya beberapa hari saja.
Lihat saja data sekilas ini. Pada Rabu (20/5) jumlah kasus 693, Kamis (21/5) 973, Jumat (22/5) 643, Sabtu (23/5) 949, Minggu (24/5) 526 dan Senin (25/5) 479. Sedangkan Selasa (26/5) 415, Rabu (27/5) 686, Kamis (28/5) 687 dan Jumat (29/5) 678 kasus.
Angka-angka itu menunjukkan perjuangan dalam mengatasi pagebluk ini masih pada masa berat. Semua orang masih menanti dengan harap-harap cemas bagaimana pergerakan grafiknya; masih akan terus naik atau landai dan kemudian turun pada titik paling rendah.
Selama masa penantian dalam ketidakpastian ini, tak banyak yang bisa dilakukan, kecuali mengisi keseharian dengan kegiatan yang bisa dilakukan di rumah. Tentunya dengan tetap menjaga agar tetap sehat lahir dan batin melalui ibadah.
Dalam kenyataannya, virus corona tipe baru (COVID-19) ini telah mengerem berbagai kegiatan dalam kehidupan. Banyak sekali kegiatan dalam kenormalan dengan target-target yang harus dicapai terpaksa dihentikan.
Tiba-tiba semua kenormalan itu harus berubah total. Orang harus menghentikan atau mengurangi kegiatan di ruang publik, kemudian tinggal di rumah dan bekerja dari rumah (bagi yang memungkinkan).
Tak sedikit orang harus menahan tangis dan kesedihan diam-diam karena pekerjaannya terhenti. Juga banyak yang dilanda kepanikan karena takut terpapar virus corona.
Baca juga: Normal baru, AirAsia kembali terbang pada 8 Juni
"Dikalahkan"
Kehidupan ini sedang "dikalahkan" oleh virus corona. Tak sedikit orang sedang memendam tangis dalam batin karena harus "terusir" (sementara) dari pabrik, toko dan kantor-kantornya kemudian harus di rumah saja.
Dalam situasi seperti itu, wabah virus corona tampaknya telah menggiring kehidupan untuk istirahat sejenak kemudian orang harus mengendapkan hati. Terhadap siapapun, virus ini tanpa memandang usia dan status; dari yang tinggal di rumah kontrakan hingga rumah-rumah mewah.
Dalam perenungan pun, virus ini terasa sedang me-"reset" dan me-"start" kehidupan dunia ini untuk bernafas sejenak. Tak dapat dipungkiri pula bahwa dalam masa rebahan berbulan-bulan terpikirkan, virus corona sedang "mengajak" dan "mengajarkan" untuk menjernihkan pikiran.
Juga menata hati dan mengingatkan kembali untuk menemukan kesalahan-kesalahan agar tidak diulangi lagi. Atau meneguhkan jalan baik dalam meniti kehidupan ini.
Dalam rebahan selama bencana global non alam ini, makna-makna itu bisa diperoleh. Itu menguatkan keyakinan bahwa selalu ada makna dan hikmah di balik bencana dan musibah.
Tetapi sampai kapan masa rebahan dan penjernihan pikiran ini? Tak satupun ada yang tahu dan bisa memastikan.
Baca juga: Sambut normal baru, Gojek perkuat standar protokol kesehatan
Keluar Belenggu
Tidak adanya kepastian kapan wabah ini akan berakhir tentu semakin membuat gelisah. Itu karena daya tahan ekonomi dan ketahanan keluarga harus terjaga.
Pekerja tak bisa lebih lama lagi menunggu hingga situasi benar-benar membaik. Selain daya tahan ekonomi keluarga, pabrik atau perkantoran juga tak berhenti terlalu lama karena punya beragam kewajiban.
Bagi keluarga yang tidak mampu, pemerintah tentu saja tidak bisa terus-menerus menjadi sinterklas. Yakinlah pemerintah manapun tidak akan bisa berderma terus kalau ekonomi tidak berputar atau bergerak.
Sementara itu, beragam beban berat juga harus dihadapi perusahaan-perusahaan--tempat bergantung banyak orang dan keluarganya--akibat roda produksi terhenti. Dari persoalan tagihan, gaji, pesangon hingga tunjangan hari raya yang tertunda.
Posko Pengaduan Tunjangan Hari Raya (THR) Kementerian Ketenagakerjaan telah menerima laporan mengenai 336 perusahaan yang dianggap melanggar aturan perihal pembayaran THR keagamaan.
Posko Pengaduan THR pada 11-25 Mei 2020 menerima laporan dari 453 pelapor mengenai 336 perusahaan yang diduga melanggar aturan tentang pembayaran THR.
Baca juga: Kemarin, THR Tim Gubernur batal dipotong hingga rencana buka sekolah
Beragam persoalan itu menjadi pemicu dan pemacu bagi pihak terkait untuk berpikir tentang strategi menyelesaikannya meski ada pandemi. Wacana dan rencana normal baru (new normal) kini membahana ke seantero wilayah Indonesia.
Implementasi dari wacana dan rencana itu kini sedang hangat-hangatnya diperbincangkan publik. Ada pro dan ada pula yang kontra.
Para pejabat pemerintahan dari pusat hingga daerah juga ikut menyampaikan fase-fase yang akan dilakukan. Namun semua itu akan sangat tergantung Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dan Kementerian Kesehatan dalam menyusun "standard operating procedure" (SOP).
Banyak pihak sedang menanti kepastian pemberlakuannya berikut SOP yang harus dijalankan. Dari pengalaman yang sudah dijalankan, upaya menekan rantai penularan virus ini sebenarnya sudah dipahami dan dijalankan tapi perlu dioptimalkan.
Antara lain, selalu menggunakan masker, menjaga jarak fisik (physical distancing), menjaga jarak sosial (social distancing), sering cuci tangan dan hindari kerumunan.
Baca juga: Sepanjang April, penumpang MRT Jakarta hanya 4 ribuan orang
Kalau cuma itu, rasanya selama tiga bulan terakhir sudah banyak yang menjalankan. Hanya saja yang perlu ditekankan adalah pengawasan oleh petugas dan saling mengingatkan antarwarga.
Kini semua pihak sedang menunggu dan bersiap menghadapi suasana kenormalan baru. Ada dua kemungkinan warga atau institusi dalam menghadapi kenormalan baru.
Pertama, langsung "tancap gas", "lepas kopling" dan "gigi pol" serta percaya diri akan bisa beraktivitas secara optimal untuk mengejar target yang telah tertunda selama tiga bulan terakhir.
Pihak-pihak yang masuk kategori ini yakin akan bisa beraktivitas optimal karena sudah menerapkan protokol kesehatan dan SOP untuk menghadapi normal baru. Namun karena tingkat percaya diri yang tinggi semangat mengejar target yang tertinggal tiga bulan justru bisa melupakan protokol kesehatan.
Kedua, tak sedikit orang dan pihak masih ragu, takut dan khawatir menghadapi kenormalan baru mengingat grafik korban COVID-19 yang masih naik pekan ini. Karena itu, memasuki era baru ini dengan sikap "wait and see".
Ibarat berkendara, orang atau pihak di kategori ini memasuki babak normal baru dengan "gigi satu" dengan daya pacu "setengah kopling".
Siapapun orang di dunia ini terutama di Indonesia sedang menghadapi badai yang sama. Tetapi tidak setiap orang ada di perahu yang sama.
Kewaspadaan dan kehati-hatian nahkoda melintasi badai akan menyelamatkan hingga ke pantai dengan keyakinan bahwa "badai pasti berlalu".
Baca juga: PLN siapkan tiga fase pelaksanaan normal baru
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2020
Tags: