Kupang (ANTARA) - Peneliti otonomi daerah dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang Mikhael Tomi Susu menilai pemerintah tidak objektif dalam menetapkan kriteria daerah tertinggal.
"Saya membaca sekilas kriteria penilaian. Artinya, penilaian telah dilakukan selama beberapa tahun terakhir, sebagai instrumen evaluasi terhadap kinerja otonomi daerah. Akan tetapi, dengan melihat fakta, tentunya pemerintah tidak objektif menetapkan kriteria dengan skala penilaian yang sama," kata Dr. Mikhael Tomi Susu, M.Si. di Kupang, Rabu.
Mikhael Tomi Susu mengemukakan hal itu ketika merespons mengenai penetapan 13 dari 22 kabupaten/kota di NTT sebagai daerah tertinggal.
Baca juga: Bappenas paparkan strategi percepatan pembangunan 62 daerah tertinggal
Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor: 62 Tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2020—2024, tercatat 13 kabupaten di NTT yang masuk daerah tertinggal.
Ia menyebutkan daerah tersebut, yakni Kabupaten Sumba Barat, Sumba Timur, Kupang, Timor Tengah Selatan, Belu, Alor, Lembata, Rote Ndao, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Sabu Raijua, dan Kabupaten Malaka
Dari 13 kabupaten tersebut, kata Tomi Susu, terdapat 10 kabupaten yang berkaitan dengan daerah otonom baru, dua kabupaten yang telah mencapai kurang lebih 20 tahun, yakni Lembata dan Rote Ndao.
Lima kabupaten berkisar antara 10 dan 15 tahun, yakni Sumba Barat Daya (SBD), Sumba Tengah, Manggarai Timur, Sabu Raijua, dan Malaka.
Sementara itu, Kabupaten Kupang, Sumba Barat, dan Belu merupakan kabupaten induk pemekaran daerahnya masing-masing.
Tiga kabupaten lain yang tidak berkaitan dengan pemekaran daerah, yakni Kabupaten Sumba Timur, Timor Tengah Selatan, dan Kabupaten Alor.
Menurut dia, klasifikasi ini juga dapat dengan menambahkan Kabupaten Kupang yang menunjukkan karakteristik wilayah dengan rentang kendali yang panjang dan tidak murah.
"Konsekuensinya sarana dan prasarana dasar secara tetap dan berkelanjutan menjadi kendala bagi aksesibilitas dan kriteria penilaian lainnya," kata Tomi Susu.
Kecuali Kabupaten Alor sebagai kabupaten kepulauan, menurut dia, makin memperburuk kondisi kondusifnya.
Baca juga: Sumbar menuju bebas daerah tertinggal
Dua argumentasi
Fakta ini, menurut pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial Politik (Fisip) Unwira ini, sesungguhnya akan menunjukkan bahwa hanya terdapat dua argumentasi dasar untuk menjelaskan ketertinggalan daerah tersebut.
Pertama adalah pembentukan daerah otonom baru atau pemekaran daerah bukan merupakan solusi bagi akselerasi/percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan dapat menumbuhkan daya saing daerah.
Padahal, lanjut dia, kriteria kelayakan pembentukan daerah otonom baru seperti yang termuat dalam regulasi eksisting mencakup ruang lingkup yang jauh lebih luas daripada kriteria yang ditetapkan dalam perpres.
Kedua, setelah suatu daerah otonom baru terbentuk dan running berbagai substansi, pendampingan, koordinasi, pengawasan, sampai dengan evaluasi tidak berjalan simultan bagi peremajaan dan pendewasaan dalam berotonomi.
"Bahkan, daerah otonom baru pun sering sekali terlihat enggan untuk didampingi, dikoordinasi, diawasi, apalagi dievaluasi," katanya.
Baca juga: Tujuh aspek kebijakan percepatan pembangunan Papua disiapkan Bappenas
Menurut dia, kemungkinan variabel tidak tersedianya instrumen penalty yang serius terhadap kinerja berotonomi. Hal ini dapat juga dimasukkan sebagai poin yang dapat dikambinghitamkan dalam penetapan daerah tertinggal.
Terhadap beberapa poin yang berhubungan dengan fakta-fakta yang disebutkan terakhir ini, dia menilai pemerintah tidak objektif menetapkan kriteria dengan skala penilaian yang sama dalam menentukan sebuah daerah sebagai daerah tertinggal.
Pemerintah dinilai tidak objektif tetapkan kriteria daerah tertinggal
13 Mei 2020 18:13 WIB
Peneliti otonomi daerah dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Dr. Mikhael Tomi Susu, M.Si. ANTARA/Bernadus Tokan
Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020
Tags: