ICW minta pembahasan RUU Pemasyarakatan dihentikan
17 Mei 2020 18:45 WIB
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana saat ditemui di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Senin (9/3/2020) (ANTARA/Fathur Rochman)
Jakarta (ANTARA) - Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta pembahasan Rancangan Undang-undang Pemasyarakatan (RUU PAS) dihentikan karena pasal-pasal di dalamnya dinilai akan membahagiakan para koruptor.
"Melihat ketentuan yang tertuang dalam RUU PAS ini rasanya kejahatan korupsi hanya dipandang sebagai tindak kriminal biasa saja oleh DPR dan juga pemerintah. Di saat negara lain sibuk untuk memikirkan isu kesehatan masyarakat, namun DPR bersama Pemerintah justru mengambil langkah keliru dalam proses legislasi," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana melalui pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu.
Baca juga: Mahasiswa Bandung tolak RUU KPK dan KUHP
Baca juga: Anggota DPR minta tunda bahas RKUHP-RUU PAS saat COVID-19
Baca juga: IPW: Pembebasan napi koruptor cederai keadilan dan kepastian hukum
Menurut Kurnia ada sejumlah hal yang perlu dikritisi dari substansi pembahasan RUU Pemasyarakatan. Pertama, ketidakjelasan pemaknaan atas konsep pemberian hak kegiatan rekreasional pada tahanan maupun narapidana (Pasal 7 huruf c dan Pasal 9 huruf c).
"Merujuk pada pernyataan Muslim Ayub, anggota Komisi III fraksi PAN DPR RI, menyebutkan bahwa pengertian dari hak kegiatan rekreasional itu nantinya para tahanan atau pun narapidana berhak berplesiran ke pusat perbelanjaan. Tentu alur logika seperti ini tidak dapat dibenarkan," tegas Kurnia.
Penyebabnya adalah bagaimana mungkin seseorang yang sedang berada dalam tahanan atau pun pelaku kejahatan yang sudah terbukti bersalah dibenarkan melakukan kunjungan ke tempat-tempat hiburan.
Data yang dihimpun ICW setidaknya mencatat 7 terpidana yang diduga melakukan plesiran saat menjalani masa hukuman di Lapas.
Mereka adalah Luthfi Hasan Ishaq (mantan Presiden PKS, kasus suap impor daging sapi), Anggoro Widjojo (swasta, kasus pengadaan sistem komunikasi radio terpadu di Departemen Kehutanan), Romi Herton (mantan Walikota Palembang, kasus suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi), Masyito (swasta, kasus suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi), Rachmat Yasin (mantan Walikota Bogor, suap tukar menukar lahan), Nazarudin (mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, kasus suap pembangunan Wisma Atlet Hambalang) dan Setya Novanto (mantan Ketua DPR RI, kasus pengadaan KTP Elektronik).
"Penting untuk dicatat, data-data dugaan plesiran ini untuk membantah logika frasa 'hak kegiatan rekreasional' sebagaimana dicantumkan dalam RUU PAS. Sederhananya, dengan RUU PAS diprediksi akan semakin marak narapidana-narapidana yang akan melakukan plesiran di saat menjalani masa hukuman," ungkap Kurnia.
Kedua, ketiadaan syarat khusus bagi narapidana korupsi untuk mendapatkan remisi, cuti menjelang bebas maupun pembebasan bersyarat. Hal tersebut merujuk pada Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
"Praktis persyaratan narapidana kasus korupsi untuk kemudian mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat hanya berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan, telah menunjukkan penurunan tingkat risiko, dan untuk bagian cuti menjelang bebas dan pembebasan bersyarat mencantumkan ketentuan kewajiban telah menjalani dua per tiga dari masa pidana. Ini menandakan pola pikir pembentuk UU ingin menyamaratakan perlakuan narapidana korupsi dengan narapidana tindak pidana umum lainnya," jelas Kurnia.
Ketiga, RUU PAS menghapus ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) No 99 tahun 2012 lalu mengembalikan pada PP Nomor 32 Tahun 1999. Artinya terjadi kemunduran pola pikir dari pembentuk UU, sebab PP No 99 tahun 2012 sebenarnya merupakan regulasi yang progresif untuk menggambarkan konteks kejahatan korupsi sebagai "extraordinary crime".
"Sebab, dalam PP 99/2012 terdapat beberapa syarat khusus bagi narapidana korupsi untuk bisa mendapatkan remisi, asimiliasi maupun pembebasan bersyarat, mulai dari harus menjadi 'justice collaborator' dan membayar lunas denda dan uang pengganti untuk mendapatkan remisi dan mewajibkan Direktur Jenderal Pemasyarakatan meminta rekomendasi dari penegak hukum sebelum memberikan asimilasi atau pembebasan bersyarat. Pengetatan model seperti ini tidak terakomodir dalam PP/32/1999." ungkap Kurnia.
Di luar dari substansi RUU PAS, terdapat beberapa poin yang harus dipertimbangkan oleh DPR dan Pemerintah sebelum melanjutkan pembahasan regulasi ini.
"Misalnya momentum yang tidak tepat, semestinya DPR dan pemerintah mengedepankan aspek kesehatan masyarakat dengan mengeluarkan paket kebijakan atau pun regulasi yang mendukung hal tersebut. Namun yang dilakukan justru sebaliknya, DPR dan pemerintah justru ingin mempercepat produk legislasi bermasalah seperti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, RUU Cipta Kerja, RUU Mahkamah Konstitusi, dan RUU PAS," tegas Kurnia.
Pembahasan RUU PAS juga bertentangan dengan suara masyarakat yang pada September 2019 lalu menolak beberapa rancangan regulasi termasuk RUU PAS. Bahkan saat ini terdapat sebuah petisi di kanal change.org terkait penolakan RUU PAS yang telah ditandatangani lebih dari 13 ribu orang.
Baca juga: Firli Bahuri sebut giat OTT tinggal menunggu waktu
Baca juga: ICW: Dewas seharusnya tegur pimpinan KPK soal kinerja
Baca juga: ICW: Rossa dikembalikan ke Polri, langgar prosedur semakin terang
"Selain itu RUU PAS juga menjauhkan pemberian efek jera kepada pelaku kejahatan korupsi karena keberadaan lapas menjadi ujung dari proses penanganan sebuah perkara, publik berharap lapas dapat menjadi tempat para narapidana korupsi menjalani masa hukuman atas kejahatan yang telah dilakukan tapi jika di dalam lapas saja para pelaku kejahatan korupsi dapat dengan mudah mendapatkan pengurangan hukuman maka tentu pemberian efek jera tidak akan pernah maksimal," tambah Kurnia.
Selanjutnya, RUU PAS juga menegasikan Kesepakatan "United Nation Convention Against Corruption" yang dalam pasal 30 ayat menyebutkan bahwa negara peserta diwajibkan memperhitungkan ringan/beratnya kejahatan pelaku ketika mempertimbangkan kemungkinan pembebasan yang dipercepat atau pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi. Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi UNCAC dalam UU Nomor 7 Tahun 2006.
RUU PAS juga mengabaikan Putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi meski pemerintah berdalih adanya isu pelanggaran hak asasi manusia dalam PP No 99 tahun 2012.
"Dasar berpikir seperti itu bertentangan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 51 Tahun 2013 yang menegaskan bahwa PP 99/2012 menjadi cermin keadilan karena menunjukkan pembedaan antara kejahatan biasa dengan kejahatan yang menelan biaya tinggi secara sosial, ekonomi, dan politik," ungkap Kurnia.
Tak hanya itu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54 Tahun 2017 juga menegaskan bahwa pengetatan pemberian remisi dalam UU No 12 Tahun 1995 yang diatur lebih detail dalam PP 99/2012 tidak bertentangan dengan konstitusi serta tidak juga melanggar HAM.
"Sebab, remisi merupakan hak hukum bagi seorang narapidana korupsi dan jika ingin mendapatkannya wajib memenuhi persyaratan sebagaimana yang tetuang dalam PP 99/2012," kata Kurnia.
Baca juga: ICW pertanyakan tuntutan ringan terhadap Kader PDIP Saeful Bahri
Baca juga: ICW kritik siaran pers Firli yang menyebut "tidak koar-koar ke media"
"Melihat ketentuan yang tertuang dalam RUU PAS ini rasanya kejahatan korupsi hanya dipandang sebagai tindak kriminal biasa saja oleh DPR dan juga pemerintah. Di saat negara lain sibuk untuk memikirkan isu kesehatan masyarakat, namun DPR bersama Pemerintah justru mengambil langkah keliru dalam proses legislasi," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana melalui pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu.
Baca juga: Mahasiswa Bandung tolak RUU KPK dan KUHP
Baca juga: Anggota DPR minta tunda bahas RKUHP-RUU PAS saat COVID-19
Baca juga: IPW: Pembebasan napi koruptor cederai keadilan dan kepastian hukum
Menurut Kurnia ada sejumlah hal yang perlu dikritisi dari substansi pembahasan RUU Pemasyarakatan. Pertama, ketidakjelasan pemaknaan atas konsep pemberian hak kegiatan rekreasional pada tahanan maupun narapidana (Pasal 7 huruf c dan Pasal 9 huruf c).
"Merujuk pada pernyataan Muslim Ayub, anggota Komisi III fraksi PAN DPR RI, menyebutkan bahwa pengertian dari hak kegiatan rekreasional itu nantinya para tahanan atau pun narapidana berhak berplesiran ke pusat perbelanjaan. Tentu alur logika seperti ini tidak dapat dibenarkan," tegas Kurnia.
Penyebabnya adalah bagaimana mungkin seseorang yang sedang berada dalam tahanan atau pun pelaku kejahatan yang sudah terbukti bersalah dibenarkan melakukan kunjungan ke tempat-tempat hiburan.
Data yang dihimpun ICW setidaknya mencatat 7 terpidana yang diduga melakukan plesiran saat menjalani masa hukuman di Lapas.
Mereka adalah Luthfi Hasan Ishaq (mantan Presiden PKS, kasus suap impor daging sapi), Anggoro Widjojo (swasta, kasus pengadaan sistem komunikasi radio terpadu di Departemen Kehutanan), Romi Herton (mantan Walikota Palembang, kasus suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi), Masyito (swasta, kasus suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi), Rachmat Yasin (mantan Walikota Bogor, suap tukar menukar lahan), Nazarudin (mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, kasus suap pembangunan Wisma Atlet Hambalang) dan Setya Novanto (mantan Ketua DPR RI, kasus pengadaan KTP Elektronik).
"Penting untuk dicatat, data-data dugaan plesiran ini untuk membantah logika frasa 'hak kegiatan rekreasional' sebagaimana dicantumkan dalam RUU PAS. Sederhananya, dengan RUU PAS diprediksi akan semakin marak narapidana-narapidana yang akan melakukan plesiran di saat menjalani masa hukuman," ungkap Kurnia.
Kedua, ketiadaan syarat khusus bagi narapidana korupsi untuk mendapatkan remisi, cuti menjelang bebas maupun pembebasan bersyarat. Hal tersebut merujuk pada Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
"Praktis persyaratan narapidana kasus korupsi untuk kemudian mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat hanya berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan, telah menunjukkan penurunan tingkat risiko, dan untuk bagian cuti menjelang bebas dan pembebasan bersyarat mencantumkan ketentuan kewajiban telah menjalani dua per tiga dari masa pidana. Ini menandakan pola pikir pembentuk UU ingin menyamaratakan perlakuan narapidana korupsi dengan narapidana tindak pidana umum lainnya," jelas Kurnia.
Ketiga, RUU PAS menghapus ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) No 99 tahun 2012 lalu mengembalikan pada PP Nomor 32 Tahun 1999. Artinya terjadi kemunduran pola pikir dari pembentuk UU, sebab PP No 99 tahun 2012 sebenarnya merupakan regulasi yang progresif untuk menggambarkan konteks kejahatan korupsi sebagai "extraordinary crime".
"Sebab, dalam PP 99/2012 terdapat beberapa syarat khusus bagi narapidana korupsi untuk bisa mendapatkan remisi, asimiliasi maupun pembebasan bersyarat, mulai dari harus menjadi 'justice collaborator' dan membayar lunas denda dan uang pengganti untuk mendapatkan remisi dan mewajibkan Direktur Jenderal Pemasyarakatan meminta rekomendasi dari penegak hukum sebelum memberikan asimilasi atau pembebasan bersyarat. Pengetatan model seperti ini tidak terakomodir dalam PP/32/1999." ungkap Kurnia.
Di luar dari substansi RUU PAS, terdapat beberapa poin yang harus dipertimbangkan oleh DPR dan Pemerintah sebelum melanjutkan pembahasan regulasi ini.
"Misalnya momentum yang tidak tepat, semestinya DPR dan pemerintah mengedepankan aspek kesehatan masyarakat dengan mengeluarkan paket kebijakan atau pun regulasi yang mendukung hal tersebut. Namun yang dilakukan justru sebaliknya, DPR dan pemerintah justru ingin mempercepat produk legislasi bermasalah seperti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, RUU Cipta Kerja, RUU Mahkamah Konstitusi, dan RUU PAS," tegas Kurnia.
Pembahasan RUU PAS juga bertentangan dengan suara masyarakat yang pada September 2019 lalu menolak beberapa rancangan regulasi termasuk RUU PAS. Bahkan saat ini terdapat sebuah petisi di kanal change.org terkait penolakan RUU PAS yang telah ditandatangani lebih dari 13 ribu orang.
Baca juga: Firli Bahuri sebut giat OTT tinggal menunggu waktu
Baca juga: ICW: Dewas seharusnya tegur pimpinan KPK soal kinerja
Baca juga: ICW: Rossa dikembalikan ke Polri, langgar prosedur semakin terang
"Selain itu RUU PAS juga menjauhkan pemberian efek jera kepada pelaku kejahatan korupsi karena keberadaan lapas menjadi ujung dari proses penanganan sebuah perkara, publik berharap lapas dapat menjadi tempat para narapidana korupsi menjalani masa hukuman atas kejahatan yang telah dilakukan tapi jika di dalam lapas saja para pelaku kejahatan korupsi dapat dengan mudah mendapatkan pengurangan hukuman maka tentu pemberian efek jera tidak akan pernah maksimal," tambah Kurnia.
Selanjutnya, RUU PAS juga menegasikan Kesepakatan "United Nation Convention Against Corruption" yang dalam pasal 30 ayat menyebutkan bahwa negara peserta diwajibkan memperhitungkan ringan/beratnya kejahatan pelaku ketika mempertimbangkan kemungkinan pembebasan yang dipercepat atau pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi. Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi UNCAC dalam UU Nomor 7 Tahun 2006.
RUU PAS juga mengabaikan Putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi meski pemerintah berdalih adanya isu pelanggaran hak asasi manusia dalam PP No 99 tahun 2012.
"Dasar berpikir seperti itu bertentangan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 51 Tahun 2013 yang menegaskan bahwa PP 99/2012 menjadi cermin keadilan karena menunjukkan pembedaan antara kejahatan biasa dengan kejahatan yang menelan biaya tinggi secara sosial, ekonomi, dan politik," ungkap Kurnia.
Tak hanya itu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54 Tahun 2017 juga menegaskan bahwa pengetatan pemberian remisi dalam UU No 12 Tahun 1995 yang diatur lebih detail dalam PP 99/2012 tidak bertentangan dengan konstitusi serta tidak juga melanggar HAM.
"Sebab, remisi merupakan hak hukum bagi seorang narapidana korupsi dan jika ingin mendapatkannya wajib memenuhi persyaratan sebagaimana yang tetuang dalam PP 99/2012," kata Kurnia.
Baca juga: ICW pertanyakan tuntutan ringan terhadap Kader PDIP Saeful Bahri
Baca juga: ICW kritik siaran pers Firli yang menyebut "tidak koar-koar ke media"
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2020
Tags: