Moskow (ANTARA News/Reuters) - Rusia hari Rabu memerintahkan seorang diplomat Ukraina meninggalkan negara itu dalam apa yang mereka sebut sebagai pembalasan atas pengusiran Kiev pekan lalu terhadap seorang diplomat Rusia yang bertanggung jawab atas Armada Laut Hitam.

Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan dalam sebuah pernyataan, mereka memanggil duta besar Ukraina untuk Moskow pada Rabu dan mengeluhkan "tindakan-tindakan terbuka anti-Rusia".

Rusia memerintahkan seorang penasihat di kedutaan Ukraina tersebut "segera mengakhiri misinya," katanya.

Moskow menyewa sebuah pangkalan untuk Armada Laut Hitam di Sevastopol, sebuah daerah pelabuhan di Semenanjung Crimea yang dihuni sebagian besar etnik Rusia. Pangkalan itu menjadi duri dalam hubungan antara Moskow dan Kiev sejak kemerdekaan Ukraina pada 1991.

Di tengah meningkatnya ketegangan menyangkut masa depan pangkalan itu, yang sewanya berakhir pada 2017, seorang pejabat Rusia yang berkantor di Ukraina mengatakan bahwa ia bersiap-siap meninggalkan negara itu.

Polisi Ukraina kemudian menghentikan konvoi kendaraan militer Rusia di kota yang menjadi pangkalan armada tersebut, dalam apa yang mereka sebut pelanggaran atas sebuah perjanjian bilateral.

Hubungan antara kedua negara itu juga memburuk akibat upaya Ukraina menjadi anggota aliansi militer NATO dan perselisihan mengenai ongkos pengiriman gas Rusia ke Eropa melalui pipa saluran gas Ukraina.

Rusia juga mengalami masalah hubungan dengan negara lain tetangganya, Georgia, dan bahkan terlibat perang singkat dengan republik eks-Uni Sovyet itu.

Pasukan Rusia memasuki Georgia untuk mematahkan upaya militer Georgia menguasai lagi Ossetia Selatan pada 7-8 Agustus 2008. Perang lima hari pada Agustus itu meletus ketika Tbilisi berusaha memulihkan kekuasannya dengan kekuatan militer di kawasan Ossetia Selatan yang memisahkan diri dari Georgia pada 1992, setelah runtuhnya Uni Sovyet.

Georgia dan Rusia tetap berselisih setelah perang singkat antara mereka pada tahun lalu itu. Hubungan Rusia dengan negara-negara Barat memburuk setelah perang tersebut.

Selain Ossetia Selatan, Abkhazia juga memisahkan diri dari Georgia pada awal 1990-an. Kedua wilayah separatis itu bergantung hampir sepenuhnya pada Rusia atas bantuan finansial, militer dan diplomatik.

Georgia tetap mengklaim kedaulatan atas kedua wilayah tersebut dan mendapat dukungan dari Barat

Ossetia Selatan pada 11 Maret menyatakan akan mengizinkan pasukan Rusia menggunakan wilayah tersebut untuk pangkalan militer selama 99 tahun.

Pemimpin Abkhazia Sergei Bagapsh juga mengatakan sebelumnya pada Maret, provinsi itu akan segera menandatangani sebuah perjanjian yang mengizinkan Rusia membangun sebuah pangkalan di wilayah separatis lain Georgia itu untuk kurun waktu 49 tahun.

Rencana Rusia untuk tetap menempatkan ribuan prajurit di Abkhazia dan Ossetia Selatan telah membuat marah Tbilisi dan sekutu-sekutu Barat-nya, yang mengatakan bahwa hal itu melanggar gencatan senjata yang mengakhiri perang.

Pengakuan Moskow atas kemerdekaan kedua wilayah itu menyulut kecaman dari Georgia dan banyak negara Barat.

Rusia meresmikan pengakuannya atas kemerdekaan kedua wilayah Georgia yang memisahkan diri itu, Ossetia Selatan dan Abkhazia, pada 16 Januari ketika Presiden Dmitry Medvedev menerima duta-duta besar pertama mereka yang bersanding sejajar dengan para duta besar dari negara anggota NATO.

Nikaragua memberikan "pengakuan penuh" kepada republik-republik Abkhazia dan Ossetia Selatan sebagai "anggota baru komunitas negara merdeka dunia".(*)