Jakarta (ANTARA) - Dokter Paru Rumah Sakit Persahabatan dr. Andika Chandra Putra mengklasifikasi tiga kelompok orang tanpa gejala (OTG) yang perlu masyarakat ketahui untuk bisa melakukan tindakan pencegahan.

"Jadi secara definisi, OTG ini kan orang tanpa gejala berdasarkan definisi Kemenkes (Kementerian Kesehatan) atau Gugus Tugas (Gugas). (Mereka) itu berisiko terpapar dari orang-orang yang terkonfirmasi positif atau orang-orang yang punya kontak erat dengan yang poisitif," katanya melalui sambungan telepon kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.

Yang dimaksud dengan kontak erat adalah orang yang memiliki kontak fisik dalam jarak 1 meter selama sekitar 10-15 menit di dalam satu ruangan.

Baca juga: Sepulang dari Jakarta, ibu dan dua anaknya mengisolasi diri ke ladang

Orang-orang yang pernah memiliki kontak erat dengan orang lain yang terkonfirmasi positif berisiko tertular dengan sebagian menunjukkan gejala dan sebagian besar lainnya tidak menunjukkan gejala.

"Bahkan kasus COVID-19 itu secara global, bukan hanya di Indonesia saja, 80-81 persennya sifatnya tanpa gejala atau keluhannya ringan," katanya.

Terkait OTG itu, ia mengatakan ada kesalahpahaman masyarakat terkait definisi OTG tersebut. Menurut dia, masyarakat pada umumnya berpikir bahwa OTG adalah orang-orang yang sudah terkonfirmasi positif tetapi tidak menunjukkan gejala.

"Sebenarnya kalau kita secara harfiah, dilihat dari kata-kata saja memang OTG itu (seolah) terkonfirmasi positif," katanya.

Baca juga: PMI ajak masyarakat tidak takut donor darah saat pandemi COVID-19

Namun, ia mengatakan bahwa orang tanpa gejala tersebut sebenarnya memiliki tiga klasifikasi.

Klasifikasi pertama dari orang-orang tanpa gejala tersebut adalah OTG yang asimtomatik, yaitu orang yang tidak memiliki keluhan sama sekali.

"Jadi dia positif COVID-19 tapi tidak ada gejala atau keluhan," katanya.

Klasifikasi berikutnya adalah OTG yang presimtomatik, yaitu orang yang terinfeksi COVID-19 pada minggu-minggu pertama.

"Jadi perlu diketahui bahwa fase infeksi COVID-19 ini ada tiga fase (yaitu awal, pertengahan dan akhir). Nah, pada fase awal infeksi ini, sekitar 2-3 minggu, keluhannya umumnya sangat ringan atau keluhannya sifatnya lokal," katanya.

"Misalkan kadang sakit tenggorokan saja atau badan meriang-meriang saja atau kadang batuk-batuk sedikit. Bahkan pada fase ini bisa saja tanpa gejala," kata dia lebih lanjut.

Baca juga: PMI: Waspadai peningkatan kasus COVID-19 di luar Jakarta


Fase presimtomatik itu disebut juga fase infeksius. Fase tersebut, menurut dia, sebenarnya adalah fase yang berbahaya bagi seseorang yang terinfeksi karena dapat menginfeksi orang lain tanpa sadar.

Sementara itu, klasifikasi ketiga dari orang-orang tanpa gejala tersebut adalah OTG simtomatik sangat ringan.

"(Simtomatik) sangat ringan itu dia mengeluh ada demam-demam, meriang, batuk-batuk tetapi kita anggap seperti flu biasa. Dan masyarakat sering kali tidak aware dengan gejala tersebut," katanya.

Padahal ketiga kelompok tersebut, kata Andika, sebenarnya berisiko untuk menular ke orang lain.

"Jadi yang kita maksud dengan terkonfirmasi positif itu kalau sudah diperiksa (dan ada hasilnya). Tapi kalau orang-orang ini tanpa gejala dan mereka enggak sadar jadi enggak bisa kita konfirmasi. Tapi sebenarnya orang-orang ini sudah mengandung virus yang bisa menulari ke orang lain. Ini bahaya sebenarnya," kata dia.

Oleh kerana itu, ia menekankan pentingnya penelusuran.

"Jadi selama ini kan kita deteksi dininya hanya melalui gejala genesis atau melalui pengukuran suhu," katanya.

Ke depan, ia menyarankan surveilans yang lebih ketat berdasarkan tes PCR agar masyarakat menjadi lebih sadar.

"Misalnya si A positif. Harusnya sekitar A ini anggota keluarganya harus ditracing, harus diperiksa juga dengan PCR. Teman-temannya, kontak-kontaknya harus diperiksa juga. Itu yang kita sebut dengan tracing aktif. Kalau enggak orang enggak akan tahu," katanya.

Baca juga: Bahas kesiapan PSBB, DPRD undang Wali Kota Banjarbaru-Kalsel