Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Universitas Indonesia (Gubes UI) dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Prof Dr Budi Haryanto mengatakan penyakit kronis akibat polusi udara dapat memicu komorbiditas keparahan pasien COVID-19.

Prof Budi dalam media briefing Pandemi Corona dan Polusi Udara, Bagaimana Keterkaitannya? di Jakarta, Kamis, mengatakan studi terbaru dari Universitas Harvard memastikan bahwa orang-orang yang sudah lama terpapar polusi udara menjadi kelompok yang paling rentan terkena COVID-19.

Penelitian tersebut mendapati adanya kaitan antara peningkatan 1 μg/m3 PM2.5 dengan kualitas udara saat ini, dapat berdampak pada 15 persen tingkat kematian akibat COVID-19.

Berdasarkan data medical record Jakarta tahun 2010, Prof Budi menemukan 57,8 persen populasi Jakarta telah menderita berbagai penyakit terkait polusi udara.

"Dengan udara Jakarta bisa bersih saja sebenarnya 60 persen penyakit bisa hilang," ujar dia.

Baca juga: PSBB sebabkan kualitas udara Jakarta lebih baik, sebut BMKG

Sebelumnya ia menjelaskan pencemaran udara menjadi masalah karena sumber-sumbernya berasal dari bahan kimia buatan maupun yang memang ada di alam. Senyawa kimia dari pembakaran kendaraan bermotor dan industri teremisi di udara dan ketika dihirup secara terus menerus bisa menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker, jantung, hipertensi, diabetes, gangguan ginjal, gangguan fungsi paru, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), saluran pernafasan.

Jika polusi hasil pembakaran tadi terhirup lebih dalam lagi bisa mengganggu pertumbuhan fisik pada anak dan gangguan sistem syaraf, mempengaruhi IQ.

Dengan demikian katanya, jika merujuk pada situasi saat ini dan juga hasil-hasil penelitian kesehatan terbaru, maka penyakit kronis akibat polusi udara dapat memicu komorbiditas keparahan penderita COVID-19.

“Tingkat fatalitas kasus (CFR) di Indonesia 8 persen, sedangkan untuk global adalah 3 persen,” kata Prof Budi menjelaskan tingkat kematian karena COVID-19.

Dengan hasil penelitian Universitas Harvard yang menemukan bahwa risiko kematian akibat COVID-19 mencapai 4,5 kali lipat pada wilayah dengan polusi PM 2.5 yang tinggi, dibandingkan yang berpolusi rendah, menurut dia, artinya COVID-19 sangat mampu memperparah dampak kesehatan akibat polusi udara.

Baca juga: Kiat tingkatkan kualitas udara di rumah selama pandemi corona

Pada kesempatan yang sama, Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibukota) yang merupakan gabungan individu maupun organisasi yang memperjuangkan hak atas udara bersih, meminta kepada pemerintah Indonesia untuk berani segera membuka data sumber emisi. Hal itu ditujukan untuk dapat mengetahui sumber emisi apa saja yang hingga kini masih menyebabkan angka pemantauan Indeks Kualitas Udara tetap terbilang buruk.

Polusi udara yang setiap tahun bisa menyebabkan kematian hingga jutaan jiwa di seluruh dunia, seharusnya sudah sejak lama membuat pemerintah menyusun strategi untuk segera menyelesaikan masalah pencemaran udara, kata Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu.

Menurut dia, pemerintah memang telah mengeluarkan imbauan bekerja dari rumah (WFH) hingga memberlakukan peraturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak pekan pertama April 2020. Namun kebijakan tersebut dibuat hanya sebatas untuk mencegah penularan virus COVID-19, bukan untuk secara beriringan memperbaiki kualitas udara.

Meski langit Jakarta terlihat lebih cerah ketika diberlakukan WFH dan juga PSBB, tetapi emisi dari salah satu sumber pencemar yaitu PLTU bisa jadi tidak mengalami pengurangan yang signifikan sehingga ada potensi polutan tersebut juga berkontribusi pada polusi udara di Jakarta dan kota tetangganya, ujar Bondan.

Baca juga: Perpanjang "physical distancing" bisa perbaiki kualitas udara Jakarta