Jakarta (ANTARA News) - Koalisi Organisasi Tenaga Kerja Indonesia di Hongkong (KOHITKO) dan Indonesian Migrant Workers Union (IMWU) menolak Rancangan Undang-Undang Upah Minimum Hongkong yang tidak menyertakan profesi pekerja rumah tangga (PRT).

Menurut Sekretaris Jenderal KOTHIKO Muthi Hidayati dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA News di Jakarta, Jumat, RUU Upah Minimum yang tidak menyertakan PRT merupakan tindakan diskriminasi dan politik upah murah Hongkong.

Pasalnya, banyak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja sebagai PRT sehingga bila RUU itu disahkan, mereka terancam tidak memiliki batasan upah minimum.

Padahal, ujar dia, pemerintah Hongkong pernah mengakui bahwa PRT asing memberikan sumbangan sebesar 1 persen bagi pertumbuhan perekonomian Hongkong selama tahun 2008.

Alasan pemerintah Hongkong melakukan tindakan pengecualian terhadap PRT karena suliltnya melakukan penghitungan jam kerja bagi PRT, karena penghitungan upah minimum dilakukan berdasarkan jam kerja.

Karenanya, Federasi Pekerja Rumah Tangga Se-Asia (FADWU) dan Koalisi untuk Hak Buruh Migran (CMR) telah mengajukan proposal tentang penghitungan jam kerja bagi PRT, tetapi tidak dikabulkan pemerintah Hongkong.

Sementara itu, Ketua IMWU Sringatin menyesalkan sikap pemerintah Indonesia yang enggan berkomentar terhadap permasalahan tersebut.

IMWU, KOTHIKO, FADWU, dan CMR telah menyampaikan aspirasinya dengan menggelar aksi unjuk rasa di depan Dewan Legislatif Hongkong pada Rabu (8/7).

Mereka meneriakkan yel-yel antara lain "Upah Minimum untuk Seluruh Buruh", "Pekerja Rumah Tangga adalah Manusia, Bukan Mesin," dan "Masukkan PRT dalam RUU Upah Minimum". (*)