Jakarta (ANTARA News) - Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta menegaskan tidak ada hambatan politik untuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi dalam penuntasan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, sebaliknya RUU ini akan selesaai sebelum jabatan anggota DPR periode 2004-2009 berakhir atau sebelum pelantikan anggota DPR baru.

Andi juga menandaskan, mendorong percepatan pembahasan RUU Pengadilan Tipikor adalah pilihan terbaik dibanding mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang justru terkesan terburu-buru.

"Perppu justru lebih terburu-buru, cuma semalam kalau Perppu. Kalau RUU buktinya sudah tiga bulan, hampir satu tahun di DPR," kata Andi di Jakarta, usai menghadiri rapat koordinasi pemberantasan tindak pidana korupsi di Kantor Kepresidenan di Jakarta, Senin.

Menkumham mengungkapkan, yang menyebabkan pembahasan RUU cukup lama hanya materi dan teknis pembentukan pengadilan khusus itu.

"Tidak ada latar belakang politik di sini, tidak ada upaya melemahkan KPK," tegasnya seraya menyatakan semua pimpinan partai politik sudah menginstruksikan percepatan pembahasan RUU itu oleh DPR.

"Kan sudah keluar komitmen dari masing-masing parpol. Pak Jusuf Kalla sudah keluar perintah, SBY sudah. Kubu Megawati juga sudah. Tidak ada hambatan secara politik," katanya.

Andi menyebutkan salah satu materi yang cukup mengganjal dalam pembahasan RUU Pengadilan Tipikor adalah jumlah hakim ad hoc pada setiap Pengadilan Tipikor dimana pemerintah menginginkan ini jumlah hakim tidak perlu ditentukan UU, namun diserahkan pada pengadilan negeri setempat sesuai dengan tingkat kesulitan perkara yang ditangani.

Sedangkan dua alternatif lain yang masih berkembang dalam pembahasan adalah jumlah hakim ad hoc ditentukan dalam UU dengan komposisi mayoritas atau minoritas dari jumlah hakim karier.

Menurut Andi, masalah jumlah hakim ad hoc sebaiknya dipertimbangkan secara logis berdasarkan kemampuan Mahkamah Agung (MA) merekrut hakim ad hoc baru, bukan berdasarkan pertimbangan emosional semata karena alasan tidak mempercayai hakim karier dari pengadilan negeri biasa.

Ia menjelaskan putusan Mahkamah Konstitusi berdampak pada pembentukan pengadilan tipikor yang harus berada di 450 kabupaten/kota di Indonesia, sehingga jika harus ada lima hakim ad hoc di satu pengadilan maka MA harus merekrut 2.250 hakim ad hoc baru.

Intinya, hakim ad hoc harus dipilih berdasarkan integritasnya agar menghasilkan keputusan yang membawa rasa keadilan bagi masyarakat, demikian Andi. (*)