Jakarta (ANTARA News) - Polisi anti teror dari Detasemen Khusus 88 berhasil mengakhiri operasi antiteror dan perburuan teroris paling ambisius sepanjang sejarah penegakkan hukum Indonesia setelah berhasil melumpuhkan gembong teroris Noordin M. Top di sebuah rumah di Kedu, Temanggung, Jawa Tengah.

Kendati polisi belum mengonfirmasikan secara resmi orang yang selama hampir delapanbelas jam dikepung oleh satuan khusus anti terorisme itu, namun media massa berani memastikan orang yang kemudian tewas dalam operasi penyergapan pelaku teror itu adalah Noordin M. Top yang telah diburu hampir delapan tahun.

"Nama saya Noordin M. Top," kata Noordin seperti ditirukan reporter televisi TV One setelah polisi dari Detasemen Khusus 88 mengimbau orang dalam rumah itu untuk menyerah.

Noordin Mohamed Top adalah warga negara Malaysia kelahiran 11 Agustus 1969 dan merupakan tokoh utama dibalik serangan bom di tanah air, termasuk Bom Bali I tahun 2002 dan Bom II 2005 atau bom di Kedutaan Besar Australia di Jakarta, dan terakhir Bom Mega Kuningan tanggal 17 Juli.

Menurut BBC, mantan akuntan ini, adalah orang yang paling dicari pihak berwenang di Asia dan menjadi otak serangkaian serangan bom di Indonesia.

Noordin diduga berperan sebagai perekrut anggota baru utama dan juga penyandang dana untuk kelompok militan regional, Jamaah Islamiyah, namun sejumlah kalangan akhir-akhir ini yakin bahwa Noodin telah membentuk kelompoknya sendiri dan membangun kontak langsung dengan jaringan teroris Alqaeda.

Tokoh yang menjadi sekutu terdekat Noordin, Azahari Husin yang juga warga Malaysia, telah tewas lebih dulu dalam operasi penyergapan serupa pada 2005.

Noordin lari ke Indonesia bersama Azahari Husin setelah pemerintah Malaysia menghancurkan gerakan muslim militan di negeri itu setelah serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat.

Bulan Januari 2006, polisi mengatakan bahwa Noordin M. Top telah menyatakan diri sebagai pemimpin kelompok baru bernama Tanzim Qaedat al-Jihad, yang berarti Kelompok untuk Dasar Jihad.

Para pengamat berspekulasi dia meninggalkan struktur inti Jemaah Islamiah akibat perbedaan pendapat mengenai serangan ke sasaran empuk yang seringkali memakan korban warga sipil banyak.

Bulan April 2006 polisi menggerebek satu rumah di desan Binangun, Jawa Tengah setelah muncul laporan Noordin Top tinggal di sana. Noordin lolos dari penyergapan ini.

Di rumah ini, dua orang yang diduga militan Jemaah Islamiyah tewas dan dua lagi ditangkap dalam aksi tembak menembak yang terjadi dini hari.

Sejumlah bahan peledak kemudian ditemukan di dekat lokasi penggerebakan para pelaku teror itu.

Tiga tahun kemudian Agustus 2009, puluhan polisi dari Densus 88 dan satuan lainnya di Kepolisian, sejak Jumat sore kemarin sampai Sabtu pukul 09.30 WIB, menyergap rumah seorang warga bernama Muhjuhri yang dijadikan persembunyian biang teroris Noordin M. Top di Dusun Beji Desa dan Kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung, Jateng.

Polisi memang belum mengonfirmasi orang yang dikepung dan kemudian tewas itu adalah Noordin M. Top, namun media massa telah melaporkan orang tewas itu adalah Noordin dan tengah dalam identifikasi polisi.

Jika Noordin M. Top tewas dalam operasi perburuan teroris yang dilaporkan langsung dan secara simultan oleh televisi nasional itu, maka mungkin ancaman terorisme terhadap Indonesia berkurang, kendati tidak bisa disebut hilang sama sekali.

Mengenai hal ini, Kepala Desk Antiteror Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Irjen Pol (purn) Ansyaad Mbai, menyatakan, meski gembong terorisme Noordin M. Top dinyatakan tewas dalam pernyerbuan di Temanggung, Jawa Tengah, Sabtu pagi, ancaman terorisme di Indonesia tetap ada.

"Keberadaannya yang lama di Indonesia dengan serangkaian aksi teror yang dilakukannya hingga Juli 2009, menandakan Noordin terus membangun kekuatannya secara rapi dalam bentuk sel-sel. Jaringan yang dibentuk tentu tidak mudah untuk dinyatakan lumpuh, meski Noordin sudah tewas," ujar Ansyaad kepada Rini Utami dari ANTARA, Sabtu.

Namun apapun itu, masyarakat mesti mengapresiasi prestasi polisi yang selalu berhasil menangkap pelaku teror dan merangkai dengan tepat simpul gerak langkah pelaku teror, kendati tidak selalu berhasil mencegah aksi pemboman.

Polisi mampu membangun kepercayaan diri bangsa ini bahwa Indonesia mampu bereaksi cepat namun tepat terhadap aksi kekerasan ekstrem seperti terorisme, tanpa harus ada UU anti terorisme yang cenderung mengekang seperti dikenalkan Singapura atau Malaysia. (*)

Jafar Sidik dari berbagai sumber