Semarang (ANTARA News) - Negara seharusnya tidak hanya menanggung penyembuhan luka fisik karena yang harus juga diperhatikan adalah luka psikis korban bom di Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz Carlton di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, Jumat (17/7) pagi.

"Mereka tidak ada yang mau menjadi korban. Harus dipikirkan pengobatan traumatik mereka. Lukanya tidak sesederhana fisik, luka psikis tidak gampang sembuh," kata pengamat politik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Fitriyah di Semarang, Senin.

Fitriyah mengatakan, negara harus bertanggung jawab terhadap pengamanan warga dan daerahnya.

Ia mengatakan, akibat kejadian tersebut seharusnya menjadi pelajaran dan tantangan bagi aparat kepolisian dalam melakukan tugas pengamanan dalam negeri.

Berdasarkan dugaan sementara, pelaku Bom Kuningan adalah bagian dari jaringan teroris, maka yang harus diperhatikan adalah pola bahwa jaringan teroris biasanya menarik perhatian dan kali ini bertepatan dengan rencana kehadiran klub sepak bola Inggris Manchester United (MU).

"Mereka (teroris, red.) ingin menarik perhatian internasional bahwa mereka masih ada dan jaringannya belum habis. Mereka dapat merekrut orang baru untuk menjalankan visi dan misi yang menurut mereka benar," katanya.

Fitriyah mengemukakan, Indonesia perlu membangun kerja sama dengan negara lain dalam mengatasi terorisme internasional. "Mereka lintas negara dan terlatih untuk siap mati sebagai risiko," katanya.

Ketika ditanya apakah ada kaitannya dengan upaya penggagalan hasil Pemilu Presiden (Pilpres) 2009, Fitriyah tidak melihatnya seperti itu. Menurut dia , jika tindakan tersebut bermaksud untuk mengacaukan hasil Pilpres 2009 tentu dampaknya akan lebih terasa saat sebelum dilakukan pemungutan suara.

"Jika kaitannya dengan Pilpres, tentu akan dilakukan sebelum pemungutan suara untuk menunjukkan bahwa kemampuan incumbent tidak dapat menjaga iklim kondusif. Akan tetapi ini kan sudah selesai Pilpres 2009," katanya.

Ia menegaskan, pola teroris adalah ingin memberikan efek shock dan ketakutan. "Takut pergi ke pusat perbelanjaan dan takut menginap di hotel karena cemas jadi korban peledakan bom," katanya.

Terkait jadwal Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang akan melakukan rekapitulasi penghitungan suara di tingkat provinsi pada tanggal 19-21 Juli 2009 dan di tingkat pusat tanggal 22-24 Juli 2009, pengamanannya sudah ada aparat kepolisian.

"Biasanya selama ini kalau ada yang tidak puas maka sekadar aksi demonstrasi tidak sampai anarkis," katanya.

Kepolisian, menurut Fitriyah, tentu sudah siap dengan antisipasi seperti adanya huru hara dan hal yang tidak diinginkan.(*)