Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah akan menghitung kembali neraca gula nasional menyusul naiknya harga gula saat musim giling, berbeda dari prediksi pemerintah yang memperkirakan turun mulai Juli lalu.

"Kami baru akan rapat besok (Jumat 14/8) di Surabaya untuk menghitung produksi gula sampai Agustus dan taksasi sampai Desember 2009," kata Dirjen Perkebunan Departemen Pertanian, Achmad Manggabarani, melalui pesan singkatnya kepada ANTARA, Kamis.

Pada Januari 2009, harga gula rata-rata nasional masih sebesar Rp6.649 per kg dan terus naik hingga menembus Rp8.050 per kg pada April 2009.

Harga gula naik terus hingga Juni mencapai Rp8.553 per kg. Memang benar harga gula rata-rata nasional Juli mulai turun ke Rp8.468 per kg, namun sepanjang Agustus naik lagi hingga sempat menembus Rp8.700 per kg.

Berdasarkan laporan pemantauan harga dan distribusi barang kebutuhan pokok Departemen Perdagangan, harga gula rata-rata nasional pada Kamis (13/8) mencapai Rp8.713 per kg, naik Rp28 per kilogramnya dibanding hari sebelumnya.

Harga rata-rata nasional selama Agustus naik Rp214 per kg dibanding rata-rata Juli yang sebesar Rp8.682 per kg. Harga tertinggi terjadi di Manokwari sebesar Rp14.300 per kg dan terendah di Banjarmasin sebesar Rp7.450 per kg.

Menteri Pertanian, Anton Apriantono, menilai kenaikan harga gula akan berdampak positif bagi kesejahteraan petani tebu.

"Biarkan harga gula mengikuti mekanisme pasar, lagi pula tidak ada keluhan dari konsumen," ujar Anton.

Pada kesempatan terpisah, Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Depdag, Diah Maulida, mengatakan, kenaikan harga gula lokal kemungkinan terjadi akibat tingginya harga gula internasional yang melampaui 550 dolar AS per ton.

Selain itu, ia menduga pengetatan impor gula rafinasi dan gula kasar selama 2009 ini juga mempengaruhi perkembangan harga gula lokal.

Sementara itu, industri makanan dan minuman khususnya yang berskala kecil ditengarai juga menggunakan gula konsumsi sehingga mendorong kenaikan harga gula lokal.

Diah memastikan pemerintah tidak akan menambah kuota impor gula rafinasi maupun gula kasar. Namun, jika industri gula rafinasi memerlukan tambahan gula kasar masih bisa diberikan dengan mengkonversi sisa kuota impor gula rafinasi menjadi gula kasar.
(*)