Makassar (ANTARA) - Pemerhati masalah sosial Dr Hadawiah Hatita yang juga Direktur Eksekutif Lembaga Pendidikan Studi Media Publik mengatakan, harus ada solusi yang tepat bagi buruh yang dirumahkan karena perusahaan mengalami kesulitan di tengah pandemi COVID-19.

"Butuh kebijakan di tingkat lokal yang lebih membumi yang dapat menjawab persoalan di lapangan. Bukan hanya sekedar membagikan kebutuhan pokok atau nasi kotak pada kelompok yang terdampak COVID-19," kata Hadawiah di Makassar, Jumat, menanggapi refleksi Hari Buruh Internasional yang dikenal dengan istilah May Day pada 1 Mei.

Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Sulsel diketahui, data jumlah pekerja yang dirumahkan oleh perusahaan sudah menembus angka 9.296 orang saat pandemi COVID-19 masuk ke Sulsel.

Mencermati kondisi tersebut, Hadawiah yang juga akademisi dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar ini menilai, fenomena tersebut patut menjadi bahan kajian untuk mencari jalan keluar di masa wabah COVID-19.

Baca juga: Pakar: Penanggulangan COVID-19 diminta paralel dengan efeknya
Baca juga: Di Hari Buruh, Presiden KSPI peringatkan darurat PHK akibat COVID-19


Menurut dia, program yang dikeluarkan pemerintah dengan Kartu Prakerja belum dapat menjawab semua persoalan pekerja atau buruh yang dirumahkan dewasa ini.

Ia menilai, saat ini dibutuhkan komunikasi yang intensif dan humanis dengan kelompok pekerja yang dirumahkan, sehingga dapat ditemukan titik temu dalam mencari solusi bagi pekerja sambil menunggu kondisi kembali normal.

Sementara itu pada keterangan terpisah, Koordinator Federasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Sulsel Andi Mallanti mengatakan, peringatan Hari Buruh kali ini dialihkan menjadi aksi unjuk rasa ke penyemprotan disinfektan dan membagikan bahan pokok kepada pekerja yang terdampak.

Selain itu, juga membuka posko pengaduan bagi para buruh maupun pekerja yang dirumahkan maupun di PHK perusahaan mereka sebagai dampak dari COVID-19.

"Sejak pembukaan posko tiga hari terakhir, sudah masuk 441 laporan pekerja masing-masing dari Makassar 205 orang dan dari luar Makassar 236 orang," katanya.

Dia menjelaskan, umumnya mengaku hanya dibayar 50 hingga 75 persen upahnya oleh perusahaan tempat mereka bekerja. "Alasan pihak perusahaan karena produksi tidak optimal dan juga pihak perusahaan menanggung beban ekonomi akibat COVID-19," katanya.

Baca juga: Berempati dan bersimpati pada buruh saat pandemi
Baca juga: Sebanyak 5.047 buruh di Jabar di-PHK terkait COVID-19
Baca juga: Pemerhati ingatkan pelatihan kartu prakerja sesuai kebutuhan industri