Pemerintah diminta kendalikan pencemaran udara kurangi risiko COVID-19
30 April 2020 22:04 WIB
Arsip foto. Alat indikator udara berada di dalam instalasi ruangan bebas polusi udara di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (13/9/2018). Ruangan tersebut diatur agar udara di dalamnya lebih bersih dari udara luar ruang kota Jakarta sebagai bentuk kampanye pentingnya melakukan upaya pengendalian terhadap sumber-sumber polutan. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/foc.
Jakarta (ANTARA) - Sejumlah hasil penelitian menyebutkan korelasi pencemaran udara dengan jumlah infeksi virus Corona baru penyebab COVID-19, sehingga membuat organisasi dan lembaga swadaya masyarakat bidang lingkungan hidup meminta pemerintah untuk mengendalikan pencemaran udara.
Peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Fajri Fadhillah dalam media briefing Pandemi Corona dan Polusi Udara, Bagaimana Keterkaitannya? di Jakarta, Kamis, mengatakan pencemaran udara telah menyebabkan banyak masalah kesehatan serta lingkungan.
Ia menilai lambannya pengendalian pencemaran udara akhirnya kini memperparah risiko penyakit yang berhubungan dengan COVID-19. Kualitas udara jelas tidak bisa dipisahkan dengan timbulan penyakit seperti saat ini, jadi pengendalian pencemaran bobotnya menjadi semakin penting.
“Perbaikan kualitas udara tidak saja hanya akan menguntungkan kesehatan masyarakat di saat keadaan normal, tapi juga semakin penting dalam situasi pandemi seperti saat ini," ujar dia.
Langkah pengendalian pencemaran udara bisa diawali dengan publikasi informasi tentang kualitas udara yang lengkap, mulai dari ambien, emisi, meteorologis dan geografis.
Publikasi informasi tentang kualitas udara tidak saja penting untuk menyampaikan dampak atau risiko kepada masyarakat, tapi juga untuk memastikan akuntabilitas pemerintah dalam pengambilan kebijakan pengendalian pencemaran udara, kata Fajri.
"Kami kampanyekan beberapa tahun belakang agar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan pengendalian pencemaran berbukti ilmiah. Ini penting karena ke depannya keputusan pemerintah untuk kendalikan pencemaran udara tentu akan mempertimbangkan data sebelum-sebelumnya," ujar dia.
Menurut dia, Indonesia dapat melihat contoh baik yang terjadi di China yang sejak 2014 membuka informasi terkait pengendalian polusi udaranya.
Dengan keterbukaan informasi di sana asisten profesor di MIT Sloan School of Management, Cambridge, dapat meneliti penurunan emisi dari sumber-sumber pencemaran seperti dari pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, gas dan biomassa, sehingga masyarakat dan peneliti juga dapat mengikuti seberapa jauh pencemaran udara sudah berkurang.
Sebelumnya, Guru Besar Universitas Indonesia (Gubes UI) dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Prof Dr Budi Haryanto mengatakan penyakit kronis akibat polusi udara dapat memicu komorbiditas keparahan pasien COVID-19.
Prof Budi mengatakan studi terbaru dari Harvard University memastikan bahwa orang-orang yang sudah lama terpapar polusi udara menjadi kelompok yang paling rentan terkena COVID-19.
Penelitian tersebut mendapati adanya kaitan antara peningkatan 1 μg/m3 PM2.5 dengan kualitas udara saat ini, dapat berdampak pada 15 persen tingkat kematian akibat COVID-19.
Dengan hasil penelitian Universitas Harvard yang menemukan bahwa risiko kematian akibat COVID-19 mencapai 4,5 kali lipat pada wilayah dengan polusi PM 2.5 yang tinggi, dibandingkan yang berpolusi rendah, menurut dia, artinya COVID-19 sangat mampu memperparah dampak kesehatan akibat polusi udara.
Baca juga: Gubes UI: Komorbiditas karena polusi udara perparah pasien COVID-19
Baca juga: Hujan berkurang, kualitas udara Jakarta berangsur turun
Baca juga: Walhi ajak jaga udara bersih saat PSBB dengan tidak bakar sampah
Peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Fajri Fadhillah dalam media briefing Pandemi Corona dan Polusi Udara, Bagaimana Keterkaitannya? di Jakarta, Kamis, mengatakan pencemaran udara telah menyebabkan banyak masalah kesehatan serta lingkungan.
Ia menilai lambannya pengendalian pencemaran udara akhirnya kini memperparah risiko penyakit yang berhubungan dengan COVID-19. Kualitas udara jelas tidak bisa dipisahkan dengan timbulan penyakit seperti saat ini, jadi pengendalian pencemaran bobotnya menjadi semakin penting.
“Perbaikan kualitas udara tidak saja hanya akan menguntungkan kesehatan masyarakat di saat keadaan normal, tapi juga semakin penting dalam situasi pandemi seperti saat ini," ujar dia.
Langkah pengendalian pencemaran udara bisa diawali dengan publikasi informasi tentang kualitas udara yang lengkap, mulai dari ambien, emisi, meteorologis dan geografis.
Publikasi informasi tentang kualitas udara tidak saja penting untuk menyampaikan dampak atau risiko kepada masyarakat, tapi juga untuk memastikan akuntabilitas pemerintah dalam pengambilan kebijakan pengendalian pencemaran udara, kata Fajri.
"Kami kampanyekan beberapa tahun belakang agar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan pengendalian pencemaran berbukti ilmiah. Ini penting karena ke depannya keputusan pemerintah untuk kendalikan pencemaran udara tentu akan mempertimbangkan data sebelum-sebelumnya," ujar dia.
Menurut dia, Indonesia dapat melihat contoh baik yang terjadi di China yang sejak 2014 membuka informasi terkait pengendalian polusi udaranya.
Dengan keterbukaan informasi di sana asisten profesor di MIT Sloan School of Management, Cambridge, dapat meneliti penurunan emisi dari sumber-sumber pencemaran seperti dari pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, gas dan biomassa, sehingga masyarakat dan peneliti juga dapat mengikuti seberapa jauh pencemaran udara sudah berkurang.
Sebelumnya, Guru Besar Universitas Indonesia (Gubes UI) dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Prof Dr Budi Haryanto mengatakan penyakit kronis akibat polusi udara dapat memicu komorbiditas keparahan pasien COVID-19.
Prof Budi mengatakan studi terbaru dari Harvard University memastikan bahwa orang-orang yang sudah lama terpapar polusi udara menjadi kelompok yang paling rentan terkena COVID-19.
Penelitian tersebut mendapati adanya kaitan antara peningkatan 1 μg/m3 PM2.5 dengan kualitas udara saat ini, dapat berdampak pada 15 persen tingkat kematian akibat COVID-19.
Dengan hasil penelitian Universitas Harvard yang menemukan bahwa risiko kematian akibat COVID-19 mencapai 4,5 kali lipat pada wilayah dengan polusi PM 2.5 yang tinggi, dibandingkan yang berpolusi rendah, menurut dia, artinya COVID-19 sangat mampu memperparah dampak kesehatan akibat polusi udara.
Baca juga: Gubes UI: Komorbiditas karena polusi udara perparah pasien COVID-19
Baca juga: Hujan berkurang, kualitas udara Jakarta berangsur turun
Baca juga: Walhi ajak jaga udara bersih saat PSBB dengan tidak bakar sampah
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2020
Tags: