Jakarta (ANTARA) - Berdasarkan riset terbaru Oxford Review of Economic Policy, investasi dalam Energi Baru Terbarukan (EBT) dapat menjadi salah satu faktor kuat untuk memulihkan perekonomian pasca-pandemi COVID-19.

Setidaknya berdasarkan hasil riset, ada lima tipe kebijakan pemulihan yang paling dibutuhkan, yaitu investasi kesehatan, kesiapsiagaan bencana, belanja riset, pemberian dana talangan untuk organisasi non-profit, dan investasi infrastruktur energi bersih.

“Pengurangan emisi akibat COVID-19 hanya sementara. Laporan ini menunjukkan bahwa kita dapat memilih untuk membangun kembali dengan lebih baik dan menjaga agar tetap ada perbaikan, seperti udara yang lebih bersih, kedekatan kembali dengan alam, dan mengurangi emisi gas rumah kaca,” kata penulis utama riset sekaligus Direktur di Smith School of Enterprise and Environment, Universitas Oxford, Cameron Hepburn dalam data yang dihimpun Antara di Jakarta, Selasa.

Kombinasi hasil survei dan bukti literatur mengungkapkan bahwa ada sejumlah tipe kebijakan pemulihan fiskal yang dapat menawarkan perbaikan ekonomi sekaligus berdampak positif bagi iklim, di antaranya investasi infrastruktur dalam bentuk aset EBT dan pengembangan teknologi penyimpanan energi (termasuk hidrogen).

Baca juga: IEEFA : "feed in tarif" dapat digunakan untuk memulai investasi EBT

Laporan ini selaras dengan berbagai penelitian sebelumnya yang juga menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur energi bersih cenderung lebih padat karya, sehingga akan menciptakan lapangan pekerjaan dua kali lebih banyak dibandingkan investasi bahan bakar fosil.

Direktur Centre for Climate Finance, Imperial College Business School Charles Donovan mengatakan energi bersih tidak hanya terjangkau dan dapat diandalkan, tetapi juga menawarkan pengembalian investasi tertinggi. Investor memiliki selera yang semakin besar untuk menggunakan uang mereka di bidang keuangan berkelanjutan. Pemerintah perlu menulis ulang peraturan sehingga mereka bisa merealisasikan itu.

“Responden survei global ini termasuk para pakar dan ekonom di Indonesia. Belanja Indonesia dalam merespons COVID-19 sejauh ini relatif netral terhadap isu iklim, tetapi ada sejumlah kebijakan yang negatif untuk iklim seperti pemberian insentif untuk maskapai dan diskon bahan bakar pesawat di bandara,” menurutnya.

Baca juga: Peluang kerja banyak tercipta dari investasi EBTKE