Ribuan rumah tangga perikanan terancam kehilangan sumber pendapatan
4 Mei 2020 11:11 WIB
Sejumlah nelayan yang sedang melaut mengantre untuk mendapatkan bantuan sembako dari Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur di perairan Kupang, NTT,Rabu (15/4/2020). ANTARA FOTO/Kornelis Kaha/aww.
Kupang (ANTARA) - Organisasi non profit di Kota Kupang Pikul menyatakan sekitar 226.526 orang yang terdiri dari 66.525 rumah tangga perikanan di NTT terancam kehilangan sumber pendapatan akibat wabah COVID-19 yang sedang melanda daerah itu.
Program Manager, Right to Food – Perkumpulan Pikul Andry Ratumakin kepada ANTARA di Kupang, Senin (4/5) mengatakan bahwa hal ini dinyatakan setelah pihaknya melakukan survei terhadap nelayan dan usaha perikanan skala kecil pada pertengahan bulan April 2020.
"Dari hasil survei kami, dampak COVID-19 ini dapat menyebabkan kehilangan nilai produksi perikanan tangkap sekitar Rp2 triliun dalam setahun," katanya.
Ia mengatakan bahwa penurunan jumlah tangkapan nelayan dan hasil penjualan ikan dari 50 – 75 persen membuat para pelaku usaha kelautan dan perikanan yang umumnya tidak memiliki tabungan harus mencari cara baru beradaptasi dan bertahan hidup.
Andry juga mengatakan bahwa diperkirakan jumlah produksi perikanan tangkap NTT yang selalu naik setiap tahun, bahkan di tahun 2018 mencapai 157.691 ton, kemungkinan akan menurun pada tahun ini.
Selain itu, kata dia, dari sisi ketersediaan protein laut, angka tersebut sangat cukup walaupun dapat berkurang hingga 50 atau setara dengan 78.845,5 ton.
"Meskipun demikian, total ketersediaan ini sangat mungkin untuk menyokong asupan protein warga NTT yang mencapai 5.456.203 jiwa," tambah dia.
Lebih lanjut ia menambahkan jika kebutuhan protein ikan setiap orang sesuai dengan angka kebutuhan gizi sekitar 6.72 gram/hari/ orang, maka dibutuhkan sekitar 12.860 ton ikan/ tahun. NTT masih surplus sekitar 65.985,5 ton ikan.
Tetapi walaupun surplus persoalan lain yang muncul adalah, bagaimana mendistribusikan protein laut tersebut kepada warga NTT di tengah situasi pandemi yang membatasi berbagai akses.
Program Officer, Right to Food -Perkumpulan Pikul mengusulkan agar pemerintah NTT perlu melakukan beberapa terobosan untuk menjaga suplai nelayan dan distribusi pangan sehat dan bergizi kepada segenap warga NTT di tengah daya beli yang juga turun.
Beberapa solusi terkait upaya jangka pendek untuk mengatasi persoalan nelayan, termasuk membuka akses distribusi protein laut bagi warga, seperti pendataan dan pemberian bantuan kepada pelaku usaha kelautan dan perikanan yang kehilangan dan terancam kehilangan pekerjaan karena penurunan pendapatan di atas 5o persen.
Selain itu pihaknya juga mengusulkan agar pemerintah menghubungkan produsen ikan dengan pembeli melalui pertukaran uang atau barang, lalu membuka pembatasan akses pasar dengan protokol jelas dan tegas.
Tak hanya itu pemerintah juga kata dia perlu mewajibkan sekitar 104.586 PNS membeli hasil perikanan, disamping itu juga, Kementerian Kelautan dan Perikanan membeli hasil tangkapan nelayan untuk disalurkan ke warga.
"Terakhir melakukan mekanisme pembelian produk warga desa termasuk tangkapan nelayan untuk menjaga perputaran ekonomi desa," tambah dia.
Baca juga: KKP kirim surat edaran kepada pemda terkait nelayan
Baca juga: Ketua MPR: Bantu Petani dan Nelayan yang produktif di tengah pandemi
Program Manager, Right to Food – Perkumpulan Pikul Andry Ratumakin kepada ANTARA di Kupang, Senin (4/5) mengatakan bahwa hal ini dinyatakan setelah pihaknya melakukan survei terhadap nelayan dan usaha perikanan skala kecil pada pertengahan bulan April 2020.
"Dari hasil survei kami, dampak COVID-19 ini dapat menyebabkan kehilangan nilai produksi perikanan tangkap sekitar Rp2 triliun dalam setahun," katanya.
Ia mengatakan bahwa penurunan jumlah tangkapan nelayan dan hasil penjualan ikan dari 50 – 75 persen membuat para pelaku usaha kelautan dan perikanan yang umumnya tidak memiliki tabungan harus mencari cara baru beradaptasi dan bertahan hidup.
Andry juga mengatakan bahwa diperkirakan jumlah produksi perikanan tangkap NTT yang selalu naik setiap tahun, bahkan di tahun 2018 mencapai 157.691 ton, kemungkinan akan menurun pada tahun ini.
Selain itu, kata dia, dari sisi ketersediaan protein laut, angka tersebut sangat cukup walaupun dapat berkurang hingga 50 atau setara dengan 78.845,5 ton.
"Meskipun demikian, total ketersediaan ini sangat mungkin untuk menyokong asupan protein warga NTT yang mencapai 5.456.203 jiwa," tambah dia.
Lebih lanjut ia menambahkan jika kebutuhan protein ikan setiap orang sesuai dengan angka kebutuhan gizi sekitar 6.72 gram/hari/ orang, maka dibutuhkan sekitar 12.860 ton ikan/ tahun. NTT masih surplus sekitar 65.985,5 ton ikan.
Tetapi walaupun surplus persoalan lain yang muncul adalah, bagaimana mendistribusikan protein laut tersebut kepada warga NTT di tengah situasi pandemi yang membatasi berbagai akses.
Program Officer, Right to Food -Perkumpulan Pikul mengusulkan agar pemerintah NTT perlu melakukan beberapa terobosan untuk menjaga suplai nelayan dan distribusi pangan sehat dan bergizi kepada segenap warga NTT di tengah daya beli yang juga turun.
Beberapa solusi terkait upaya jangka pendek untuk mengatasi persoalan nelayan, termasuk membuka akses distribusi protein laut bagi warga, seperti pendataan dan pemberian bantuan kepada pelaku usaha kelautan dan perikanan yang kehilangan dan terancam kehilangan pekerjaan karena penurunan pendapatan di atas 5o persen.
Selain itu pihaknya juga mengusulkan agar pemerintah menghubungkan produsen ikan dengan pembeli melalui pertukaran uang atau barang, lalu membuka pembatasan akses pasar dengan protokol jelas dan tegas.
Tak hanya itu pemerintah juga kata dia perlu mewajibkan sekitar 104.586 PNS membeli hasil perikanan, disamping itu juga, Kementerian Kelautan dan Perikanan membeli hasil tangkapan nelayan untuk disalurkan ke warga.
"Terakhir melakukan mekanisme pembelian produk warga desa termasuk tangkapan nelayan untuk menjaga perputaran ekonomi desa," tambah dia.
Baca juga: KKP kirim surat edaran kepada pemda terkait nelayan
Baca juga: Ketua MPR: Bantu Petani dan Nelayan yang produktif di tengah pandemi
Pewarta: Kornelis Kaha
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020
Tags: