Restrukturisasi kredit, Anggota DPR: Perhatikan likuiditas perbankan
4 Mei 2020 08:42 WIB
Ilustrasi-Aktivitas pekerja mebel di salah satu UMKM di Kabupaten Sukoharjo. UMKM menjadi bagian dari debitur yang mengajukan restrukturisasi. (ANTARA/Aris Wasita)
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Anetta Komarudin mengapresiasi program restrukturisasi kredit dalam rangka mengatasi dampak pandemi COVID-19 terhadap perekonomian warga, tetapi juga perlu diperhatikan kondisi likuiditas perbankan.
"Kebijakan restrukturisasi kredit bagi UMKM terdampak COVID-19 memang di satu sisi memberikan waktu tambahan bagi pelaku usaha untuk menyelamatkan kelangsungan usahanya. Namun, kebijakan ini menjadi tantangan tersendiri bagi bank-bank kecil karena dapat menekan likuiditas perbankan," kata Puteri Anetta Komarudin dalam rilis di Jakarta, Senin.
Menurut Puteri, hal tersebut terjadi seiring berkurangnya cash inflow (aliran dana tunai) dari angsuran kredit nasabah, yang dihadapkan bersamaan dengan pemenuhan kewajiban dana pihak ketiga serta penarikan dana nasabah yang dipicu wabah pandemi.
Politisi Fraksi Partai Golkar itu mengemukakan, dengan hadirnya bantuan subsidi bunga kredit, maka setidaknya ke depan bakal dapat mengurangi beban perbankan dengan menambah ruang likuiditas dan menjadi penyeimbang dalam memberikan keringanan kredit bagi debiturnya.
Pemerintah telah menyiapkan mekanisme penundaan angsuran dan subsidi bunga kredit bagi debitur UMKM selama enam bulan. Bagi debitur ultra mikro dengan kredit di bawah Rp10 juta seperti UMi, PNM Mekaar dan Pegadaian, akan memperoleh penundaan angsuran dan subsidi bunga 6 persen selama enam bulan.
Sedangkan untuk debitur KUR dan pelaku usaha dengan nilai kredit hingga Rp500 juta akan mendapatkan penundaan cicilan pokok dan subsidi bunga 6 persen selama tiga bulan dan 3 persen selama tiga bulan berikutnya.
Selain itu, Pemerintah juga memberikan relaksasi secara bertahap bagi debitur dengan kredit di atas Rp500 juta-Rp10 miliar berupa subsidi bunga 3 persen selama tiga bulan dan 2 persen selama tiga bulan berikutnya.
"Pelaksanaan kebijakan ini harus dilakukan secara hati-hati dengan memastikan ketersediaan arus likuiditas yang memadai. Apabila dengan dilaksanakannya penundaan angsuran menyebabkan suatu bank mengalami masalah likuiditas, mekanisme yang disiapkan pemerintah seperti bantuan interbank, maupun cadangan bantuan likuiditas harus dipastikan dapat terlaksana dengan baik," katanya.
Puteri berpendapat upaya ini perlu dilakukan agar menjaga kepercayaan nasabah terhadap perbankan, khususnya bagi bank skala kecil yang paling bersentuhan dengan masyarakat untuk mendukung kelangsungan usaha mereka.
Sebelumnya, untuk menambah likuiditas, otoritas moneter kembali menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) rupiah untuk bank umum konvensional dan bank umum syariah atau unit usaha syariah mulai 1 Mei 2020.
Penurunan GWM rupiah masing-masing sebesar 200 basis poin untuk bank umum konvensional dan 50 basis poin untuk bank umum syariah atau unit usaha syariah ini akan menambah likuiditas Rp102 triliun.
Bank Indonesia juga tidak memberlakukan kewajiban tambahan Giro untuk pemenuhan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) selama setahun untuk menambah likuiditas sebesar Rp15,8 triliun.
"Sehingga dari penurunan GWM dan RIM ini akan menambah injeksi likuiditas kurang lebih Rp117,8 triliun, untuk mendukung injeksi yang sudah diberikan sebelumnya Rp300 triliun," kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.
Baca juga: Pemerintah siapkan likuiditas untuk bank akibat restrukturisasi kredit
Baca juga: Realisasi restrukturisasi kredit empat bank BUMN Rp120,8 triliun
"Kebijakan restrukturisasi kredit bagi UMKM terdampak COVID-19 memang di satu sisi memberikan waktu tambahan bagi pelaku usaha untuk menyelamatkan kelangsungan usahanya. Namun, kebijakan ini menjadi tantangan tersendiri bagi bank-bank kecil karena dapat menekan likuiditas perbankan," kata Puteri Anetta Komarudin dalam rilis di Jakarta, Senin.
Menurut Puteri, hal tersebut terjadi seiring berkurangnya cash inflow (aliran dana tunai) dari angsuran kredit nasabah, yang dihadapkan bersamaan dengan pemenuhan kewajiban dana pihak ketiga serta penarikan dana nasabah yang dipicu wabah pandemi.
Politisi Fraksi Partai Golkar itu mengemukakan, dengan hadirnya bantuan subsidi bunga kredit, maka setidaknya ke depan bakal dapat mengurangi beban perbankan dengan menambah ruang likuiditas dan menjadi penyeimbang dalam memberikan keringanan kredit bagi debiturnya.
Pemerintah telah menyiapkan mekanisme penundaan angsuran dan subsidi bunga kredit bagi debitur UMKM selama enam bulan. Bagi debitur ultra mikro dengan kredit di bawah Rp10 juta seperti UMi, PNM Mekaar dan Pegadaian, akan memperoleh penundaan angsuran dan subsidi bunga 6 persen selama enam bulan.
Sedangkan untuk debitur KUR dan pelaku usaha dengan nilai kredit hingga Rp500 juta akan mendapatkan penundaan cicilan pokok dan subsidi bunga 6 persen selama tiga bulan dan 3 persen selama tiga bulan berikutnya.
Selain itu, Pemerintah juga memberikan relaksasi secara bertahap bagi debitur dengan kredit di atas Rp500 juta-Rp10 miliar berupa subsidi bunga 3 persen selama tiga bulan dan 2 persen selama tiga bulan berikutnya.
"Pelaksanaan kebijakan ini harus dilakukan secara hati-hati dengan memastikan ketersediaan arus likuiditas yang memadai. Apabila dengan dilaksanakannya penundaan angsuran menyebabkan suatu bank mengalami masalah likuiditas, mekanisme yang disiapkan pemerintah seperti bantuan interbank, maupun cadangan bantuan likuiditas harus dipastikan dapat terlaksana dengan baik," katanya.
Puteri berpendapat upaya ini perlu dilakukan agar menjaga kepercayaan nasabah terhadap perbankan, khususnya bagi bank skala kecil yang paling bersentuhan dengan masyarakat untuk mendukung kelangsungan usaha mereka.
Sebelumnya, untuk menambah likuiditas, otoritas moneter kembali menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) rupiah untuk bank umum konvensional dan bank umum syariah atau unit usaha syariah mulai 1 Mei 2020.
Penurunan GWM rupiah masing-masing sebesar 200 basis poin untuk bank umum konvensional dan 50 basis poin untuk bank umum syariah atau unit usaha syariah ini akan menambah likuiditas Rp102 triliun.
Bank Indonesia juga tidak memberlakukan kewajiban tambahan Giro untuk pemenuhan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) selama setahun untuk menambah likuiditas sebesar Rp15,8 triliun.
"Sehingga dari penurunan GWM dan RIM ini akan menambah injeksi likuiditas kurang lebih Rp117,8 triliun, untuk mendukung injeksi yang sudah diberikan sebelumnya Rp300 triliun," kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.
Baca juga: Pemerintah siapkan likuiditas untuk bank akibat restrukturisasi kredit
Baca juga: Realisasi restrukturisasi kredit empat bank BUMN Rp120,8 triliun
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020
Tags: