Menristek: Minimal 1 juta uji PCR deteksi COVID-19 di Indonesia
8 Mei 2020 20:04 WIB
Menristek/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro memberikan keterangan di kantor Graha BNPB Jakarta, Senin (6/4/2020). ANTARA/Humas BNPB. (ANTARA/Humas BNPB)
Jakarta (ANTARA) - Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang PS Brodjonegoro mengatakan minimal prlu satu juta untuk uji polymerase chain reaction (PCR) deteksi COVID-19 di Indonesia.
Menristek Bambang mengatakan Jerman melakukan 15.000 tes PCR per satu juta penduduk, Jepang dengan 509 tes PCR per satu juta penduduk, dan Korea dengan 8.000 tes PCR per satu juta penduduk.
"Kalau mencoba membuat kita setara dengan negara-negara tersebut, mungkin idealnya satu juta ya, minimal satu juta tes Indonesia atau kalaupun mau dikurangi ratusan ribu, tapi kalau bisa satu juta akan lebih baik," kata Menristek Bambang dalam bincang yang ditayangkan secara langsung di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Alat PCR dan tes cepat non-PCR untuk COVID-19 masih diuji validasi
Baca juga: Dokter paru: ada kemungkinan 'negatif palsu' pada hasil PCR
Dia menuturkan belum ada formulasi pasti mengenai jumlah sampel dari total penduduk suatu negara untuk melakukan uji PCR deteksi COVID-19.
Sementara Amerika, Rusia, Turki, Inggris, dan Spanyol rata-rata sudah melakukan lebih dari satu juta uji PCR.
Saat ini, pemerintah Indonesia mengupayakan 10.000 tes spesimen per hari dengan metode PCR, namun belum bisa terpenuhi karena masih ada isu keterbatasan sumber daya manusia (SDM) terutama untuk laboratorium yang melakukan pengujian PCR.
"Yang paling susah adalah yang bekerja di lab Bsl-2, karena ini bukan sembarang lab. Ini lab yang punya 'safety' (keamanan) yang cukup serius, cukup tinggi sehingga teknisinya harus dilatih dulu, kan kalau analisa bisa di 'on the spot' atau biasanya dikembalikan ke rumah sakit atau dikembalikan ke Balitbangkes (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan)," tuturnya.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan pelatihan untuk relawan di bidang uji PCR. Dari 800 peserta pelatihan, sudah 600 orang dilatih, sehingga sisa 200 lagi yang akan mengikuti pelatihan.
Baca juga: 50.000 alat uji PCR diproduksi akhir Mei 2020 guna deteksi COVID
Baca juga: Menristek: 50.000 alat tes COVID-19 non PCR akan diproduksi Juni 2020
Baca juga: Konsorsium COVID-19 kembangkan RDT LAMP setara PCR deteksi COVID-19
Untuk menurunkan kurva COVID-19 pada bulan Mei 2020, Menristek Bambang menuturkan harus dilakukan tes masif untuk deteksi COVID-19 guna melihat peta penyebaran COVID-19.
Kemristek mendukung upaya itu melalui tes cepat dan uji PCR, serta kapasitas laboratorium untuk melakukan pemeriksaan PCR.
"Satu hal yang harus kita kejar adalah tes massal tadi, karena dengan tes massal kita bisa mendapatkan gambaran bagaimana kita melakukan pembatasan sosial yang lebih tepat dan kebijakan apa yang harus dilakukan," tuturnya.
Menristek Bambang mengatakan Jerman melakukan 15.000 tes PCR per satu juta penduduk, Jepang dengan 509 tes PCR per satu juta penduduk, dan Korea dengan 8.000 tes PCR per satu juta penduduk.
"Kalau mencoba membuat kita setara dengan negara-negara tersebut, mungkin idealnya satu juta ya, minimal satu juta tes Indonesia atau kalaupun mau dikurangi ratusan ribu, tapi kalau bisa satu juta akan lebih baik," kata Menristek Bambang dalam bincang yang ditayangkan secara langsung di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Alat PCR dan tes cepat non-PCR untuk COVID-19 masih diuji validasi
Baca juga: Dokter paru: ada kemungkinan 'negatif palsu' pada hasil PCR
Dia menuturkan belum ada formulasi pasti mengenai jumlah sampel dari total penduduk suatu negara untuk melakukan uji PCR deteksi COVID-19.
Sementara Amerika, Rusia, Turki, Inggris, dan Spanyol rata-rata sudah melakukan lebih dari satu juta uji PCR.
Saat ini, pemerintah Indonesia mengupayakan 10.000 tes spesimen per hari dengan metode PCR, namun belum bisa terpenuhi karena masih ada isu keterbatasan sumber daya manusia (SDM) terutama untuk laboratorium yang melakukan pengujian PCR.
"Yang paling susah adalah yang bekerja di lab Bsl-2, karena ini bukan sembarang lab. Ini lab yang punya 'safety' (keamanan) yang cukup serius, cukup tinggi sehingga teknisinya harus dilatih dulu, kan kalau analisa bisa di 'on the spot' atau biasanya dikembalikan ke rumah sakit atau dikembalikan ke Balitbangkes (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan)," tuturnya.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan pelatihan untuk relawan di bidang uji PCR. Dari 800 peserta pelatihan, sudah 600 orang dilatih, sehingga sisa 200 lagi yang akan mengikuti pelatihan.
Baca juga: 50.000 alat uji PCR diproduksi akhir Mei 2020 guna deteksi COVID
Baca juga: Menristek: 50.000 alat tes COVID-19 non PCR akan diproduksi Juni 2020
Baca juga: Konsorsium COVID-19 kembangkan RDT LAMP setara PCR deteksi COVID-19
Untuk menurunkan kurva COVID-19 pada bulan Mei 2020, Menristek Bambang menuturkan harus dilakukan tes masif untuk deteksi COVID-19 guna melihat peta penyebaran COVID-19.
Kemristek mendukung upaya itu melalui tes cepat dan uji PCR, serta kapasitas laboratorium untuk melakukan pemeriksaan PCR.
"Satu hal yang harus kita kejar adalah tes massal tadi, karena dengan tes massal kita bisa mendapatkan gambaran bagaimana kita melakukan pembatasan sosial yang lebih tepat dan kebijakan apa yang harus dilakukan," tuturnya.
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020
Tags: