Pekanbaru (ANTARA News) - Menteri Kehutanan (Menhut) MS Kaban mengaku gusar melihat media massa terlalu membesar-besarkan pemberitaan tentang kabut asap akibat kebakaran lahan di Provinsi Riau, sedangkan potensi keanekaragaman hayati kurang mendapat porsi yang sepadan.

"Berita tentang Riau selama ini selalu negatif dan tidak jauh dari kabut asap, deforestasi, dan kerusakan lahan gambut," ujar Kaban pada kunjungannya ke Pekanbaru, Rabu.

Menurut Kaban, pemberitaan tentang kabut asap menciptakan opini negatif tentang Riau. Padahal, masih banyak potensi kehutanan dan keanekaragaman hayati di Riau yang juga bisa ditonjolkan.

"Setiap ada kabut asap, seluruh channel TV menayangkannya. Padahal kabut itu kan hal biasa yang terjadi pada pagi hari karena bisa dipengaruhi kelembaban udara, dan buktinya pada siang hari kabut sudah hilang," ujarnya.

Ia juga menolak anggapan bahwa kabut asap adalah bencana ekologis dan hal itu bukanlah akibat dari deforestasi berupa kebakaran hutan. Menurut dia, kebakaran yang selama ini terjadi adalah akibat aktivitas masyarakat yang masih menerapkan cara tradisional berupa pembakaran untuk membuka lahan.

"Suatu waktu kalian (wartawan) harus ikut saya naik helikopter untuk melihat kebakaran bukan terjadi di hutan, melainkan di lahan ilalang yang bukan hutan," ujarnya.

Meski begitu, ia meminta agar pemerintah daerah bersama perusahaan industri kehutanan untuk serius menjaga lingkungan terutama untuk mengubah pola pikir masyarakat dalam pembukaan lahan dengan metode pembakaran.



Bertolak Belakang

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara Bustar Maitar mengatakan, pernyataan Kaban tersebut sangat bertolak belakang dengan realitas yang ada.

Menurut dia, kabut asap juga terjadi akibat pembukaan di areal hutan dan lahan gambut yang makin marak setelah Menhut mulai mengeluarkan 20 rencana kerja tahunan hutan tanaman industri (RKT-HTI) dengan luas sekitar 100 ribu hektar sejak Maret lalu.

Hal itu terjadi karena dokumen RKT kini tak perlu lagi disertai tandatangan persetujuan ataupun rekomendasi dari Kadishut Provinsi Riau, seperti yang sebelumnya diatur dalam Permenhut P.62/Menhut-II/2008 yang mengatur pengesahan RKT HTI. Pengesahan RKT kini merupakan wewenang Menhut melalui Dirjen Bina Produksi Departemen Kehutanan, setelah adanya Permenhut P.14/Menhut-II/2009 pada Maret lalu.

"Banyak macam modus untuk mengalihkan isu kebakaran hutan, termasuk menyebutkan warga sebagai pelaku pembakaran lahan," katanya pada jumpa pers di Pekanbaru.

Menurut Bustar, kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan gambut di Riau merupakan bencana ekologis yang mengakibatkan efek rumah kaca dan penyumbang terbesar bagi pemanasan global. Tercatat, kabut asap selama bulan Juni sudah empat kali mengganggu aktivitas penerbangan di Bandara Pekanbaru dan Dumai.

Ia juga mengatakan, asap dari kebakaran akan melepas gas emisi ke udara dan butuh waktu lama untuk kembali netral.

"Kebakaran hutan akan melepas gas emisi ke atmosfer yang memerlukan waktu 110 tahun untuk netral, sedangkan gas emisi akibat kebakaran di lahan gambut butuh 600 tahun untuk kembali netral," ujarnya.

Ia mengatakan, pantauan Greenpeace menemukan fakta bahwa kebakaran terjadi di areal hutan dan lahan gambut dalam dari perusahaan penerima RKT yang dikeluarkan Menhut pada tahun ini. Selain itu, kebakaran juga terjadi di areal HPH, seperti di konsesi PT Siak Raya Timber yang dekat dengan Taman Nasional Tesso Nilo dan PT SML di Kabupaten Rokan Hilir.

"Kebijakan ini membuat kami mempertanyakan komitmen pemerintah, dalam hal ini Menhut terhadap kelestarian lingkungan. Selain itu, kami juga mempertanyakan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di hadapan Forum G-8 di Jepang pada 2008, yang mengatakan akan mengurangi emisi sebanyak 50 persen pada tahun 2009," katanya.

Karena itu, ia mendesak pemerintah untuk melakukan jeda tebang hutan sebagai upaya untuk memperbaiki karut-marutnya peraturan kehutanan dan rencana tata ruang di Provinsi Riau. (*)