Penurunan harga BBM dinilai berdampak pada pengangguran
28 Mei 2020 12:21 WIB
Petugas meletakkan jeriken berisikan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar untuk layanan pesan antar BBM Pertamina di SPBU Pertamina MT Haryono, Jakarta, Rabu (25/3/2020). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.
Jakarta (ANTARA) - Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria menilai penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) akan berdampak terhadap peningkatan angka pengangguran di Indonesia.
Dalam rilis di Jakarta, Kamis, Sofyano mengatakan di tengah harga minyak dunia yang belum menentu saat ini, memang ada persyaratan agar harga BBM bisa turun, yakni sumur eksplorasi hulu dan kilang minyak di negeri ini harus ditutup semuanya.
Baca juga: Konsumsi BBM lebaran, 18 persen di bawah normal
Selain itu, lanjutnya, produksi hulu migas nasional tidak perlu dibeli PT Pertamina dan melakukan impor 100 persen kebutuhan BBM karena harga sedang murah.
"Dengan cara tersebut, harga BBM dalam negeri akan turun. Tetapi, itu tadi, jutaan orang terancam PHK, sebab jumlah pekerja pada industri hulu migas dan juga sektor pendukung, memang luar biasa besar," ujarnya.
Dia menegaskan tidak hanya Pertamina, tetapi juga KKKS lain, industri jasa pendukung, dan sejumlah sektor ikutan, semua akan terkena dampak.
Menurut dia, memang tidak mudah menurunkan harga BBM karena harga minyak masih sangat berfluktuasi, apalagi saat ini justru dalam tren yang sedang meningkat.
Saat ini tercatat, untuk jenis WTI pada level 34,30 dolar AS/barel dan Brent 36,33 dolar AS/barel, tambahnya, dan diperkirakan masih terus meningkat, setidaknya hingga ke level 50 dolar/barel.
"Makanya, jika harga BBM diturunkan mengikuti harga minyak dunia yang turun, apakah masyarakat serta-merta ikhlas harga BBM dinaikkan jika harga minyak dunia ternyata naik?" ujarnya.
Di sisi lain, Sofyano juga mengingatkan, penurunan harga BBM tidak memberi dampak bagi masyarakat, karena di saat pandemi COVID-19, banyak yang diam di rumah atau menjalankan work from home (WFH).
"Dalam kondisi stay at home dan WFH, masyarakat lebih membutuhkan elpiji dan tarif listrik yang lebih murah ketimbang BBM," katanya.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan juga mengingatkan harga BBM harus disikapi secara komprehensif dan melihat keseluruhan aspek, sebab Pertamina sebagai BUMN energi terbesar di Indonesia tidak hanya mengelola sektor hilir, tetapi juga hulu dan pengolahan atau kilang.
"Ketika kemarin harga minyak dunia jatuh, maka sektor hulu Pertamina paling terpukul. Padahal, hulu adalah penyumbang terbesar pendapatan Pertamina," katanya.
Saat ini, menurut ia, harga minyak dunia sebenarnya sudah mengalami rebound. Bahkan peningkatan untuk WTI sangat tajam dibandingkan ketika berada pada level negatif.
Peningkatan harga tersebut, tambahnya, akan terus terjadi seiring mulai dibukanya beberapa negara terkait kebijakan penguncian, secara otomatis nanti akan ada penambahan permintaan BBM.
Belum lagi kesepakatan OPEC plus untuk memangkas produksi 9,7 juta barel per hari sampai Juni yang dilanjutkan 7,7 juta barel per hari sampai akhir 2020.
"Jadi, bayangkan kalau misalnya kita menurunkan harga BBM, dan Juli harus kita menaikkan kembali. Kalau itu yang terjadi, saya khawatir ada gejolak di masyarakat," kata Mamit.
Baca juga: Harga minyak turun, tertekan ketegangan AS-China dan keraguan OPEC+
Baca juga: Harga minyak kembali naik, Pertamina pilih jaga stabilitas harga BBM
Dalam rilis di Jakarta, Kamis, Sofyano mengatakan di tengah harga minyak dunia yang belum menentu saat ini, memang ada persyaratan agar harga BBM bisa turun, yakni sumur eksplorasi hulu dan kilang minyak di negeri ini harus ditutup semuanya.
Baca juga: Konsumsi BBM lebaran, 18 persen di bawah normal
Selain itu, lanjutnya, produksi hulu migas nasional tidak perlu dibeli PT Pertamina dan melakukan impor 100 persen kebutuhan BBM karena harga sedang murah.
"Dengan cara tersebut, harga BBM dalam negeri akan turun. Tetapi, itu tadi, jutaan orang terancam PHK, sebab jumlah pekerja pada industri hulu migas dan juga sektor pendukung, memang luar biasa besar," ujarnya.
Dia menegaskan tidak hanya Pertamina, tetapi juga KKKS lain, industri jasa pendukung, dan sejumlah sektor ikutan, semua akan terkena dampak.
Menurut dia, memang tidak mudah menurunkan harga BBM karena harga minyak masih sangat berfluktuasi, apalagi saat ini justru dalam tren yang sedang meningkat.
Saat ini tercatat, untuk jenis WTI pada level 34,30 dolar AS/barel dan Brent 36,33 dolar AS/barel, tambahnya, dan diperkirakan masih terus meningkat, setidaknya hingga ke level 50 dolar/barel.
"Makanya, jika harga BBM diturunkan mengikuti harga minyak dunia yang turun, apakah masyarakat serta-merta ikhlas harga BBM dinaikkan jika harga minyak dunia ternyata naik?" ujarnya.
Di sisi lain, Sofyano juga mengingatkan, penurunan harga BBM tidak memberi dampak bagi masyarakat, karena di saat pandemi COVID-19, banyak yang diam di rumah atau menjalankan work from home (WFH).
"Dalam kondisi stay at home dan WFH, masyarakat lebih membutuhkan elpiji dan tarif listrik yang lebih murah ketimbang BBM," katanya.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan juga mengingatkan harga BBM harus disikapi secara komprehensif dan melihat keseluruhan aspek, sebab Pertamina sebagai BUMN energi terbesar di Indonesia tidak hanya mengelola sektor hilir, tetapi juga hulu dan pengolahan atau kilang.
"Ketika kemarin harga minyak dunia jatuh, maka sektor hulu Pertamina paling terpukul. Padahal, hulu adalah penyumbang terbesar pendapatan Pertamina," katanya.
Saat ini, menurut ia, harga minyak dunia sebenarnya sudah mengalami rebound. Bahkan peningkatan untuk WTI sangat tajam dibandingkan ketika berada pada level negatif.
Peningkatan harga tersebut, tambahnya, akan terus terjadi seiring mulai dibukanya beberapa negara terkait kebijakan penguncian, secara otomatis nanti akan ada penambahan permintaan BBM.
Belum lagi kesepakatan OPEC plus untuk memangkas produksi 9,7 juta barel per hari sampai Juni yang dilanjutkan 7,7 juta barel per hari sampai akhir 2020.
"Jadi, bayangkan kalau misalnya kita menurunkan harga BBM, dan Juli harus kita menaikkan kembali. Kalau itu yang terjadi, saya khawatir ada gejolak di masyarakat," kata Mamit.
Baca juga: Harga minyak turun, tertekan ketegangan AS-China dan keraguan OPEC+
Baca juga: Harga minyak kembali naik, Pertamina pilih jaga stabilitas harga BBM
Pewarta: Subagyo
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2020
Tags: