Jakarta (ANTARA News) - Pengembangan pembiayaan perumahan melalui sekuritisasi kredit pembiayaan rumah (KPR) menjadi terobosan mengatasi kesenjangan kebutuhan rumah bagi masyarakat sehingga pembiayaan perumahan tidak lagi sebatas mengandalkan dana deposito perbankan yang diperuntukan sebgai pendanaan jangka pendek, kata Pengamat hukum pembiayaan Dhaniswara Harjono.

"Ini menjadi terobosan bagus yang memerlukan dukungan semua pihak, karena harga rumah menjadi lebih terjangkau dengan pembiayaan jangka panjang," kata Dhaniswara di Jakarta, Senin.

Seperti diketahui, data yang dikeluarkan Kementerian Negara Perumahan Rakyat menyebutkan kebutuhan perumahan mencapai 800.000 unit rumah/tahun. Dilain pihak, terjadi kelangkaan sekitar 340.000 unit rumah setiap tahunnya.

Sebenarnya, lanjut Dhaniswara yang juga doktor hukum Unpad dengan disertasi "Kajian Hukum Pembiayaan Sekunder Perumahan Dalam Sistem Hukum Indonesia" itu, selama ini terjadi salah pengertian di kalangan masyarakat terkait dengan sistem pembiayaan sekunder perumahan dengan "subprime mortage" yang menyebabkan terjadinya krisis keuangan di Amerika Serikat.

Menurut dia, pola pasar sekunder perumahan tidak sama dengan "subprime mortage" yang dikeluarkan di AS.

Terjadinya kegagalan "subprime mortage" di AS disebabkan oleh proses sekuritisasi berlebihan yang dikeluarkan berulang-ulang sehingga terjadi penggelembungan surat utang. "Tapi, pola yang diterapkan satu tahap dalam penjualan sekuritisasi KPR merupakan jenis "prime mortage" yang aman dalam pembiayaan," terangnya.

Apalagi, lanjut dia, rumah yang dibeli investor diperuntukkan buat tempat tinggal, bukan buat investasi. Selain itu, kredit yang diambil juga sudah berjalan beberapa tahun.

Hanya saja, Dhaniswara menambahkan, dalam tahapan selanjutnya, sekuritisasi KPR di pasar sekunder mesti dilakukan menunjuk perusahaan yang mengembang tugas sebagai "Special Purpose Vehicle (SPV)" khusus mengeluarkan surat utang untuk satu KPR. "Jadi keberadaan SPV, hanya khusus satu kali pengeluaran satu KPR tertentu, tidak dilakukan berkali-kali," katanya.

Dengan pola seperti itu, lanjut dia, neraca negatif di perbankan yang membiayai KPR bisa dihapuskan, sehingga beban keuangan perbankan pun menjadi lebih ringan dan bisa untuk alokasi pembiayaan rumah lainnya.

Dukungan terhadap pasar sekunder perumahan sebelumnya dikemukakan Sekretaris Menteri Negara Perumahan Rakyat Iskandar Saleh yang mendorong dikeluarkannya standarisasi dan pendataan rinci KPR sehingga investor mengetahui kondisi kesehatan aset KPR.

Selain itu, diperlukan tranparansi informasi tentang fluktuasi suku bunga KPR. Hal itu untuk memberikan kepastian pada pembeli asset untuk menetapkan harga KPR dan memprediksi arus kas.

Seperti diketahui, tahun 2008, PT Sarana Multigriya Finance (SMF) Persero menandatangani kesepakatan transaksi pengalihan KPR Bank Tabungan Negara (BTN) senilai Rp 500 miliar. Sebelumnya PT SMF mengeluarkan KIK-EBA dengan surat berharga berupa 5.060 tagihan kredit pemilihan rumah (KPR) terpilih dari BTN dengan nilai Rp111,111 miliar dengan tingkat suku bunga 13 per per tahun dan dibayarkan per 3 bulan.(*)