Surabaya (ANTARA News) - Anggota Badan Pekerja dan Koordinator Divisi Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, berpendapat Rancangan Undang Undang (RUU) Tindak Pidana Korupsi yang diajukan pemerintah kepada DPR pada tanggal 25 Mei 2009 lebih menguntungkan para koruptor.

"RUU itu tentu disukai dan menguntungkan koruptor yang telah merugikan uang negara. Meskipun koruptor dipenjara, uang hasil korupsi masih berada di dalam kekuasaannya," kata Emerson dalam siaran persnya yang diterima ANTARA Surabaya, Sabtu malam.

Ia mengungkapkan, dalam naskah RUU Tipikor itu sedikit-dikitnya memiliki 20 persoalan yang justru tidak mendukung agenda pemberantasan korupsi. "Salah satu hal persoalan yang krusial dalam RUU Tipikor itu adalah pemerintah menghapus hukuman pidana tambahan berupa membayar uang pengganti," katanya.

Ketentuan uang pengganti sebagai pidana tambahan sebelumnya diatur dalam pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (terlampir).

Dalam pasal tersebut, lanjut dia, pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

"Jika pelaku tidak mau membayar paling lama satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka kejaksaan dapat menyita dan melelang aset milik koruptor untuk menutup uang pengganti tersebut. Jika koruptor tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya," katanya menjelaskan.

Menurut dia, semangat pemberantasan korupsi tidak saja memberikan efek jera bagi pelaku (koruptor) dalam bentuk penjatuhan pidana penjara (menghukum badan), namun juga mengembalikan uang yang telah dikorupsi ke kas negara (asset recovery).

"Faktanya uang pengganti hasil korupsi jika berhasil dieksekusi ke kas negara setidaknya dapat mengurangi kerugian lebih besar dari uang negara yang dikorupsi," kata Emerson.

Ia menyebutkan, sesuai laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), uang pengganti korupsi yang menjadi kewajiban Kejaksaan Agung yang hingga kini belum disetorkan ke kas negara mencapai Rp6, 3 triliun.

"Jika RUU Tipikor yang tidak mengatur soal hukuman uang pengganti itu disahkan, maka ini merupakan langkah mundur bagi upaya pemberantasan korupsi khususnya dalam upaya `asset recovery`," katanya.

Oleh sebab itu, dia meminta DPR mengembalikan RUU Tipikor tersebut kepada pemerintah untuk dirombak ulang dan disosialisasikan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk mendapatkan masukan.(*)