Jakarta (ANTARA) - Sejumlah negara menerapkan aturan yang membatasi hak asasi manusia (HAM) sesuai dengan kesepakatan internasional di tengah situasi pandemi COVID-19 demi menciptakan keseimbangan, demikian dijelaskan Dr. Diajeng Wulan Christianti, akademisi bidang Hukum Internasional Universitas Padjadjaran.

Dalam webinar yang digelar oleh Dirjen Kerja Sama Multilateral Kemlu RI, Rabu, Diajeng memaparkan bahwa sejumlah aspek HAM tidak mutlak dan bukan tanpa syarat, kecuali beberapa yang sangat mendasar seperti hak hidup dan hak untuk tidak disiksa.

"Sebagian besar HAM memang bisa dibatasi, dan pembatasan itu dilakukan untuk membuat mekanisme HAM bisa bekerja dengan baik, khususnya menciptakan keseimbangan antara hak individu dengan kepentingan umum yang lebih besar," kata Diajeng.

Pembatasan HAM juga dianggap penting untuk mengatasi konflik antar-HAM, contohnya dalam masa pandemi COVID-19, pembatasan hak untuk bergerak di bawah aturan karantina wilayah atau PSBB di Indonesia dilakukan demi memberikan jaminan atas pemenuhan hak untuk hidup dan sehat.

Pembatasan HAM disebut juga dengan istilah derogasi HAM, yang biasanya dilakukan dalam situasi kedaruratan, dan harus secara resmi diumumkan oleh negara sebagai pengatur kebijakan, sebagaimana tercantum dalam konvensi internasional atau kawasan.

"Kurang lebih ada 31 negara yang sudah mempraktikkan derogasi ini," ujar Diajeng, menambahkan bahwa tidak semua negara mempunyai regulasi nasional yang sama mengenai adopsi aturan derogasi, mengingat dalam konvensi digunakan kata "boleh"--bukan "harus".

"Negara yang melakukan derogasi bukan berarti negara yang buruk, negara yang tidak melakukan derogasi bukan berarti negara yang baik. Karena dalam praktiknya ada negara yang menyatakan tidak memberlakukan derogasi, namun kemudian menerapkan lockdown, misalnya Inggris," Diajeng menjelaskan.

Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa seringkali aturan derogasi HAM disalahgunakan oleh beberapa negara untuk menaikkan kekuasaan politik. Karenanya, hukum HAM mempunyai poin-poin perlindungan agar negara mempraktikkan kebijakan itu sebagai kewajiban untuk melindungi.

"Safeguard (perlindungan) yang diberikan oleh hukum HAM di sini adalah kalau menganggapnya sebagai duty to protect (kewajiban untuk melindungi), jangan menerjemahkannya sebagai duty to repress (kewajiban untuk menindas)," kata Diajeng.

Poin perlindungan lainnya adalah negara harus memastikan bahwa kewajiban untuk melindungi, dengan membatasi hak yang tidak mutlak, tidak melanggar hak lain yang secara mutlak tidak dapat dibatasi dalam situasi apa pun.

Baca juga: Respon atas wabah virus corona berpotensi pengaruhi hak asasi manusia
Baca juga: Soal HAM, mantan Jaksa Agung RI: Perlu ada review soal Hak Asasi