Pengamat: Pandemi COVID-19 akan tentukan masa depan sektor perpajakan
18 Mei 2020 17:15 WIB
Petugas melayani warga membayar pajak dengan sekat tirai plastik pada etalase Kantor Samsat Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Rabu (6/5/2020). Penggunaan tirai plastik tersebut mengikuti prosedur kesehatan di tempat umum untuk jaga jarak fisik (Physical Distancing) sebagai upaya memutus rantai penyebaran COVID-19. ANTARA FOTO/Makna Zaezar/foc.
Jakarta (ANTARA) - Partner Tax Research & Training Services Danny Darussalam Tax Centre (DDTC) Bawono Kristiaji menilai pandemi COVID-19 akan menentukan masa depan sektor perpajakan suatu negara.
Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin, Bawono mengatakan, wabah COVID-19 telah mengakibatkan kondisi perekonomian global berada di bawah bayang-bayang "double economic shock", baik dari sisi penawaran maupun permintaan.
"Seberapa lama pandemi ini berlangsung dan seberapa dalam dampaknya bagi aktivitas sosial-ekonomi, akan menentukan masa depan sektor perpajakan di Indonesia," ujar Bawono.
Belajar dari berbagai krisis sebelumnya mulai dari depresi besar 1930 hingga krisis keuangan global 2008, kebijakan fiskal yang ekspansif sering kali menjadi opsi yang diambil oleh berbagai begara untuk menyelamatkan ekonomi. Jurus utamanya adalah belanja yang besar dan relaksasi pemungutan pajak.
Baca juga: Penghapusan sanksi pajak daerah diberikan langsung saat COVID-19
Itu sebabnya, lanjut Bawono, penerimaan pajak pada umumnya bakal terkena dua pukulan telak sekaligus. Perlambatan ekonomi secara alamiah mengurangi basis pajak. Di sisi lain, belanja pajak (tax expenditure) sebagai wujud pajak yang bersifat regularend, akan banyak digelontorkan.
Imbasnya, rasio perpajakan (tax ratio) turun drastis. Berdasarkan data World Bank, rata-rata tax ratio dunia turun sekitar 1,5 persen pasca 2008. Penurunan tersebut diakibatkan karena penyusutan Produk Domestik Bruto (PDB).
"Karena itu, langkah yang diambil pemerintah dalam jangka pendek akan berpengaruh pada postur fiskal jangka menengah-panjang. Relaksasi yang saat ini digelontorkan pemerintah akan berimbas pada pemungutan eksesif di masa depan," kata Bawono.
Berkaca dari kondisi pasca terjadinya krisis ekonomi 2008, Bawono menyebutkan setidaknya ada sembilan prediksi terkait masa depan sektor perpajakan.
Pertama, dari defisit menuju konsolidasi fiskal. Untuk menghadapi krisis, pemerintah biasanya merilis kebijakan fiskal yang ekspansif yang biasanya mengakibatkan defisit anggaran.
Baca juga: UI usulkan enam poin rekomendasi perpajakan terkait COVID-19
Seiring berjalannya waktu, pemerintah akan menerapkan konsolidasi fiskal. Hal ini ditandai dengan pengelolaan belanja yang prudent serta optimalisasi penerimaan pajak baik pusat maupun daerah.
Kedua, kebijakan pajak berfokus di sektor pajak pertambahan nilai (PPN). Menurut Bawono, kebijakan perpajakan di banyak negara pasca krisis 2009 lebih banyak berkaitan dengan sektor PPN, entah peningkatan tarif, perluasan basis, maupun pembenahan sistem teknologi informasi (TI) untuk menjamin kepatuhan.
Bawono memperkirakan, pola yang sama kemungkinan besar akan terjadi pasca pandemi COVID-19. Sebab, dibandingkan dengan jenis pajak lainnya, PPN relatif lebih tahan guncangan. Karena itu, pembaharuan kebijakan PPN akan menjadi agenda penting pasca terjadinya pandemi.
Ketiga, upaya mengoreksi penyebab krisis. Pasca krisis, pemerintah pada umumnya akan mencari penyebab dan mengantisipasi faktor yang sekiranya bisa memicu risiko yang sama di kemudian hari.
Bukan tidak mungkin, tutur Bawono, isu mengenai pajak lingkungan, instrumen fiskal dalam rangka pengendalian eksternalitas, dan redesain kebijakan untuk sektor kesehatan akan menjadi agenda di masa mendatang.
Keempat, volatilitas regulasi dan reformasi pajak. Tekanan unuk menanggulangi defisit serta utang dan upaya menjaga stabilitas ekonomi akan mendorong berbagai peurubahan regulasi pajak. Urgensi reformasi pajak, baik yang bersifat komprehensif maupun parsial, akan meningkat tajam.
Kelima, kompetisi pajak. Perubahan sistem pajak, gelontoran insentif, serta penurunan tarif baik PPh badan maupun tarif pajak atas kapital tetap akan terus meningkat dan menjadi favorit pembuat kebijakan.
Bawono memprediksi, insentif pajak penelitian dan pengembangan (litbang) dan untuk tujuan penyerapan tenaga kerja akan menjadi menu andalan banyak negara.
Khusus untuk situasi pasca pandemi, Bawono mengatakan, kompetisi pajak juga turut melibatkan jargon kedaulatan fiskal. Karena itu, di masa mendatang, kebijakan pajak yang melindungi kepentingan nasional dan bersifat unilateral bakal tak terbendung.
Keenam, tren "global tax governance". Di masa mendatang, Bawono mengatakan, sentimen secara global akan memasuki fase baru yang mengarah ke distribusi pajak yang lebih adil.
Ketujuh, terobosan untuk menambal penerimaan pajak. Bawono memperkirakan, penyesuaian ambang batas atau treshold bagi kelompok berpenghasilan rendah, tarif progresif PPh orang pribadi, maupun pajak yang berbasis atas kekayaan, akan semakin dipertimbangkan.
Pemerintah juga akan menggali sumber penerimaan dari cukai. Selama ini cukai hanya dibebankan atas produk rokok, minuman beralkohol, dan etil alkohol. Padahal, ada banyak barang lain yang dapat dikenakan cukai, seperti plastik, minuman berpemanis, dan bahan bakar minyak (BBM).
Kedelapan, strategi otoritas pajak untuk meningkatkan kepatuhan. Pandemi COVID-19 memberikan pelajaran penting bagi seluruh otoritas pajak yaitu kesiapan administrasi pajak berbasis teknologi informasi (TI).
Ke depan, Bawono memprediksi, penggunaan TI akan dikembangkan tidak hanya atas pelayanan dan pelaporan, tapi juga meluas ke arah e-audit, e-access, dan penggunaan artificial intelligence.
Kesembilan, sengketa dan wajib pajak. Perubahan regulasi dan tingginya kebutuhan penerimaan diperkirakan akan meningkatkan jumlah sengketa. Prediksi ini, menurut Bawono, sejatinya mengulang pola yang terjadi pasca krisis 2008.
"Probabilitas prediksi masa depan sektor perpajakan ini akan sangat berbeda antar negara. Selain itu, sejauh mana prediksi ini menjadi kenyataan akan dipengaruhi seberapa lama dan seberapa dalam dampak pandemi COVID-19 terhadap perekonomian," ujar Bawono.
Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin, Bawono mengatakan, wabah COVID-19 telah mengakibatkan kondisi perekonomian global berada di bawah bayang-bayang "double economic shock", baik dari sisi penawaran maupun permintaan.
"Seberapa lama pandemi ini berlangsung dan seberapa dalam dampaknya bagi aktivitas sosial-ekonomi, akan menentukan masa depan sektor perpajakan di Indonesia," ujar Bawono.
Belajar dari berbagai krisis sebelumnya mulai dari depresi besar 1930 hingga krisis keuangan global 2008, kebijakan fiskal yang ekspansif sering kali menjadi opsi yang diambil oleh berbagai begara untuk menyelamatkan ekonomi. Jurus utamanya adalah belanja yang besar dan relaksasi pemungutan pajak.
Baca juga: Penghapusan sanksi pajak daerah diberikan langsung saat COVID-19
Itu sebabnya, lanjut Bawono, penerimaan pajak pada umumnya bakal terkena dua pukulan telak sekaligus. Perlambatan ekonomi secara alamiah mengurangi basis pajak. Di sisi lain, belanja pajak (tax expenditure) sebagai wujud pajak yang bersifat regularend, akan banyak digelontorkan.
Imbasnya, rasio perpajakan (tax ratio) turun drastis. Berdasarkan data World Bank, rata-rata tax ratio dunia turun sekitar 1,5 persen pasca 2008. Penurunan tersebut diakibatkan karena penyusutan Produk Domestik Bruto (PDB).
"Karena itu, langkah yang diambil pemerintah dalam jangka pendek akan berpengaruh pada postur fiskal jangka menengah-panjang. Relaksasi yang saat ini digelontorkan pemerintah akan berimbas pada pemungutan eksesif di masa depan," kata Bawono.
Berkaca dari kondisi pasca terjadinya krisis ekonomi 2008, Bawono menyebutkan setidaknya ada sembilan prediksi terkait masa depan sektor perpajakan.
Pertama, dari defisit menuju konsolidasi fiskal. Untuk menghadapi krisis, pemerintah biasanya merilis kebijakan fiskal yang ekspansif yang biasanya mengakibatkan defisit anggaran.
Baca juga: UI usulkan enam poin rekomendasi perpajakan terkait COVID-19
Seiring berjalannya waktu, pemerintah akan menerapkan konsolidasi fiskal. Hal ini ditandai dengan pengelolaan belanja yang prudent serta optimalisasi penerimaan pajak baik pusat maupun daerah.
Kedua, kebijakan pajak berfokus di sektor pajak pertambahan nilai (PPN). Menurut Bawono, kebijakan perpajakan di banyak negara pasca krisis 2009 lebih banyak berkaitan dengan sektor PPN, entah peningkatan tarif, perluasan basis, maupun pembenahan sistem teknologi informasi (TI) untuk menjamin kepatuhan.
Bawono memperkirakan, pola yang sama kemungkinan besar akan terjadi pasca pandemi COVID-19. Sebab, dibandingkan dengan jenis pajak lainnya, PPN relatif lebih tahan guncangan. Karena itu, pembaharuan kebijakan PPN akan menjadi agenda penting pasca terjadinya pandemi.
Ketiga, upaya mengoreksi penyebab krisis. Pasca krisis, pemerintah pada umumnya akan mencari penyebab dan mengantisipasi faktor yang sekiranya bisa memicu risiko yang sama di kemudian hari.
Bukan tidak mungkin, tutur Bawono, isu mengenai pajak lingkungan, instrumen fiskal dalam rangka pengendalian eksternalitas, dan redesain kebijakan untuk sektor kesehatan akan menjadi agenda di masa mendatang.
Keempat, volatilitas regulasi dan reformasi pajak. Tekanan unuk menanggulangi defisit serta utang dan upaya menjaga stabilitas ekonomi akan mendorong berbagai peurubahan regulasi pajak. Urgensi reformasi pajak, baik yang bersifat komprehensif maupun parsial, akan meningkat tajam.
Kelima, kompetisi pajak. Perubahan sistem pajak, gelontoran insentif, serta penurunan tarif baik PPh badan maupun tarif pajak atas kapital tetap akan terus meningkat dan menjadi favorit pembuat kebijakan.
Bawono memprediksi, insentif pajak penelitian dan pengembangan (litbang) dan untuk tujuan penyerapan tenaga kerja akan menjadi menu andalan banyak negara.
Khusus untuk situasi pasca pandemi, Bawono mengatakan, kompetisi pajak juga turut melibatkan jargon kedaulatan fiskal. Karena itu, di masa mendatang, kebijakan pajak yang melindungi kepentingan nasional dan bersifat unilateral bakal tak terbendung.
Keenam, tren "global tax governance". Di masa mendatang, Bawono mengatakan, sentimen secara global akan memasuki fase baru yang mengarah ke distribusi pajak yang lebih adil.
Ketujuh, terobosan untuk menambal penerimaan pajak. Bawono memperkirakan, penyesuaian ambang batas atau treshold bagi kelompok berpenghasilan rendah, tarif progresif PPh orang pribadi, maupun pajak yang berbasis atas kekayaan, akan semakin dipertimbangkan.
Pemerintah juga akan menggali sumber penerimaan dari cukai. Selama ini cukai hanya dibebankan atas produk rokok, minuman beralkohol, dan etil alkohol. Padahal, ada banyak barang lain yang dapat dikenakan cukai, seperti plastik, minuman berpemanis, dan bahan bakar minyak (BBM).
Kedelapan, strategi otoritas pajak untuk meningkatkan kepatuhan. Pandemi COVID-19 memberikan pelajaran penting bagi seluruh otoritas pajak yaitu kesiapan administrasi pajak berbasis teknologi informasi (TI).
Ke depan, Bawono memprediksi, penggunaan TI akan dikembangkan tidak hanya atas pelayanan dan pelaporan, tapi juga meluas ke arah e-audit, e-access, dan penggunaan artificial intelligence.
Kesembilan, sengketa dan wajib pajak. Perubahan regulasi dan tingginya kebutuhan penerimaan diperkirakan akan meningkatkan jumlah sengketa. Prediksi ini, menurut Bawono, sejatinya mengulang pola yang terjadi pasca krisis 2008.
"Probabilitas prediksi masa depan sektor perpajakan ini akan sangat berbeda antar negara. Selain itu, sejauh mana prediksi ini menjadi kenyataan akan dipengaruhi seberapa lama dan seberapa dalam dampak pandemi COVID-19 terhadap perekonomian," ujar Bawono.
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020
Tags: