Timika (ANTARA) - Kabupaten Mimika menjadi daerah dengan jumlah kasus COVID-19 tertinggi di Provinsi Papua, dimana hingga 10 Mei 2020 tercatat sudah 97 warga setempat terinfeksi virus corona jenis baru itu.

Dari 97 kasus positif COVID-19 di Mimika, 17 pasien sudah dinyatakan sembuh.

Pasien dinyatakan sembuh atau sehat jika dua kali sampel usap tenggorokannya yang diperiksa oleh Laboratorium Balitbangkes Provinsi Papua di Jayapura dengan menggunakan PCR tidak lagi mengandung virus corona atau COVID-19 alias negatif.

SPP merupakan salah satu dari 17 pasien yang sudah dinyatakan sembuh dari virus corona jenis baru itu di Mimika.

Pada 27 April SPP bersama empat pasien lainnya di RSUD Mimika dinyatakan sembuh. Di hari yang sama satu pasien di RS Tembagapura juga dinyatakan sembuh.

Hingga kini ia mengaku tidak mengetahui persis dimana dirinya terjangkit wabah penyakit yang kini menjadi pandemi global itu.

Dihubungi melalui telefon selulernya, Minggu, SPP bercerita bahwa dirinya bersama sang suami, RDL, tiba kembali di Timika pada 11 Maret 2020 dengan penerbangan Garuda Indonesia dari Makassar.

Saat itu SPP dan RDL yang merupakan seorang tokoh agama sempat melakukan perjalanan selama tiga hari ke Surabaya untuk mengikuti sebuah kegiatan keagamaan.

Dalam perjalanan pulang ke Timika, mereka berdua transit di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar.

SPP berkisah bahwa saat di Surabaya, ia dan suami berencana hendak ke Pulau Penang, Malaysia.

Suaminya dijadwalkan kontrol kesehatan jantung di RS Adventis Penang.

"Tiket sudah di tangan, tapi rencana itu batal karena Malaysia sudah memberlakukan lockdown untuk menghentikan penularan virus corona jenis baru," tutur SPP.

Setiba di Timika, SPP dan suami menjalani hidup secara normal.

Suaminya yang menjadi Ketua Fasilitator Jaringan Doa se-Timika, seperti biasanya sibuk mengurus berbagai kegiatan keagamaan. Bahkan, setiap Sabtu pagi, RDL selalu mengumpulkan para tokoh agama (biasa disebut Hamba Tuhan) dari setiap denominasi gereja untuk berdoa bagi keselamatan warga dan Kota Timika dari berbagai bencana.

"Jauh sebelum kasus corona sampai di Timika, kami di gereja selalu berdoa dan puasa. Bahkan, saat sudah ada dua orang di Timika yang positif, kami tetap berdoa puasa untuk meminta pertolongan Tuhan agar wabah corona ini tidak masuk sampai di Timika. Bapak setelah kembali ke Timika tetap berdoa terus, tapi kami sudah mengatur jarak duduk dan tidak lagi bersalaman," cerita SPP.

Dalam perjalanan selanjutnya, pasangan suami isteri yang bermukim di Gorong-gorong, Kelurahan Kebun Siri, Timika, itu mulai menunjukkan tanda dan gejala, seperti influenza, batuk dan demam.

Awalnya mereka berdua berkesimpulan mungkin hanya tanda-tanda kelelahan.

Lantaran keluhan flu, batuk disertai demam tidak kunjung berhenti, SPP dan RDL memutuskan pergi berobat ke sebuah klinik kesehatan di Timika.

Keduanya tidak lupa mengenakan masker penutup mulut dan hidung.

Di klinik kesehatan yang mereka datangi, dokter dan petugas medis yang memberi pelayanan juga sudah mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap dan tidak terjadi sentuhan fisik selama proses pengobatan berlangsung.

"Kejadian itu pada awal bulan April, kami pergi berobat ke klinik. Kami merasa bersalah, tapi saat itu kami tidak tahu kalau sudah terinfeksi COVID-19," kata SPP.

Meski sudah mengonsumsi obat-obatan yang diberikan oleh pihkak klinik, namun keluhan flu, batuk dan demam yang dialami pasangan suami isteri itu juga tidak berhenti.

Mereka berdua kembali lagi memeriksakan diri ke klinik kesehatan yang lain lantaran menduga keduanya terserang penyakit malaria.

Malaria hingga kini menjadi salah satu dari tiga penyakit tertinggi di Mimika, selain infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan diare.

"Saya merasakan gejala mirip seperti terserang malaria, misalnya meriang dan sulit mengonsumsi makanan, tapi hasil pemeriksaan malaria dinyatakan negatif," ujar SPP.

Ketika itu kondisi SPP dan RDL kian bertambah buruk.

SPP mengaku mulai mengalami sesak nafas. Keadaannya mulai drop.

Ia lalu mencari tahu kondisi penyakitnya melalui internet sehingga berkesimpulan bahwa apa yang mereka alami mengarah ke gejala COVID-19.

"Saya sudah tidak bisa cium bau. Saya tes ambil minyak kayu putih, kan (baunya) tajam sekali. Saya taruh banyak di tangan, tapi kok tidak tercium baunya," tutur SPP.
Petugas kesehatan di ruang isolasi pasien COVID-19 RSUD Mimika. (ANTARA/Evarianus Supar)

Ke RSUD Mimika

Lantaran kondisi kesehatan yang tak kunjung pulih bahkan semakin memburuk, SPP dan RDL kemudian memutuskan untuk memeriksakan diri ke RSUD Mimika.

RSUD Mimika merupakan salah satu rumah sakit rujukan penanganan COVID-19 di Provinsi Papua.

Sebelum ke RSUD Mimika, SPP dan suami sudah menyiapkan bekal pakaian, maupun perlengkapan lainnya, terutama kesiapan mental jika kelak keduanya didiagnosis terinfeksi COVID-19.

"Hari itu kami berdua pagi-pagi ke RSUD Mimika. Kami berdua langsung diperiksa, sampai pukul 14.00 WIT dokter memutuskan kami berdua berstatus pasien dalam pengawasan (PDP). Hari itu juga kami diisolasi di RSUD Mimika dan pada sore harinya langsung diambel swab dan diinfus," kata SPP.

Berdasarkan laporan Tim Gugus Tugas Percepatan Pengendalian COVID-19 Mimika, pada 11 April 2020, SPP dan RDL dinyatakan positif terinfeksi COVID-19.

Keduanya disebut tertular COVID-19 dari Klaster Surabaya. SPP diregistrasi sebagai Pasien 017, sementara suaminya, RDL diregistrasi sebagai Pasien 018.

"Terus terang kami tidak tahu tertular wabah ini dimana, apakah di Surabaya atau waktu transit di Makassar," tuturnya.

Masa-masa awal berada di ruang isolasi RSUD Mimika dilalui SPP dan RDL dengan cukup sulit lantaran mengalami gejala sesak napas berat.

Suaminya yang sudah berumur lebih dari 60 tahun dan punya riwayat penyakit jantung, bahkan harus dibantu ventilator, sementara SPP sendiri dibantu oksigen dari hidung.

"Saya merasakan paru-paru saya itu bunyi, seperti keran yang dibuka setengah, kayak air mendidih. Tapi saya tidak lapor suami karena dia juga lagi sesak, nanti dia pikiran," katanya.


Keluarga alami stigma

Sebagaimana kisah pasien COVID-19 yang lain, keluarga SPP juga mengalami perlakuan yang kurang menyenangkan dan bersahabat dari masyarakat di lingkungan terdekat saat mengetahui dirinya dan suami positif terinfeksi COVID-19.

SPP berujar, bahkan ada oknum warga yang menyebut suaminya telah meninggal dunia saat masuk ruang isolasi RSUD Mimika. Suaminya, RDL pun dipersalahkan karena masih beraktivitas di luar rumah sebelum diisolasi.

"Padahal kita tidak tahu (terinfeksi), siapa yang mau minta penyakit bodok ini datang," kata SPP sambil menangis.

Stigma dan diskriminasi juga merembet ke keluarganya.

Seorang anak angkatnya saat hendak membeli minyak tanah pada sebuah kios, disuruh tidak boleh mendekat dan hanya melemparkan uang dari jauh.

Ketika SPP dan suami tengah berjuang melawan virus corona yang ganas itu, keluarganya pun yang tinggal di rumah ikut mengalami perlakuan kurang menyenangkan dari sesama.

"Sekarang begini, orang cuma lihat dia sakit saja, tidak lihat dia punya perjuangan untuk kota ini. Sekarang dia di ruang isolasi, dia dikata-katai, saya dikata-katai, kami punya keluarga dikata-katai. Siapa yang mau minta ini penyakit, tidak ada seorangpun yang minta dan mengharapkan tertular COVID-19," kata wanita berusia 30 tahun itu.

Saat ini SPP menantikan kepulangan suaminya kembali ke rumah karena masih menjalani perawatan dan isolasi di RSUD Mimika.

RDL sudah dinyatakan negatif dari COVID-19 saat pemeriksaan pertama setelah menjalani perawatan, namun pada pemeriksaan kedua dinyatakan masih positif COVID-19.

"Tapi bapak sudah lepas infus, sudah senam, sudah sehat. Bapak kan umur 62 tahun, ada penyakit bawaan, pernah by pass jantung lewat operasi besar, jadi kita sabar saja," katanya.

SPP mengaku kini masih menjalani isolasi mandiri di rumah selama 14 hari. Masa isolasi mandiri terhitung sejak ia keluar dari RSUD Mimika. Setelah melalui masa 14 hari, SPP akan mendapat surat keterangan bebas COVID-19 dari Dinkes Mimika.
Novalina, salah satu pasien sembuh dari COVID-19 di Kabupaten Mimika (ANTARA/Evarianus Supar)

Dukungan dan motivasi

SPP mengatakan mendapat dukungan dan motivasi dari keluarga terdekat dan jemaat di lingkungan gerejanya selama menjalani perawatan di RSUD Mimika sehingga pada akhirnya bisa menang melawan virus corona.

Baca juga: Jubir: Kasus COVID-19 di Mimika tertinggi di Papua

Tidak itu saja, kelembutan dan keramahan para tenaga dokter dan perawat di ruang isolasi RSUD Mimika saat memberikan pelayanan kepada para pasien juga dinilainya sangat membantu proses pemulihan kesehatan pasien COVID-19.

"Mereka semua sangat menakjubkan, tidak pandang mau suku atau agama apa, mereka kasih semangat kita seperti orang tua sendiri. Jadi luar biasa, bikin orang semangat mau pulang begitu. Dokternya teliti, mantri dan susternya cekatan semua," katanya.

SPP mengaku pernah suatu ketika pada jam 01.00 WIT dini hari, ia meminta bantuan kepada perawat RSUD Mimika. Perawat pun datang menghampirinya untuk memberikan bantuan tanpa mengeluh sedikitpun.

“Kami tidak mungkin bisa membalas kebaikan budi mereka. Mereka paling sayang kami semua. Kami di ruang isolasi itu tidak hanya dari kalangan Nasrani, ada juga dari kalangan Islam. Kami saling menguatkan dan berdoa agar semua pasien yang dirawat bisa segera pulih dan sembuh dari penyakit ini,” ujar SPP.

Ia berpesan sekaligus mengajak warga yang mengalami gejala influenza agar tidak takut memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan terdekat.

SPP juga berharap tidak ada lagi stigma terhadap pasien positif dan keluarganya.

Baca juga: Pasien sembuh COVID-19 di Mimika bertambah menjadi 15 orang

“Prinsipnya sederhana, tidak ada satu pun manusia di dunia yang ingin terinfeksi virus ini. Ini bukan aib. Mari kita tetap baku sayang, baku lihat, baku jaga, baku mengerti. Jangan karena penyakit ini terjadi perpecahan di antara masyarakat. Semua orang bisa tertular penyakit COVID-19 ini,” tutur SP.

Juru Bicara Gugus Tugas COVID-19 Pemkab Mimika Reynold Ubra mengatakan hingga saat ini terdapat 77 pasien COVID-19 masih menjalani perawatan dan isolasi di sejumlah rumah sakit di Mimika.

Baca juga: Mimika apresiasi dukungan umat Muslim cegah COVID-19

Sebanyak 50 pasien menjalani perawatan dan isolasi di RS Tembagapura, 17 orang dirawat dan diisolasi di RSUD Mimika dan tujuh orang lainnya dirawat dan diisolasi di Shelter Wisma Atlet Timika sebagai satelit dari RSUD Mimika.

Reynold terus mengimbau warga Mimika untuk tetap tinggal di rumah dan meminimalisasi aktivitas di luar rumah guna mencegah penularan COVID-19.