(ANTARA News) - "Macam dijual aja wanita disini, dengan uang 35 juta bisa dapat yang mirip Rossa," demikian ujar Rio, aktor utama dalam film pendek berjudul "Uang Naik" yang diputar dalam Program Kineforum bulan Juli 2009 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.

Film besutan sutradara wanita asal Makassar, Ulfiani, ini mengangkat tema kegelisahan tokoh utama saat gagal menikahi kekasihnya akibat tradisi suku Bugis Makassar yang dikenal dengan nama Uang Naik.

Uang Naik adalah tradisi turun temurun dimana seorang pria yang ingin menikahi kekasihnya harus memberikan sejumlah uang pada keluarga si wanita dengan nominal uang ditentukan oleh pihak keluarga wanita.

Rio yang dimintai Uang Naik dengan jumlah Rp 35 juta merasa belum mampu memenuhi persyaratan keluarga Winda, kekasihnya, hingga kemudian memutuskan untuk menunda lamaran sambil mencari pekerjaan dan mengumpulkan uang. Diluar dugaan, dia mendengar kabar kekasihnya sudah dilamar oleh lelaki lain yang menyanggupi membayar Uang Naik pada keluarga Winda.

Digambarkan Rio merasa frustasi dan berusaha mati-matian untuk membujuk keluarga Winda agar menolak lamaran laki-laki lain itu dan menunggunya menyediakan uang 35 juta tersebut. Di akhir cerita, orang tua Winda tidak bisa memenuhi kemauan Rio dan mereka akhirnya menerima pinagan Alif untuk menjadikan Winda istrinya.

Secara tema, film ini seperti ingin menggambarkan gugatan seorang anak muda terhadap tradisi Bugis yang turun temurun. Namun, sudut pandang yang ditampilkan hanya versi Rio, sang aktor utama. Tidak dijelaskan mengenai latar belakang tradisi Uang Naik dan pendapat tokoh lain mengenai hal itu.

Hal ini mungkin bisa dimaklumi karena durasi film pendek ini hanya 15 menit. Namun, jika sejarah Uang Naik bisa dijelaskan secara singkat lewat riset kebudayaan atau bertanya pada tetua adat di daerah tersebut maka akan terasa melengkapi tema awal yang diusung yakni menggugat tradisi yang dirasa membawa ketidakberuntungan dalam hidup segelintir orang. Hal yang terjadi malah sebaliknya, tema film ini terasa lebih menggiring pembaca untuk terfokus pada getirnya kisah cinta Rio.

Dari segi detil cerita, ada keganjilan dalam film ini yaitu menyangkut Rio yang digambarkan tidak mampu membayar Uang Naik sejumlah 35 juta. Padahal ketika bertandang ke rumah Winda dia membawa kendaraan roda empat. Latar belakang ayah Rio yang seorang perwira menengah juga seharusnya tidak menyulitkan Rio untuk bisa mendapatka Uang Naik untuk keluarga Winda.

Tata suara film Uang Naik ini juga kurang baik karena banyak dialog yang tidak terdengar oleh penonton. Namun, secara umum film dokumenter ini cukup memberi angin segar dalam hal tema budaya yang diangkat yakni memotret realitas sosial di masyarakat.

Uang Naik merupakan satu dari empat judul film pendek yang ditampilkan dalam Kineforum bulan Juli 2009. Para pembuat film-film ini berasal dari kalangan pelajar, mahasiswa dan pembuat film amatir di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera dan Bali.

Kineforum adalah bioskop pertama di Indonesia di Jakarta yang menawarkan program pemutaran film klasik Indonesia dan beberapa karya pembuat film kontemporer. Program yang dikelola oleh Dewan Kesenian Jakarta dan para relawan muda ini tidak bertujuan untuk mencari keuntungan finansial.

Forum ini diharapkan dapat mengakomodir para pembuat film dan penonton di Jakarta untuk menikmati karya-karya non arus utama. (*)