Hari Buruh, serikat pekerja migas minta Omnibus Law dikaji kembali
1 Mei 2020 17:50 WIB
Ilustrasi: Para pekerja pulang dari anjungan minyak lepas pantai. Tenaga kerja adalah dampak ikutan yang sangat besar dari industri hulu migas. (novi abdi/Antara)
Jakarta (ANTARA) - Memperingati Hari Buruh, Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI) meminta pemerintah untuk membatalkan Omnibus Law Klaster Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja.
"Banyak tumpang tindih dalam Omnibus Law itu. Isinya juga banyak merugikan para buruh," ujar Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI) Faisal Yusran ketika dihubungi di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan bahwa salah satu tujuan pemerintah yakni mempermudah perizinan investasi agar dapat menopang ekonomi nasional. Namun, terdapat cukup banyak pasal-pasal yang tidak sesuai dengan semangat meningkatkan kesejahteraan buruh.
"Kalimat pemerintah, Omnibus Law dikeluarkan untuk menyederhanakan proses bisnis, namun dikaitkan dengan tenaga kerja sehingga tumpang tindih. Lebih banyak dibahas terkait outsourcing, upah hingga THR," paparnya.
Situasi itu, menurut dia, akan membuat kesejahteraan buruh semakin tertekan. Padahal buruh merupakan salah satu kekuatan penting dalam menjaga perekonomian.
"Banyak hak-hak buruh ke depan semakin tertekan karena tidak ada aspek perlindungan," ucapnya.
Baca juga: Presiden Jokowi janji lindungi buruh tetap berpenghasilan saat pandemi
Faisal Yusra juga mengatakan bahwa perlindungan dan kesejahteraan buruh masih menjadi salah satu hal yang masih harus diperjuangkan.
"Di hari buruh ini, buruh Indonesia masih tetap berjuang untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan," ujarnya.
Ia mengatakan di tengah pandemi COVID-19 ini buruh semakin terpuruk karena banyak perusahaan yang mulai melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
"Dengan kondisi sekarang ini bagaimana jaring pengaman sosial bagi buruh di Indonesia, karena mulai banyak PHK. Kita harapkan pengawasan pemerintah ditingkatkan terhadap perlindungan bagi pekerja atau buruh di Indonesia terkait dampak dari wabah COVID-19," ucapnya.
Saat ini, menurut dia, buruh juga masih dihadapkan oleh pekerja kontrak yang nantinya bakal menjadi pengangguran baru setelah kontraknya selesai hingga berada di bawah bayang-bayang PHK.
Baca juga: Pemerintah diminta tak paksakan skema Kartu Prakerja di tengah pandemi
"Banyak tumpang tindih dalam Omnibus Law itu. Isinya juga banyak merugikan para buruh," ujar Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI) Faisal Yusran ketika dihubungi di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan bahwa salah satu tujuan pemerintah yakni mempermudah perizinan investasi agar dapat menopang ekonomi nasional. Namun, terdapat cukup banyak pasal-pasal yang tidak sesuai dengan semangat meningkatkan kesejahteraan buruh.
"Kalimat pemerintah, Omnibus Law dikeluarkan untuk menyederhanakan proses bisnis, namun dikaitkan dengan tenaga kerja sehingga tumpang tindih. Lebih banyak dibahas terkait outsourcing, upah hingga THR," paparnya.
Situasi itu, menurut dia, akan membuat kesejahteraan buruh semakin tertekan. Padahal buruh merupakan salah satu kekuatan penting dalam menjaga perekonomian.
"Banyak hak-hak buruh ke depan semakin tertekan karena tidak ada aspek perlindungan," ucapnya.
Baca juga: Presiden Jokowi janji lindungi buruh tetap berpenghasilan saat pandemi
Faisal Yusra juga mengatakan bahwa perlindungan dan kesejahteraan buruh masih menjadi salah satu hal yang masih harus diperjuangkan.
"Di hari buruh ini, buruh Indonesia masih tetap berjuang untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan," ujarnya.
Ia mengatakan di tengah pandemi COVID-19 ini buruh semakin terpuruk karena banyak perusahaan yang mulai melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
"Dengan kondisi sekarang ini bagaimana jaring pengaman sosial bagi buruh di Indonesia, karena mulai banyak PHK. Kita harapkan pengawasan pemerintah ditingkatkan terhadap perlindungan bagi pekerja atau buruh di Indonesia terkait dampak dari wabah COVID-19," ucapnya.
Saat ini, menurut dia, buruh juga masih dihadapkan oleh pekerja kontrak yang nantinya bakal menjadi pengangguran baru setelah kontraknya selesai hingga berada di bawah bayang-bayang PHK.
Baca juga: Pemerintah diminta tak paksakan skema Kartu Prakerja di tengah pandemi
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020
Tags: