Jakarta (ANTARA News) - Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus lepas dari kepentingan politik agar bisa mencapai kinerja yang baik, demikian dikatakan oleh pengamat politik Boni Hargens dan pengamat ekonomi Aviliani, saat diskusi Kepentingan Politik dan Bisnis di BUMN Migas.

"BUMN harus diisi oleh orang-orang yang mempunyai integritas dan profesional," kata Boni Hargens, pada diskusi tersebut di Jakarta, Selasa.

Ia mengatakan, saat ini kental sekali bahwa penempatan pejabat BUMN berkaitan dengan kekuasaan. "Integritas dan profesionalisme menjadi tidak penting," katanya.

Akibatnya, kata pengamat dari Universitas Indonesia ini, kepentingan-kepentingan politik bisa masuk di BUMN. Seharusnya, kata Boni, dilakukan "merit system" (berdasarkan kinerja) dalam penempatan pejabat BUMN.

Selain itu Boni juga menyayangkan BUMN sering berganti kebijakan setelah pemerintahan berganti. Ia mengatakan, setiap kali ganti pemerintahan maka kebijakan terhadap BUMN atau kebijakan di BUMN seringkali berubah.

Hal tersebut, katanya, membuat kinerja BUMN menjadi tidak maksimal dan tidak berkesinambungan. Untuk itu, ia mengharapkan adanya perubahan paradigma dalam mengelola BUMN, yakni adanya suatu pegangan dalam mengelola BUMN.

Sementara itu pengamat ekonomi dari Indef, Aviliani posisi di BUMN seringkali untuk bagi-bagi jabatan. Walaupun sudah ada UU BUMN, katanya, namun pejabat titipan sulit dihindari. Aviliani mengatakan, politik memang sulit dipisahkan dari ekonomi.

Namun demikian, Aviliani juga mengatakan bahwa BUMN bisa berkembang dengan baik jika diberi kepercayaan yang lebih besar oleh pemerintah.

Sebagai contoh, katanya, Pertamina perlu diberi kesempatan untuk mengelola minyak di Indonesia dari hanya sekitar 13 persen dari produksi migas nasional. "Pertamina akan mampu, sehingga kenapa harus diberi ke asing," katanya.

Sebelumnya, pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy mengatakan kinerja BUMN belum maksimal karena sulit lepas dari intervensi politik. Menurut Noorsy, akibat intervensi tersebut, kontribusi BUMN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) belum bisa beranjak.

"Jika jaman orde baru kontribusi BUMN bisa mencapai 75 persen terhadap PDB, maka belakangan makin menurun karena makin menguatnya dominasi swasta," katanya.

Saat ini salah satu BUMN yang disoroti adalah Pertamina. Beberapa kalangan menilai, fungsi dewan komisaris sekaligus komite Pertamina sebagai jajaran direksi Pertamina dipertanyakan. Keberadaannya dianggap mencederai profesionalisme serta prinsip tata kelola yang baik.(*)