Peneliti: Pemerintah harus beri perlindungan kesejahteraan PMI
12 Mei 2020 21:14 WIB
Pekerja migran Indonesia (PMI) di Kuwait pulang ke Tanah Air dengan memanfaatkan program amnesti pemerintah setempat, Minggu (10/5/2020). ANTARA/Handout KBRI Kuwait
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Demografi Sosial dari Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bayu Setiawan mengatakan pemerintah harus memberikan perlindungan kepada para pekerja migran Indonesia (PMI) yang terdampak COVID-19 untuk mendukung kesejahteraan mereka.
"Tentunya mereka pekerja migran juga harus mendapatkan perlindungan, meskipun tanpa adanya COVID-19 pemerintah juga mempunyai tanggung jawab untuk melindungi pekerja migran yang bekerja di negara lain," kata Bayu kepada ANTARA di Jakarta, Selasa.
Pandemi COVID-19 telah melanda negara-negara di dunia termasuk negara yang menjadi tujuan para pekerja migran Indonesia. Seperti nasib pekerja di Indonesia, PMI juga terkena dampak COVID-19 dari mulai diberhentikan sementara dengan tidak mendapat gaji hingga mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Sebagian dari mereka juga banyak yang sudah habis masa kontrak kerjanya dan harus diperpanjang atau harus pulang ke Indonesia.
Dengan kondisi itu, maka keadaan mereka tentu dilanda kekhawatiran dan ketidakpastian saat berada di negara asing. Apalagi, pekerja migran Indonesia yang ilegal bisa saja berhadapan dengan kondisi yang lebih sulit.
Baca juga: Kemenaker: Modal disetor untuk lindungi pekerja migran Indonesia
Menurut Bayu, keadaan pekerja Indonesia di negara lain pasti akan berbeda dibanding yang ada di Tanah Air, karena mereka jauh dari keluarga dan jauh dari tempat asalnya.
Oleh karena itu, negara wajib memberikan bantuan selama mereka tinggal di luar negeri, seperti halnya pemerintah yang memberikan bantuan kepada pekerja yang ada di Indonesia yang terdampak COVID-19.
"Jadi pemerintah harus membantu, memfasilitasi para pekerja migran, kalau pemerintah gagal memfasilitasi mereka maka berarti negara gagal melindungi keselamatan warga negaranya," tutur Bayu.
Bayu mengatakan dalam mendukung kehidupan para pekerja migran Indonesia di negara asing, maka bisa saja memanfaatkan jaringan sosial dan modal sosial komunitas masyarakat Indonesia yang ada di tempat pekerja migran bekerja.
"Mereka bisa saling membantu meringankan beban para pekerja migran untuk sementara waktu. Inilah pentingnya peran dan partisipasi masyarakat untuk saling membantu di samping bantuan dari pemerintah," tuturnya.
Bayu menilai baik langkah pemerintah yang memfasilitasi kepulangan pekerja migran ke Indonesia.
Baca juga: BP2MI: Perubahan tata kelola tingkatkan perlindungan pekerja migran
"Tentunya harus pula nanti mereka menjadi bagian pekerja yang perlu dibantu seperti halnya para pekerja di Indonesia yang terdampak COVID-19," tuturnya.
Peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Aswatini mengatakan pihaknya menemukan bahwa pelanggaran terhadap hak-hak pekerja migran Indonesia di beberapa negara penerima utama seperti upah atau gaji tidak dibayar dan pemutusan hubungan kerja sepihak, sudah terjadi juga sebelum pandemi COVID-19 merebak. Itu harus menjadi perhatian pemerintah.
"Dengan adanya wabah COVID-19, pastinya kondisi akan lebih parah dan lebih memerlukan perhatian ekstra pemerintah melalui perwakilan Indonesia di negara PMI tersebut berada," ujarnya.
Sebelumnya, Pemerintah melalui Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) memprediksi 34.300 pekerja migran Indonesia (PMI) dari berbagai negara penempatan akan kembali ke Tanah Air pada Mei hingga Juni 2020.
Kepala BP2MI Benny Rhamdani mengatakan 34.300 PMI akan kembali ke Tanah Air karena kontrak kerja mereka di 54 negara penempatan sudah habis. Rincian puluhan ribu pekerja migran itu, yakni 13.074 dari Malaysia dan 11.359 dari Hongkong.
Selanjutnya 3.688 dari Taiwan, 2.611 dari Singapura, 800 dari Arab Saudi, 770 dari Brunei Darussalam, 323 jiwa dari Korea Selatan, 304 dari Kuwait, 219 PMI dari Italia, 173 dari Oman, dan beberapa dari negara lainnya. "34.300 PMI tersebut berasal dari 32 provinsi di Tanah Air.
Baca juga: BNP2TKI dorong sinergi pusat dan daerah untuk perlindungan PMI
"Tentunya mereka pekerja migran juga harus mendapatkan perlindungan, meskipun tanpa adanya COVID-19 pemerintah juga mempunyai tanggung jawab untuk melindungi pekerja migran yang bekerja di negara lain," kata Bayu kepada ANTARA di Jakarta, Selasa.
Pandemi COVID-19 telah melanda negara-negara di dunia termasuk negara yang menjadi tujuan para pekerja migran Indonesia. Seperti nasib pekerja di Indonesia, PMI juga terkena dampak COVID-19 dari mulai diberhentikan sementara dengan tidak mendapat gaji hingga mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Sebagian dari mereka juga banyak yang sudah habis masa kontrak kerjanya dan harus diperpanjang atau harus pulang ke Indonesia.
Dengan kondisi itu, maka keadaan mereka tentu dilanda kekhawatiran dan ketidakpastian saat berada di negara asing. Apalagi, pekerja migran Indonesia yang ilegal bisa saja berhadapan dengan kondisi yang lebih sulit.
Baca juga: Kemenaker: Modal disetor untuk lindungi pekerja migran Indonesia
Menurut Bayu, keadaan pekerja Indonesia di negara lain pasti akan berbeda dibanding yang ada di Tanah Air, karena mereka jauh dari keluarga dan jauh dari tempat asalnya.
Oleh karena itu, negara wajib memberikan bantuan selama mereka tinggal di luar negeri, seperti halnya pemerintah yang memberikan bantuan kepada pekerja yang ada di Indonesia yang terdampak COVID-19.
"Jadi pemerintah harus membantu, memfasilitasi para pekerja migran, kalau pemerintah gagal memfasilitasi mereka maka berarti negara gagal melindungi keselamatan warga negaranya," tutur Bayu.
Bayu mengatakan dalam mendukung kehidupan para pekerja migran Indonesia di negara asing, maka bisa saja memanfaatkan jaringan sosial dan modal sosial komunitas masyarakat Indonesia yang ada di tempat pekerja migran bekerja.
"Mereka bisa saling membantu meringankan beban para pekerja migran untuk sementara waktu. Inilah pentingnya peran dan partisipasi masyarakat untuk saling membantu di samping bantuan dari pemerintah," tuturnya.
Bayu menilai baik langkah pemerintah yang memfasilitasi kepulangan pekerja migran ke Indonesia.
Baca juga: BP2MI: Perubahan tata kelola tingkatkan perlindungan pekerja migran
"Tentunya harus pula nanti mereka menjadi bagian pekerja yang perlu dibantu seperti halnya para pekerja di Indonesia yang terdampak COVID-19," tuturnya.
Peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Aswatini mengatakan pihaknya menemukan bahwa pelanggaran terhadap hak-hak pekerja migran Indonesia di beberapa negara penerima utama seperti upah atau gaji tidak dibayar dan pemutusan hubungan kerja sepihak, sudah terjadi juga sebelum pandemi COVID-19 merebak. Itu harus menjadi perhatian pemerintah.
"Dengan adanya wabah COVID-19, pastinya kondisi akan lebih parah dan lebih memerlukan perhatian ekstra pemerintah melalui perwakilan Indonesia di negara PMI tersebut berada," ujarnya.
Sebelumnya, Pemerintah melalui Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) memprediksi 34.300 pekerja migran Indonesia (PMI) dari berbagai negara penempatan akan kembali ke Tanah Air pada Mei hingga Juni 2020.
Kepala BP2MI Benny Rhamdani mengatakan 34.300 PMI akan kembali ke Tanah Air karena kontrak kerja mereka di 54 negara penempatan sudah habis. Rincian puluhan ribu pekerja migran itu, yakni 13.074 dari Malaysia dan 11.359 dari Hongkong.
Selanjutnya 3.688 dari Taiwan, 2.611 dari Singapura, 800 dari Arab Saudi, 770 dari Brunei Darussalam, 323 jiwa dari Korea Selatan, 304 dari Kuwait, 219 PMI dari Italia, 173 dari Oman, dan beberapa dari negara lainnya. "34.300 PMI tersebut berasal dari 32 provinsi di Tanah Air.
Baca juga: BNP2TKI dorong sinergi pusat dan daerah untuk perlindungan PMI
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2020
Tags: