Wakil Ketua MPR ajak pindah model pendidikan lama ke model berbasis TI
2 Mei 2020 15:49 WIB
Dokumentasi - Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah seusai memberikan pidato kunci pada acara rapat koordinasi dan sinkronisasi materi dan metode melalui pembinaan ideologi Pancasila bagi ASN di Bali. ANTARA/Muhammad Arief Iskandar/pri.
Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah mengajak pemangku kepentingan untuk melakukan hijrah atau perpindahan secara bersama-sama dalam dunia pendidikan, dari semula menggunakan model lama menuju paradigma baru berbasis teknologi informasi (TI) atau virtual.
Ajakan berhijrah itu disampaikan Ketua Fraksi PDI Perjuangan itu dalam rangka menyemarakkan Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh pada tanggal 2 Mei, sekaligus untuk merespons seruan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim.
"Nadiem mengatakan belajar memang tidak selalu mudah, tetapi inilah saatnya berinovasi. Saatnya melakukan berbagai eksperimen, dan saatnya kita mendengarkan hati nurani dan belajar dari COVID-19," kata Basarah berdasarkan rilis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Baca juga: MPR: Penuhi hak pendidikan rakyat selama pandemi COVID-19
Basarah menambahkan, dengan berhijrah dalam paradigma pendidikan nasional ini, dengan sendirinya bangsa Indonesia tetap berpegang teguh pada filosofi dan paradigma perjuangan pendidikan Ki Hajar Dewantara, pahlawan nasional sekaligus Bapak Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
Filosofi Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan melenyapkan kebodohan dari bumi Indonesia. Atas dasar filosofi pendidikannya itulah, hari kelahirannya pada 2 Mei dijadikan Hari Pendidikan Nasional seperti tertuang dalam Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1959 yang dikeluarkan pada 16 Desember 1959.
Menurut Basarah, dengan melakukan hijrah paradigma pendidikan nasional yang lebih mengedepankan basis digitalisasi proses pengajaran, bangsa Indonesia dengan sendirinya telah merespons ajakan Mendikbud Nadiem Makarim, untuk berinovasi, melakukan banyak eksperimen, dan mendengarkan hati nurani sekaligus.
Baca juga: Mendikbud: Pendidikan bukan sesuatu yang dilakukan di sekolah saja
"Maka menjadi catatan pemerintah adalah bagaimana pola pendidikan digital itu dipraktikkan secara nasional hingga jangan sampai ada anak-anak bangsa Indonesia yang tidak bisa memperoleh hak pendidikannya, karena masih banyak daerah di pelosok Tanah Air yang belum mendapatkan fasilitas internet serta tidak semua orang tua peserta didik mampu menyiapkan perangkat TI untuk mengikuti pola pendidikan secara virtual tersebut," ujar Basarah.
Dia mengatakan jika selama ini pendidikan nasional banyak berorientasi pada pola tatap wajah di kelas sementara penggunaan TI seperti gawai, laptop dan sejenisnya seolah berjalan sendiri bahkan cenderung disalahgunakan, maka setelah COVID-19 ini usai, harapannya semua pihak menjadikan pola pendidikan digital sebagai prioritas utama sambil mengawasi penggunaan TI ke arah yang lebih mencerdaskan bangsa.
Menurut dosen pascasarjana Universitas Brawijaya Malang itu, semua pranata sosial di Tanah Air mempunyai hakim pengawas sendiri-sendiri.
Baca juga: Komisi X dorong program berkelanjutan pendidikan jarak jauh
Dalam lingkup keluarga ada orangtua yang menjadi pengawas, dalam lembaga pendidikan ada guru dan dosen yang menjadi hakim pengawas, dalam lingkungan sosial ada ketua lingkungan yang mengawasi, sementara media massa mempunyai pengawas bernama Dewan Pers, Komisi Penyiaran Informasi (KPI), dan Komisi I DPR RI.
‘’Nah, selama ini kita merasakan, hanya media sosial yang tidak punya pengawas. Dunia maya ini berkembang liar hingga mudah disalahgunakan, mulai dari eksploitasi pornografi sampai digunakan untuk terorisme. Kini dengan berhijrah, kita bisa memaksimalkan teknologi informasi itu ke arah yang lebih mencerdaskan bangsa, lebih terarah sesuai kepribadian bangsa kita sendiri,’’ kata Ketua Wantimpus GM-FKPPI itu.
Ia mengatakan selama ini media sosial terkesan mengambil alih pembentukan karakter bangsa dan banyak penyalahgunaan teknologi modern itu, misalnya untuk menyebarkan terorisme, propaganda melawan ideologi Pancasila, dan kampanye negatif gaya hidup LGBT yang tidak sesuai dengan kultur bangsa.
Baca juga: PGRI berharap pemerintah segera susun cetak biru pendidikan nasional
Setelah COVID-19 ini, Basarah berharap semua guru, dosen, orangtua, dan sekaligus pelajar dan mahasiswa terlibat bersama-sama menggunakan fasilitas modern itu untuk membangun kultur pendidikan dan peradaban baru yang lebih sehat.
"Saya katakan dengan berhijrah ini kita mendengarkan hati nurani karena selama ini kita seolah tertidur dengan pola lama yang mengabaikan dampak negatif teknologi informasi. Sekarang, dengan terlibat dalam proses belajar mengajar bersama, semua dosen, guru, murid, mahasiswa, dan juga orangtua dengan sendirinya mempersempit ruang penyalahgunaan TI dan media sosial terutama oleh anak-anak kita,’’ ujar anggota Komisi X DPR RI itu.
Ajakan berhijrah itu disampaikan Ketua Fraksi PDI Perjuangan itu dalam rangka menyemarakkan Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh pada tanggal 2 Mei, sekaligus untuk merespons seruan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim.
"Nadiem mengatakan belajar memang tidak selalu mudah, tetapi inilah saatnya berinovasi. Saatnya melakukan berbagai eksperimen, dan saatnya kita mendengarkan hati nurani dan belajar dari COVID-19," kata Basarah berdasarkan rilis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Baca juga: MPR: Penuhi hak pendidikan rakyat selama pandemi COVID-19
Basarah menambahkan, dengan berhijrah dalam paradigma pendidikan nasional ini, dengan sendirinya bangsa Indonesia tetap berpegang teguh pada filosofi dan paradigma perjuangan pendidikan Ki Hajar Dewantara, pahlawan nasional sekaligus Bapak Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
Filosofi Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan melenyapkan kebodohan dari bumi Indonesia. Atas dasar filosofi pendidikannya itulah, hari kelahirannya pada 2 Mei dijadikan Hari Pendidikan Nasional seperti tertuang dalam Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1959 yang dikeluarkan pada 16 Desember 1959.
Menurut Basarah, dengan melakukan hijrah paradigma pendidikan nasional yang lebih mengedepankan basis digitalisasi proses pengajaran, bangsa Indonesia dengan sendirinya telah merespons ajakan Mendikbud Nadiem Makarim, untuk berinovasi, melakukan banyak eksperimen, dan mendengarkan hati nurani sekaligus.
Baca juga: Mendikbud: Pendidikan bukan sesuatu yang dilakukan di sekolah saja
"Maka menjadi catatan pemerintah adalah bagaimana pola pendidikan digital itu dipraktikkan secara nasional hingga jangan sampai ada anak-anak bangsa Indonesia yang tidak bisa memperoleh hak pendidikannya, karena masih banyak daerah di pelosok Tanah Air yang belum mendapatkan fasilitas internet serta tidak semua orang tua peserta didik mampu menyiapkan perangkat TI untuk mengikuti pola pendidikan secara virtual tersebut," ujar Basarah.
Dia mengatakan jika selama ini pendidikan nasional banyak berorientasi pada pola tatap wajah di kelas sementara penggunaan TI seperti gawai, laptop dan sejenisnya seolah berjalan sendiri bahkan cenderung disalahgunakan, maka setelah COVID-19 ini usai, harapannya semua pihak menjadikan pola pendidikan digital sebagai prioritas utama sambil mengawasi penggunaan TI ke arah yang lebih mencerdaskan bangsa.
Menurut dosen pascasarjana Universitas Brawijaya Malang itu, semua pranata sosial di Tanah Air mempunyai hakim pengawas sendiri-sendiri.
Baca juga: Komisi X dorong program berkelanjutan pendidikan jarak jauh
Dalam lingkup keluarga ada orangtua yang menjadi pengawas, dalam lembaga pendidikan ada guru dan dosen yang menjadi hakim pengawas, dalam lingkungan sosial ada ketua lingkungan yang mengawasi, sementara media massa mempunyai pengawas bernama Dewan Pers, Komisi Penyiaran Informasi (KPI), dan Komisi I DPR RI.
‘’Nah, selama ini kita merasakan, hanya media sosial yang tidak punya pengawas. Dunia maya ini berkembang liar hingga mudah disalahgunakan, mulai dari eksploitasi pornografi sampai digunakan untuk terorisme. Kini dengan berhijrah, kita bisa memaksimalkan teknologi informasi itu ke arah yang lebih mencerdaskan bangsa, lebih terarah sesuai kepribadian bangsa kita sendiri,’’ kata Ketua Wantimpus GM-FKPPI itu.
Ia mengatakan selama ini media sosial terkesan mengambil alih pembentukan karakter bangsa dan banyak penyalahgunaan teknologi modern itu, misalnya untuk menyebarkan terorisme, propaganda melawan ideologi Pancasila, dan kampanye negatif gaya hidup LGBT yang tidak sesuai dengan kultur bangsa.
Baca juga: PGRI berharap pemerintah segera susun cetak biru pendidikan nasional
Setelah COVID-19 ini, Basarah berharap semua guru, dosen, orangtua, dan sekaligus pelajar dan mahasiswa terlibat bersama-sama menggunakan fasilitas modern itu untuk membangun kultur pendidikan dan peradaban baru yang lebih sehat.
"Saya katakan dengan berhijrah ini kita mendengarkan hati nurani karena selama ini kita seolah tertidur dengan pola lama yang mengabaikan dampak negatif teknologi informasi. Sekarang, dengan terlibat dalam proses belajar mengajar bersama, semua dosen, guru, murid, mahasiswa, dan juga orangtua dengan sendirinya mempersempit ruang penyalahgunaan TI dan media sosial terutama oleh anak-anak kita,’’ ujar anggota Komisi X DPR RI itu.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2020
Tags: