Paris (ANTARA News/AFP) - Pemimpin mendatang NATO Anders Fogh Rasmussen mengatakan, Minggu, ia akan segera pergi ke Moskow untuk meyakinkan Rusia bahwa aliansi Barat itu "tidak bertentangan" dengan negara tersebut dan ingin memperbaiki hubungan.

Hubungan antara NATO dan Rusia mencapai titik terendah pasca Perang Dingin setelah perang singkat Moskow tahun lalu dengan Georgia menyangkut wilayah separatis Ossetia Selatan. Georgia berusaha menjadi anggota aliansi itu, namun Moksow sangat mencurigai perluasan NATO ke arah timur.

"Saya ingin memusatkan perhatian pada perbaikan hubungan antara NATO dan Rusia," kata Rasmussen, yang sedang berlibur di Perancis selatan, dalam warancara dengan surat kabar Midi Libre yang terbit Senin.

"Kami memutuskan bulan lalu untuk meluncurkan lagi kegiatan-kegiatan dewan khusus NATO-Rusia," tambahnya.

"Karena alasan-alasan strategis, kami memerlukan kerja sama erat, khususnya dalam perang melawan terorisme. Rusia sangat rawan (terorisme). Mereka tidak boleh menganggap NATO sebagai musuh. NATO tidak bertentangan dengan Rusia," katanya.

Rasmussen mengatakan, NATO "tentu harus menekankan bahwa Rusia harus menghormati negara-negara tetangganya seperti Georgia, namun kami juga sama-sama prihatin atas masalah keamanan: perang melawan terorisme dan perluasan senjata penghancur massal, Afghanistan dan lain-lain."

Ia menolak pernyataan Peesiden Rusia Dmitry Medvedev pada Mei mengenai "ancaman" oleh NATO dan kebijakan luar negeri Washington dengan mengatakan, "Ini tidak benar. Namun kami harus bekerja keras untuk memiliki hubungan baik. Dan saya berharap saya akan segera mengunjungi Moskow."

Rusia melakukan latihan perang besar-besaran di dekat perbatasan Georgia pada akhir Juni dan awal Juli, hanya sebulan setelah NATO dan Georgia mengadakan latihan di wilayah bekas republik Uni Sovyet itu, yang terletak antara Kaukasus dan Laut Hitam.

Pasukan Rusia memasuki Georgia untuk mematahkan upaya militer Georgia menguasai lagi Ossetia Selatan pada 7-8 Agustus 2008. Perang lima hari pada Agustus itu meletus ketika Tbilisi berusaha memulihkan kekuasannya dengan kekuatan militer di kawasan Ossetia Selatan yang memisahkan diri dari Georgia pada 1992, setelah runtuhnya Uni Sovyet.

Georgia dan Rusia tetap berselisih setelah perang singkat antara mereka pada tahun lalu itu. Hubungan Rusia dengan negara-negara Barat memburuk setelah perang tersebut.

Selain Ossetia Selatan, Abkhazia juga memisahkan diri dari Georgia pada awal 1990-an. Kedua wilayah separatis itu bergantung hampir sepenuhnya pada Rusia atas bantuan finansial, militer dan diplomatik.

Georgia tetap mengklaim kedaulatan atas kedua wilayah tersebut dan mendapat dukungan dari Barat

Ossetia Selatan pada 11 Maret menyatakan akan mengizinkan pasukan Rusia menggunakan wilayah tersebut untuk pangkalan militer selama 99 tahun.

Pemimpin Abkhazia Sergei Bagapsh juga mengatakan sebelumnya pada Maret, provinsi itu akan segera menandatangani sebuah perjanjian yang mengizinkan Rusia membangun sebuah pangkalan di wilayah separatis lain Georgia itu untuk kurun waktu 49 tahun.

Rencana Rusia untuk tetap menempatkan ribuan prajurit di Abkhazia dan Ossetia Selatan telah membuat marah Tbilisi dan sekutu-sekutu Barat-nya, yang mengatakan bahwa hal itu melanggar gencatan senjata yang mengakhiri perang.

Pengakuan Moskow atas kemerdekaan kedua wilayah itu menyulut kecaman dari Georgia dan banyak negara Barat.

Rusia meresmikan pengakuannya atas kemerdekaan kedua wilayah Georgia yang memisahkan diri itu, Ossetia Selatan dan Abkhazia, pada 16 Januari ketika Presiden Dmitry Medvedev menerima duta-duta besar pertama mereka yang bersanding sejajar dengan para duta besar dari negara anggota NATO.

Nikaragua memberikan "pengakuan penuh" kepada republik-republik Abkhazia dan Ossetia Selatan sebagai "anggota baru komunitas negara merdeka dunia".(*)