Lebak (ANTARA News) - Habitat Owa Jawa (Hylobates moloch) atau kera berbulu abu-abu di Taman Nasional Gunung Halimun - Salak (TNGHS) terancam akiabat pengrusakan hutan oleh manusia.

Kepala Seksi Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lebak, Nurly Edlinar, Jumat mengatakan, habitat owa jawa di TNGHS sudah mengalami degradasi sehingga mereka terancam kehilangan mata rantai makanan.

Makanan primata itu adalah dedaunan, buah-buahan, dan terkadang makan serangga sebagai tambahan protein.

Selama ini, populasi owa jawa merasa terganggu dengan adanya pembukaan lahan maupun penebangan pohon liar oleh masyarakat sekitar TNGHS.

Berdasarkan laporan kerusakan hutan di kawasan TNGHS mencapai 24.550 hektare di antaranya seluas 8.550 hektare dalam kondisi rusak parah dan harus dihijaukan.

"Kerusakan hutan itu tentu berdampak terhadap eksosistem habitat owa jawa," katanya.

Menurut dia, owa jawa dalam mencari makan selalu berpindah-pindah secara berkelompok menjelajah dari satu pohon ke pohon lainnya.

Secara garis besar, kelompok primata itu menggunakan empat pola lokomotor yakni bergantung, berjalan, memanjat, dan melompat.

Hewan itu sering lebih agresif dalam beraktivitas ketika siang hari saat matahari bersinar terik dan suhu udara panas.

Mereka lebih mendiami hutan dataran rendah yang mempunyai tajuk pohon yang rapat sebagai populasi habitatnya.

Oleh karena itu, untuk menyelematkan binatang itu harus dilakukan pengayaan pohon pakan dan pohon tidur.

Pengayaan pohon pakan dan pohon tidur dilakukan di hutan sekunder yang berada dalam kawasan TNGHS dengan cara menanam jenis tumbuhan asli yang biasa digunakan owa jawa.

Owa jawa termasuk binatang primata yang dilindungi dan hanya ditemukan di Pulau Jawa bagian barat, di antaranya di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Gunung Pangrango, dan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK).

Sekarang diperkirakan populasi owa jawa terus berkurang karena kerusakan hutan dan perburuan.

"Saya berharap masyarakat tidak melalukan penebangan hutan karena banyak ekosistem satwa yang dilindungi," katanya.

Sementara itu, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Bambang Supriyantono, mengaku kerusakan hutan di kawasan konservasi mencapai 24.550 hektare akibat penambangan liar.

Kawasan TNGHS memiliki kekayaan hayati, termasuk satwa yang dilindungi dengan luas 113.357 hektare meliputi Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Lebak.
(*)