Jayapura (ANTARA News) - Biaya transportasi yang cukup tinggi untuk mendistribusikan barang dari sentra-sentra produksi yang kebanyakan berada di wilayah Indonesia bagian barat, merupakan penyebab utama tingginya harga barang-barang di Papua.

Hal tersebut dikemukakan Ketua Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Paulus Sumino di Jayapura, Selasa menanggapi mahalnya harga barang-barang, khususnya sembako di Papua.

Menurutnya, tingginya harga barang di Papua disebabkan hampir seluruhnya didatangkan dari luar Papua dengan biaya transportasi yang cukup mahal, terutama di daerah-daerah pedalaman yang masih mengandalkan pesawat terbang.

"Ketika barang sudah sampai di Papua, harganya langsung melambung karena sudah dibebani biaya transportasi yang cukup tinggi," tandas Sumino.

Ia mengemukakan, untuk mengendalikan harga, pemerintah daerah seharusnya memiliki badan usaha khusus sehingga bisa mengintervensi perdagangan beberapa barang kebutuhan pokok masyarakat agar bisa dijual dengan harga yang layak dan terjangkau masyarakat.

Sementara itu, Cristian, salah seorang manajer supermarket di Kota Jayapura mengatakan bahwa harga bahan-bahan pokok di Papua tidak berbeda jauh dengan di Pulau Jawa.

"Harga sembako di Papua misalnya, paling-paling naiknya 10 sampai 20 persen saja dibanding harga di Jawa. Beda dengan barang-barang elektronik naiknya bisa 100 sampai 150 persen karena resikonya juga besar," jelas Cristian.

Ia menjelaskan, sebenarnya harga barang-barang yang dijual di supermarket tidak bisa seenaknya dinaikkan karena persaingan yang semakin tinggi. Justru para pengusaha di luar supermarketlah yang sering menaikkan harga barang dalam tingkat yang tinggi.

Kegiatan produksi barang tentunya membutuhkan kondisi yang mendukung seperti bahan baku, tenaga kerja, teknologi, kepastian hukum dan keamanan yang terjamin.

Papua sebagai salah satu provinsi terkaya di Indonesia baik dari segi sumberdaya alam dan manusia, dapat mengembangkan sektor produksi ini jika ada keseriusan pemerintah dan masyarakat untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi investor. (*)