Jakarta (ANTARA News) - Jika Ceko mempunyai Vaclav Havel dan Chile memiliki Pablo Neruda, maka Indonesia juga dihuni para pujangga yang mungkin sekaliber dengan keduanya dalam memotori bangkitnya kesadaran nasional dan mendedikasikan hidup untuk memberi jiwa pada masyarakat kering etik dan senjang nurani.
Seorang yang mungkin terbesar diantara itu adalah penyair dan dramawan besar kelahiran Solo, 7 November 1935, Willibrordus Surendra Broto Rendra atau lebih dikenal dengan nama WS Rendra.
Si Burung Merak, demikian dia diakrabi banyak orang, menghentakkan puisi-puisi penuh nilai dan moral serta berenergi dalam membangunkan negeri ini dari tidur pulas karena dipeluk materialisme, ketidakpedulian dan pengabaian, sekaligus menegakkan jiwa-jiwa lunglai karena bekapan tirani, penyimpangan dan kesewenang-wenangan.
Penyair besar yang pernah dimiliki Indonesia ini telah meninggalkan dunia untuk selamanya, tetapi puisi-puisi dan semua karya sastranya, larut abadi di setiap generasi setelahnya. Itu karena puisi-puisi hebat--tentu termasuk karya Rendra-- selalu hidup selamanya.
Para sastrawan percaya bahwa puisi mempunyai kekuatan mengangkat pikiran manusiawi biasa menjadi sebuah realitas yang menggenapkan dan kreatif. Puisi-puisi terbaik bahkan memanggul kekuatan yang membuat manusia memahami akalnya, jauh di luar untaian kata tersurat.
"Tidak ada fakultas ilahiah lain yang mempunyai kekuatan transendental terbesar melebihi batas-batas yang tak berbatas (selain puisi)," kata filsuf dan guru spiritual India, Sri Chinmoy.
Puisi membuat kita bisa sangat merasakan ekspresi hasrat dan pengalaman hidup terdalam kita, kendati untuk mencapai taraf ini kita mesti manunggal dengan puisi dan larut dalam syair puisi.
Inilah yang mungkin membuat sajak-sajak WS Rendra menyihir siapapun, membangkitkan kesadaran kritis dan mendorong kaki kita melangkah, tangan kita meraih dan dahi kita mengernyit, memikirkan kehidupan, termasuk pada medan-medan peka seperti kekuasaan dan politik. Terlebih puisi acap bertutur tentang kritik dan politik.
"Tema puisi itu kehidupan, dan politik adalah bagian dari kehidupan. Puisi ditulis seperti politik dimengerti," kata penyair Inggris keturunan Hongaria, George Szirtes.
Perempuan jurnalis dan penulis Palestina, Lamyaa Hashim, menyebut kekuatan puisi dan karya sastra melebihi kritik politisi dan mengangkangi dahsyatnya tembakan meriam. "Perang terabadikan oleh stanza-stanza. Patriotisme atau kekerabatan menebal (karena puisi)," kata Lamyaa.
Tak heran, penguasa, tiran dan penjajah kerap lebih mencemaskan berondongan kata bersanjak ketimbang umpatan sarkastis dan parade senjata.
Israel misalnya, sangat takut murid-murid Palestina di wilayahnya menulis dan mempelajari puisi karya penyair Palestina, termasuk karya pujangga termasyur Palestina, Mahmoud Darwish.
Saw Wai, pujangga Myanmar, dipenjarakan dua tahun gara-gara menerbitkan puisi delapan bait berisi pesan tersembunyi yang menyebut penguasa tertinggi negeri itu, Jenderal Than Shwe, sebagai jenderal haus kekuasaan.
Puisi-puisi dan karya-karya sastra WS Rendra juga kerap menebarkan kengerian dan ketakutan dari penguasa serupa itu, terutama semasa Orde Baru menitahi Indonesia.
Banyak penyair --seperti juga WS Rendra, Pablo Neruda, Simin Behbahani dari Iran, Wole Soyinka dari Nigeria dan Nurmuhemmet Yasin dari Uighur China -- pernah berurusan dengan polisi, bui dan penjara. Tak sedikit pula yang terpaksa menutup lembaran hidupnya di tangan aparat dan penguasa yang lalim.
Dan seperti sastrawan pembaru lainnya, tidak hanya dipenjara, beberapa karya drama Rendra juga sempat dilarang oleh penguasa, diantaranya "Mastodon dan Burung Kondor."
Sungguh semua perjalanan itu telah dilalui sang ikon sastra Indonesia kontemporer itu, tapi sungguh semua cemoohan dan siksaan tidak membuatnya mengakhiri berkarya, melembutkan kata tajamnya, dan menumpulkan pikiran kritisnya.
Lewat puisi, Rendra mengakrabi kehidupan, bercengkerama dengan Sang Pencipta, mengekspresikan kasih, tegak mendampingi mereka yang tertindas dan terpinggirkan seperti tergambar pada puisi "Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta" dan "Pesan Pencopet Kepada Pacarnya."
Bahkan, di tengah deraan sakit, Rendra mencipta puisi rindunya pada Sang Ilahi, seperti dimuat Kompas.com. Bait-bait terakhir puisi itu berbunyi,
Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah
Tuhan, aku cinta padaMu
Tampak sudah, sepanjang hidupnya, Rendra bernyanyi, mencinta, menangis, mengecam, mengkritik dan berdoa dengan puisi.
Puisi karya penyair Taufik Ismail yang menjadi lirik salah satu lagu Bimbo berikut bisa merangkumkan kehidupan Rendra.
Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Di batas cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian yang akan datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi aku mengutuk
Nafas zaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya. (*)
In Memoriam WS Rendra
7 Agustus 2009 13:19 WIB
( ANTARA/Aditya)
Oleh Jafar M. Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009
Tags: