Akademisi: Omnibus Law mampu pangkas ego sektoral antarkementerian
15 Mei 2020 16:46 WIB
Ilustrasi - pekerja konstruksi, yang juga bakal menjadi cakupan dalam omnibus law yaitu terkait UU Cipta Kerja. (Dokumentasi Kementerian PUPR)
Jakarta (ANTARA) - Praktisi dan akademisi hukum administrasi negara Universitas Indonesia Hari Prasetiyo menilai bahwa metode Omnibus Law dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja sangat mungkin mampu memangkas ego sektoral yang selama ini terjadi di berbagai kementerian.
"Secara prinsip, Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini menguatkan wewenang presiden, reposisi kewenangan presiden. Ini penting untuk memangkas ego sektoral antarkementerian bahkan ego dari pemerintahan daerah," kata Hari lewat keterangannya dalam diskusi virtual, Jumat.
Menurut Hari, ego sektoral kerap kali muncul karena di tiap kewenangan yang diberikan kepada kementerian disahkan melalui Undang-Undang. Padahal, posisi menteri adalah pembantu presiden dalam pemerintahan.
Baca juga: Apkasindo dukung pemerintah segera selesaikan RUU Cipta Kerja
"Kalau kewenangannya diatur dalam UU, ketika overlap dengan kebijakan pemerintah, kewenangannya tidak bisa disesuaikan oleh presiden. Harus lagi dibahas dengan DPR. Ini kan jadi hambatan juga dalam regulasi," kata Hari.
Selain itu, lanjut Hari, terdapat peraturan-peraturan menteri yang seringkali tumpang tindih. Dalam metode Omnibus Law yang digunakan dalam RUU Cipta Kerja, kewenangan kementerian ini cukup diberikan melalui aturan lanjutan tanpa harus membuat UU baru.
"Bisa cukup diatur dalam Peraturan Presiden, atau Peraturan Pemerintah (PP) sehingga ketika nanti kewenangannya dirasa overlap, presiden bisa tinggal cabut saja," kata Hari melanjutkan.
Baca juga: Pengamat minta giatkan sosialisasi RUU Cipta Kerja
Terkait otonomi daerah dan peraturan daerah (Perda) yang juga sering menjadi hambatan investasi, Hari menekankan bahwa otonomi daerah pada hakikatnya pembagian kewenangan kepada daerah oleh pemerintah pusat.
"Kita ini bukan negara federal, tapi negara kesatuan. Harus diingat bahwa pemerintah daerah, kepala daerah dan DPRD, termasuk pembantu presiden juga. Fungsinya adalah representasi pemerintah pusat di daerahnya masing-masing," kata Hari pengajar tetap di Fakultas Hukum UI itu.
Menjadi salah ketika para kepala daerah dan DPRD mengeluarkan perda yang justru bertentangan atau menghambat tujuan pemerintah pusat. Hari juga mengingatkan bahwa Perda sejatinya bukan produk legislatif karena DPRD tidak mendapatkan kewenangan dari DPR.
"DPRD itu bagian dari pemerintah daerah yang kewenangannya diberikan oleh pemerintah pusat," kata Hari.
Kontroversi yang muncul di RUU Cipta Kerja adalah kewenangan presiden bisa mencabut Perda. Padahal, lanjut dia, sudah ada aturan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan kewenangan tersebut.
"Pembatalan Perda oleh Presiden ini memang sudah pernah ada aturan MK-nya, tapi kita perlu ingat saat itu terjadi dissenting opinion juga dari empat hakim. Jadi secara akademik, masih sangat mungkin didiskusikan," pungkas Hari.
"Secara prinsip, Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini menguatkan wewenang presiden, reposisi kewenangan presiden. Ini penting untuk memangkas ego sektoral antarkementerian bahkan ego dari pemerintahan daerah," kata Hari lewat keterangannya dalam diskusi virtual, Jumat.
Menurut Hari, ego sektoral kerap kali muncul karena di tiap kewenangan yang diberikan kepada kementerian disahkan melalui Undang-Undang. Padahal, posisi menteri adalah pembantu presiden dalam pemerintahan.
Baca juga: Apkasindo dukung pemerintah segera selesaikan RUU Cipta Kerja
"Kalau kewenangannya diatur dalam UU, ketika overlap dengan kebijakan pemerintah, kewenangannya tidak bisa disesuaikan oleh presiden. Harus lagi dibahas dengan DPR. Ini kan jadi hambatan juga dalam regulasi," kata Hari.
Selain itu, lanjut Hari, terdapat peraturan-peraturan menteri yang seringkali tumpang tindih. Dalam metode Omnibus Law yang digunakan dalam RUU Cipta Kerja, kewenangan kementerian ini cukup diberikan melalui aturan lanjutan tanpa harus membuat UU baru.
"Bisa cukup diatur dalam Peraturan Presiden, atau Peraturan Pemerintah (PP) sehingga ketika nanti kewenangannya dirasa overlap, presiden bisa tinggal cabut saja," kata Hari melanjutkan.
Baca juga: Pengamat minta giatkan sosialisasi RUU Cipta Kerja
Terkait otonomi daerah dan peraturan daerah (Perda) yang juga sering menjadi hambatan investasi, Hari menekankan bahwa otonomi daerah pada hakikatnya pembagian kewenangan kepada daerah oleh pemerintah pusat.
"Kita ini bukan negara federal, tapi negara kesatuan. Harus diingat bahwa pemerintah daerah, kepala daerah dan DPRD, termasuk pembantu presiden juga. Fungsinya adalah representasi pemerintah pusat di daerahnya masing-masing," kata Hari pengajar tetap di Fakultas Hukum UI itu.
Menjadi salah ketika para kepala daerah dan DPRD mengeluarkan perda yang justru bertentangan atau menghambat tujuan pemerintah pusat. Hari juga mengingatkan bahwa Perda sejatinya bukan produk legislatif karena DPRD tidak mendapatkan kewenangan dari DPR.
"DPRD itu bagian dari pemerintah daerah yang kewenangannya diberikan oleh pemerintah pusat," kata Hari.
Kontroversi yang muncul di RUU Cipta Kerja adalah kewenangan presiden bisa mencabut Perda. Padahal, lanjut dia, sudah ada aturan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan kewenangan tersebut.
"Pembatalan Perda oleh Presiden ini memang sudah pernah ada aturan MK-nya, tapi kita perlu ingat saat itu terjadi dissenting opinion juga dari empat hakim. Jadi secara akademik, masih sangat mungkin didiskusikan," pungkas Hari.
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020
Tags: