Jakarta (ANTARA News) - Dewan Kedelai Indonesia menyatakan bahwa kebutuhan kedelai dalam negeri, 90 persennya masih dipenuhi melalui impor dari Amerika Serikat, Kanada, dan Brazil.

"Petani kita tidak bergairah menanam kedelai karena harga yang tidak menarik bagi petani. Petani lebih suka tanam jagung yang sudah punya standar harga bahkan cenderung naik," kata Ketua Dewan Kedelai Indonesia Benny A Kusbini dalam Simposium Jagung dan Kedelai di Jakarta, Rabu.

Menurut Benny, ada segelintir importir yang memang tidak menginginkan Indonesia swasembada kedelai. Mereka menganggap kalau produksi meningkat, maka bisa mengganggu kestabilan bisnis importir.

"Ini soal bisnis. Selama kondisi perekonomian kita masih begini terus maka kebutuhan kedelai dalam negeri sulit dipenuhi oleh produksi dalam negeri sendiri," katanya.

Benny mengatakan, produksi kedelai dalam negeri akan terus menurun seiring dengan semakin menyembitnya lahan produksi. Penyebab lain katanya, banyak petani yang menanam kedelai hanya sekadar sebagai tanaman sela, sehingga tidak banyak petani yang benar-benar mengembangkan kedelai.

"Masalah lain adalah masalah klasik yakni keterbatasan infrastruktur dan teknologi. Pengeringan misalnya, petani kita hanya mengandalkan matahari," kata Benny.

Benny mencontohkan, petani kedelai di Jambi tidak bisa melakukan ekspor karena tidak didukung dengan pelabuhan. Untuk aktivitas ekspor, harus melalui Jakarta.

Terkait dengan lahan perkebunan yang semakin menipis, penurunannya sangat drastis. Dia mencontohkan, pada tahun 1992 luas areal panen perkebunan kedelai masih mencapai 1.665.706 hektare dengan jumlah produksi mencapai 1,8 juta ton.

Tahun 2001 luas areal menurun menjadi 678.484 hektare yang kemampuan produksinya hanya 826.932 ton. Tahun 2009 ini menurun lagi menjadi 638.103 hektare yang jumlah produksinya diperkirakan mencapai 850.226 hektar.

"Ini bisa menjadi ancaman karena kebutuhan kedelai akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan terus berkembangnya industri pangan, tahu, tempe, susu dan pangan olahan lainnya," kata Benny.

Berbeda dengan Induk Koperasi Pengrajin Tahu dan Tempe (Kopti). Menurut Ketua Induk Kopti, Sutaryo, kebutuhan kacang kedelai dalam negeri 70 persen diantaranya dipenuhi oleh impor. Hanya 30 persen kebutuhan kacang dan kedelai bisa dipasok dari dalam negeri.

"Kebutuhan kacang kedelai dalam negeri mencapai dua juta ton per tahun. Sekitar 70 persen kebutuhan itu diimpor," kata Sutaryo.

Terjadinya perbedaan persentase impor antara Kopti dan Dewan Kedelai kata Sutaryo karena Dewan Kedelai juga memasukkan kebutuhan susu kedelai, sehingga Dewan Kedelai memandang kebutuhan kedelai dalam negeri 90 persen masih diiimpor dari beberapa negara produsen kedelai.

Meskipun kedelai impor masih menguasai kebutuhan produksi kacang kedelai dalam negeri, Sunaryo mengatakan, produk dalam negeri jauh lebih baik dan memiliki rasa yang lebih enak.

Hanya saja, katanya, kedelai lokal tidak bisa bertahan lama. Paling lama tiga bulan, sementara kedelai impor bisa bertahan hingga enam bulan.
(*)