Komnas HAM tanggapi Rancangan Perpres TNI atasi terorisme
29 Mei 2020 13:17 WIB
Dokumentasi - Sejumlah prajurit pasukan khusus Intai Amfibi (Taifib) dan Detasemen Jalamangkara (Denjaka) Korps Marinir TNI AL melakukan defile disela-sela upacara peringatan HUT Ke-69 Korps Marinir di lapangan tembak Bhumi Marinir Karangpilang, Surabaya, Jatim. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/Koz/mes/pri.
Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia memberi tanggapan Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme karena adanya tumpang tindih dengan UU yang lain, di antaranya UU Nomor 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Anggota Komnas HAM, Choriul Anam, di Jakarta, Jumat, menyatakan, "Semua doktrin hukum yang ada, peranan TNI hanya penindakan saja, kalau selebihnya itu dilakukan polisi dan BNPT. Tapi, khan di Perpres itu mengatur semua soal TNI, termasuk soal penindakan yang menyalahi aturan yang ada. Apalagi, operasi teritorial dan operasi intelijen menyalahi prinsip negara hukum."
Ia juga menyarankan DPR untuk menolak Rancangan Perpres yang diajukan pemerintah pada awal Mei lalu. "DPR bisa menolak untuk menindaklanjuti dan bisa mengusulkan untuk menyiapkan RUU Perbantuan TNI," kata dia.
Baca juga: Detasemen Jalamangkara TNI AL bebaskan tawanan teroris
RUU Perbantuan TNI, tambah dia, jauh lebih penting karena TNI bisa melakukan operasi militer selain perang, termasuk membantu menangani terorisme.
"Secara subtansi Perpres itu berbahaya karena potensi pelanggaran hak asasi manusia, di situ ada prosedur yang mengurangi aturan sebelumnya, misal ada penyadapan harus izin ke pengadilan, kemudian penahanan. Tapi di dalam perpres itu tidak diatur," katanya.
Selain itu, lanjut dia, Perpres itu juga bertentangan dengan UU Terorisme dan UU Nomor 34/2004 tentang TNI.
Baca juga: TNI Siagakan Pasukan Antiteror
Perpres itu, kata dia, berpotensi mengembalikan lagi dwifungsi TNI yang tidak sesuai amanat reformasi. Kedua, adalah melampaui batas, kewenangan dan kerangka dasar penanganan teroris yang selama ini ada.
Ia mengingatkan Presiden Joko Widodo agar tidak mensahkan Perpres tugas TNI yang rancangannya sudah diserahkan kepada DPR pada awal Mei 2020.
Baca juga: Komando operasi khusus gabungan dikerahkan latihan gultor
Anggota Komnas HAM, Choriul Anam, di Jakarta, Jumat, menyatakan, "Semua doktrin hukum yang ada, peranan TNI hanya penindakan saja, kalau selebihnya itu dilakukan polisi dan BNPT. Tapi, khan di Perpres itu mengatur semua soal TNI, termasuk soal penindakan yang menyalahi aturan yang ada. Apalagi, operasi teritorial dan operasi intelijen menyalahi prinsip negara hukum."
Ia juga menyarankan DPR untuk menolak Rancangan Perpres yang diajukan pemerintah pada awal Mei lalu. "DPR bisa menolak untuk menindaklanjuti dan bisa mengusulkan untuk menyiapkan RUU Perbantuan TNI," kata dia.
Baca juga: Detasemen Jalamangkara TNI AL bebaskan tawanan teroris
RUU Perbantuan TNI, tambah dia, jauh lebih penting karena TNI bisa melakukan operasi militer selain perang, termasuk membantu menangani terorisme.
"Secara subtansi Perpres itu berbahaya karena potensi pelanggaran hak asasi manusia, di situ ada prosedur yang mengurangi aturan sebelumnya, misal ada penyadapan harus izin ke pengadilan, kemudian penahanan. Tapi di dalam perpres itu tidak diatur," katanya.
Selain itu, lanjut dia, Perpres itu juga bertentangan dengan UU Terorisme dan UU Nomor 34/2004 tentang TNI.
Baca juga: TNI Siagakan Pasukan Antiteror
Perpres itu, kata dia, berpotensi mengembalikan lagi dwifungsi TNI yang tidak sesuai amanat reformasi. Kedua, adalah melampaui batas, kewenangan dan kerangka dasar penanganan teroris yang selama ini ada.
Ia mengingatkan Presiden Joko Widodo agar tidak mensahkan Perpres tugas TNI yang rancangannya sudah diserahkan kepada DPR pada awal Mei 2020.
Baca juga: Komando operasi khusus gabungan dikerahkan latihan gultor
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2020
Tags: