PM Abe akan berkonsultasi dengan ahli soal perpanjangan status darurat
30 April 2020 17:36 WIB
Bayangan pejalan kaki terlihat di depan layar raksasa yang melaporkan respon Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dan Jepang terhadap penyakit virus korona (COVID-19) di Tokyo, Jepang, Selasa (7/4/2020). (ANTARA FOTO/REUTERS/Issei Kato/aww/cfo)
Tokyo (ANTARA) - Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada Kamis mengatakan ia akan berkonsultasi dengan ahli penyakit menular sebelum memutuskan perpanjangan status darurat yang telah diberlakukan sejak 16 April dan akan berakhir 6 Mei.
Sejumlah media lokal melaporkan PM Abe kemungkinan akan memperpanjang status darurat di Jepang sampai bulan depan.
Walaupun demikian, pemberlakuan status darurat hanya memungkinkan otoritas setempat membujuk warga agar tetap di rumah dan meminta pedagang menutup tokonya. Pasalnya, tidak ada aturan di Jepang yang memberi kewenangan pemerintah memaksa penetapan karantina wilayah.
Status darurat nasional yang saat ini masih berlaku akan berakhir pada akhir hari libur nasional perayaan Minggu Emas (Golden Week) di Jepang. Banyak pihak khawatir rendahnya tingkat pemeriksaan di Jepang menyebabkan banyak kasus positif COVID-19 tidak terdeteksi.
Akan tetapi, kebijakan yang berlaku selama status darurat membuat produktivitas pabrik dan tingkat penjualan menurun.
"Kami ingin berkonsultasi dengan para analis dan pandangan pakar," kata PM Abe di parlemen saat menjawab kemungkinan perpanjangan status darurat.
Ia menambahkan keputusan itu akan diumumkan sebelum pemberlakuan status darurat berakhir pada minggu depan.
Otoritas di Tokyo mengonfirmasi 47 kasus penularan COVID-19 baru pada Rabu (29/4) sehingga total pasien positif di Jepang mencapai 13.929 jiwa dan 415 di antaranya meninggal dunia, demikian keterangan Kementerian Kesehatan.
Meskipun jumlah pasien positif relatif besar, kasus positif COVID-19 di Jepang masih lebih rendah dibandingkan dengan Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa.
Penelitian yang menggunakan hasil rapid test atau tes antibodi tubuh di Shinjuku, Tokyo, menunjukkan kurang lebih enam persen orang di bangsal rumah sakit yang diperiksa itu telah tertular virus, demikian laporan harian Tokyo Shimbun. Kajian itu turut membenarkan hasil penelitian yang diadakan di Rumah Sakit Universitas Keio.
Jepang melakukan setidaknya 1,3 tes COVID-19 per 1.000 orang, sementara di Korea Selatan perbandingannya 12:1000 dan di Amerika Serikat 18:1000, ungkap hasil kompilasi Our World in Data.
"Jepang seharusnya bertindak lebih cepat, menetapkan karantina wilayah, dan mengendalikan virus dalam waktu lebih cepat," kata Kenji Shibuya, direktur Institusi Kesehatan Masyarakat di Universitas King's College, London.
"Jika situasi ini berlanjut untuk jangka waktu lebih lama, maka tidak hanya layanan kesehatan yang akan kewalahan, tetapi perekonomian dapat lebih jauh terpuruk," terang dia.
Otoritas kesehatan di Jepang mengatakan mereka mengikuti pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait prosedur pemeriksaan COVID-19. Pemeriksaan COVID-19 secara massal, menurut pemerintah, dapat membuat layanan kesehatan di Jepang kewalahan yang saat ini sudah menerima banyak pasien dengan gejala sakit ringan.
Harian bisnis Nikkei pada Rabu melaporkan pemerintah berencana memperpanjang status darurat nasional selama kurang lebih satu bulan. Keputusan terkait status darurat akan diumumkan setelah PM Abe bertemu dengan para ahli pada Jumat (1/5).
Gubernur Tokyo Yuriko Koike kepada wartawan pada Rabu mengaku kesulitan mengendalikan penyebaran virus dan ia meminta PM Abe memperpanjang status darurat di Jepang.
Sementara itu, tanggapan sejumlah pengguna media sosial di Jepang beragam. Ada yang meminta petinggi di Jepang mengundurkan diri dan beberapa dari mereka menunjukkan sikap frustasi karena tidak dapat menemui kerabat atau sejawat. Namun, sebagian besar pengguna media sosial lebih mengkhawatirkan dampak ekonomi terutama usaha kecil.
"Jika kalian memperpanjang (status darurat, red) sampai satu bulan lagi, kalian harus memberi subsidi untuk pelaku usaha - dan 100.000 yen untuk tiap penduduk, tetapi itu juga tidak akan cukup," tulis seorang pengguna media sosial, Katuotoko.
"Daerah dengan tingkat penularan rendah perlu menghidupkan kembali perekonomian mereka," ujar dia.
Jepang telah mengucurkan lebih dari satu triliun dolar AS untuk membantu beban masyarakat dan sektor ekonomi yang terdampak wabah COVID-19.
Sumber: Reuters
Baca juga: Jepang perangi corona dengan karantina, tikus muncul di jalanan sepi
Baca juga: APD langka, pemkot Osaka minta warga donasi jas hujan plastik
Baca juga: Jepang akan umumkan keadaan darurat wabah virus corona
Sejumlah media lokal melaporkan PM Abe kemungkinan akan memperpanjang status darurat di Jepang sampai bulan depan.
Walaupun demikian, pemberlakuan status darurat hanya memungkinkan otoritas setempat membujuk warga agar tetap di rumah dan meminta pedagang menutup tokonya. Pasalnya, tidak ada aturan di Jepang yang memberi kewenangan pemerintah memaksa penetapan karantina wilayah.
Status darurat nasional yang saat ini masih berlaku akan berakhir pada akhir hari libur nasional perayaan Minggu Emas (Golden Week) di Jepang. Banyak pihak khawatir rendahnya tingkat pemeriksaan di Jepang menyebabkan banyak kasus positif COVID-19 tidak terdeteksi.
Akan tetapi, kebijakan yang berlaku selama status darurat membuat produktivitas pabrik dan tingkat penjualan menurun.
"Kami ingin berkonsultasi dengan para analis dan pandangan pakar," kata PM Abe di parlemen saat menjawab kemungkinan perpanjangan status darurat.
Ia menambahkan keputusan itu akan diumumkan sebelum pemberlakuan status darurat berakhir pada minggu depan.
Otoritas di Tokyo mengonfirmasi 47 kasus penularan COVID-19 baru pada Rabu (29/4) sehingga total pasien positif di Jepang mencapai 13.929 jiwa dan 415 di antaranya meninggal dunia, demikian keterangan Kementerian Kesehatan.
Meskipun jumlah pasien positif relatif besar, kasus positif COVID-19 di Jepang masih lebih rendah dibandingkan dengan Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa.
Penelitian yang menggunakan hasil rapid test atau tes antibodi tubuh di Shinjuku, Tokyo, menunjukkan kurang lebih enam persen orang di bangsal rumah sakit yang diperiksa itu telah tertular virus, demikian laporan harian Tokyo Shimbun. Kajian itu turut membenarkan hasil penelitian yang diadakan di Rumah Sakit Universitas Keio.
Jepang melakukan setidaknya 1,3 tes COVID-19 per 1.000 orang, sementara di Korea Selatan perbandingannya 12:1000 dan di Amerika Serikat 18:1000, ungkap hasil kompilasi Our World in Data.
"Jepang seharusnya bertindak lebih cepat, menetapkan karantina wilayah, dan mengendalikan virus dalam waktu lebih cepat," kata Kenji Shibuya, direktur Institusi Kesehatan Masyarakat di Universitas King's College, London.
"Jika situasi ini berlanjut untuk jangka waktu lebih lama, maka tidak hanya layanan kesehatan yang akan kewalahan, tetapi perekonomian dapat lebih jauh terpuruk," terang dia.
Otoritas kesehatan di Jepang mengatakan mereka mengikuti pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait prosedur pemeriksaan COVID-19. Pemeriksaan COVID-19 secara massal, menurut pemerintah, dapat membuat layanan kesehatan di Jepang kewalahan yang saat ini sudah menerima banyak pasien dengan gejala sakit ringan.
Harian bisnis Nikkei pada Rabu melaporkan pemerintah berencana memperpanjang status darurat nasional selama kurang lebih satu bulan. Keputusan terkait status darurat akan diumumkan setelah PM Abe bertemu dengan para ahli pada Jumat (1/5).
Gubernur Tokyo Yuriko Koike kepada wartawan pada Rabu mengaku kesulitan mengendalikan penyebaran virus dan ia meminta PM Abe memperpanjang status darurat di Jepang.
Sementara itu, tanggapan sejumlah pengguna media sosial di Jepang beragam. Ada yang meminta petinggi di Jepang mengundurkan diri dan beberapa dari mereka menunjukkan sikap frustasi karena tidak dapat menemui kerabat atau sejawat. Namun, sebagian besar pengguna media sosial lebih mengkhawatirkan dampak ekonomi terutama usaha kecil.
"Jika kalian memperpanjang (status darurat, red) sampai satu bulan lagi, kalian harus memberi subsidi untuk pelaku usaha - dan 100.000 yen untuk tiap penduduk, tetapi itu juga tidak akan cukup," tulis seorang pengguna media sosial, Katuotoko.
"Daerah dengan tingkat penularan rendah perlu menghidupkan kembali perekonomian mereka," ujar dia.
Jepang telah mengucurkan lebih dari satu triliun dolar AS untuk membantu beban masyarakat dan sektor ekonomi yang terdampak wabah COVID-19.
Sumber: Reuters
Baca juga: Jepang perangi corona dengan karantina, tikus muncul di jalanan sepi
Baca juga: APD langka, pemkot Osaka minta warga donasi jas hujan plastik
Baca juga: Jepang akan umumkan keadaan darurat wabah virus corona
Penerjemah: Genta Tenri Mawangi
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2020
Tags: