Artikel
Pandemi dan wajah sepak bola kemudian
Oleh Jafar M Sidik
30 April 2020 15:19 WIB
Para pemain Midtjylland dalam salah satu laga persahabatan melawan klub China di Dubai pada 9 February 2020. Midtjylland menjadi salah satu dari sekian klub di Eropa yang bersiap melanjutkan kompetisi yang tertunda akibat virus corona dengan menawarkan sebuah cara kreatif dalam menghidupkan lagi pertandingan sepak bola. (AFP/KARIM SAHIB)
Jakarta (ANTARA) - Dalam salah satu episode serial petualangan ruang angkasa televisi era 1980-an, "Buck Rogers", ada adegan menggelikan untuk kebanyakan pemirsa televisi Indonesia yang waktu itu cuma mengenal TVRI.
Adegan itu adalah saat pentas olahraga antar-galaksi yang tak dihadiri satu pun penonton. Hanya sorak sorai penonton sejagat yang ditransmisikan secara elektronis ke dalam stadion sehingga stadion seolah penuh penonton.
Ide menggelikan itu tercetus 20 tahun sebelum internet menjadi kebutuhan primer kebanyakan manusia era ini dan tiga sampai empat dekade sebelum smartphone, media sosial dan transmisi video sudah sedemikian massal seperti saat ini terjadi.
Ketika pandemi virus corona baru yang seketika memadamkan hampir semua kompetisi olahraga, termasuk sepak bola, ide "Buck Rogers" 40 tahun silam itu agaknya menjadi tak terlalu menggelikan lagi, paling tidak untuk era virtual di mana kecerdasan buatan bakal mendominasi zaman kemudian.
Salah satu sebab tidak terlalu menggelikan lagi ide "Buck Rogers" itu adalah apa yang ditempuh sebuah klub sepak bola Denmark, Midtjylland.
Mengantisipasi bukanya lagi musim yang tertunda oleh pandemi penyakit COVID-19 yang diakibatkan virus corona baru, Midtjylland mengakali format pertandingan tanpa penonton dengan memasang layar-layar raksasa di lahan parkir stadion MCH Arena yang menjadi markas klub Liga Super Denmark itu.
Layar-layar raksasa ini memungkinkan orang tak perlu masuk stadion untuk menyaksikan tim kesayangannya bertanding. Mereka juga tak harus melanggar aturan jaga jarak sosial hanya demi menyaksikan ramai-ramai sebuah pertandingan sepak bola.
Baca juga: Klub-klub La Liga akan bermain tanpa penonton sampai 2021
Baca juga: Midtjylland pasang layar raksasa begitu Superliga Denmark dilanjutkan
Mereka hanya perlu tetap di dalam mobilnya masing-masing sambil mata terpicing ke layar-layar raksasa guna menyaksikan dua tim berebut bola, sedangkan suara komentator dan atmosfer laga bisa mereka dapatkan dari radio di mobil mereka.
Dan apa yang terjadi di luar stadion itu ditayangkan balik oleh layar raksasa di dalam stadion sehingga para pemain sepak bola dapat merasakan kehadiran penonton kendati penontonnya berada di dalam mobil.
"Kami bekerja keras menciptakan kemungkinan pengalaman terbaik. Virus corona tak mengubah soal itu, cuma memberikan prakondisi-prakondisi," kata direktur pemasaran Midtjylland Preben Rokkjaer.
Untuk keperluan ini, klub tersebut membuka lahan parkir yang bisa menampung 2.000 sampai 12.000 kendaraan yang mengepung stadion MCH Arena.
Psikologi ada penonton
Teknologi 1980-an sudah pasti terlalu berat untuk mengadopsi ide gila "Buck Rogers" itu, namun teknologi masa kini yang akrab sekali dengan live-video tentu tak terlalu sulit membuat sesuatu yang terlihat virtual menjadi riil.
Ide unik lainnya ditawarkan oleh Borussia Moenchengladbach. Ide ini bahkan jauh dari kata teknologi, tapi lebih kepada menghadirkan psikologi "ada penonton" di dalam stadion yang penting bagi pemain sepak bola dan juga atlet cabang olahraga mana pun.
Bersiap menghadapi kemungkinan bergeraknya lagi roda kompetisi Liga Utama Jerman awal Mei nanti, Moenchengladbach mengisi kursi-kursi penonton dengan 50.000 karton bergambar dan seukuran penonton sungguhan.
"Kami akan menjadi klub pertama yang membawa sedikit suasana hidup dalam stadion kami, sekalipun penonton sungguhannya menyaksikan laga itu dari rumah," tulis organisasi fans Fanprojekt Moenchengladbach (FPMG) dalam sebuah posting online.
Dengan mengeluarkan 19 euro (Rp115 ribu), seorang pendukung Gladbach bisa membeli karton bergambar dirinya, untuk kemudian nanti dipasang di dalam stadion Gladbach..
Tak melulu untuk komersil karena uang sebesar itu bisa dipakai untuk membuat tujuh staf FPMG tetap punya pekerjaan dan sisanya untuk mereka yang berada di garis depan melawan virus corona.
Baca juga: Bundesliga diperkirakan kembali bergulir pada 9 Mei
Semua cerita itu adalah ilustrasi mengenai berubahnya pola kompetisi olahraga, khususnya sepak bola, yang bukan mustahil menjadi tren baru seandainya atmosfer semarak dalam stadion sulit lagi dihadirkan selama pandemi terus berlanjut atau vaksin belum jua ditemukan.
Apa yang akan berlaku pada beberapa bulan ke depan, seandainya pandemi masih memaksa stadion-stadion mengunci diri, sepertinya bakal menciptakan suasana, tantangan dan kreasi baru dalam dunia olahraga.
Saat bersamaan nyaris mustahil dunia berjalan tanpa olahraga, apalagi pada era di mana olahraga sudah menjadi pertunjukan dan industri seperti saat ini terjadi. Terlalu sulit bagi dunia untuk membiarkan kompetisi terus-terusan tak bergulir.
Yang dilakukan Midtjylland dan Borussia Moenchengladbach hanyalah salah satu bagian dari episode kerinduan manusia era ini terhadap hal-hal menarik dalam olahraga yang direnggut virus iblis yang merusak tatanan global itu.
Ada pelajaran penting dari langkah yang akan diambil Midtjylland dan Borussia Moenchengladbach itu. Pelajaran itu adalah olahraga menjadi kian mempedulikan kesehatan manusia.
Lebih manusiawi
Menjauhkan manusia dari risiko sakit menjadi sama pentingnya dengan tetap menghadirkan semangat penonton dalam stadion yang menjadi bagian tak terpisahkan dari pertandingan, sekalipun itu cuma di lahan parkir seperti dilakukan Midtjylland atau meletakkan karton seukuran manusia di stadion seperti ditempuh Moenchengladbach.
Itu semua dilakukan agar kompetisi tetap hidup, pemain tetap berkompetisi, klub tetap berdiri, stadion-stadion terhindar menjadi kota hantu, dan industri tetap bisa menarik profit serta audiens.
Namun semua itu dilakukan tidak lagi melulu demi untung, melainkan juga demi kesadaran membuat manusia terbebas dari penyakit.
Baca juga: Bos sepak bola Italia sebut Serie A lanjut lagi Oktober
Ini pula yang mendasari maju mundurnya sejumlah besar kompetisi elite olah raga di berbagai belahan duni, termasuk sepak bola Eropa, sampai-sampai Belgia, Belanda, dan Prancis tak mau lagi diombang-ambing oleh ketidakpastian krisis virus dengan menghentikan dan bahkan membatalkan kompetisi musim ini.
Kepedulian untuk terus sehat ini tampaknya bakal menjadi lagu wajib di teater-teater olahraga di seisi buana, bahkan tatkala dunia normal kembali tanpa pandemi.
Presiden FIFA Gianni Infantino bahkan menyatakan, "Ada pelajaran yang saya dan Anda mesti pahami, sepak bola yang muncul setelah virus akan sama sekali berbeda...lebih inklusif, lebih sosial, dan lebih suportif, terhubung ke masing-masing negara dan pada saat bersamaan lebih global, tak lagi eksklusif, dan lebih terbuka."
Dan faktanya, terkurung dalam waktu bersamaan di rumah dari ujung utara sampai selatan Bumi, dari timur sampai barat, telah menciptakan kesadaran bersama mengenai pentingnya kesehatan, tentang pentingnya kebersamaan dan solidaritas dalam menghadapi virus yang sudah menjadi musuh dan masalah bersama, tak peduli ras, agama dan orientasi politik manusia.
Inilah salah satu hikmah di balik era pandemi yang mengkerangkeng umat sejagat itu, yang disebut salah satu orang terkaya di dunia, sang inovator dan pendiri Microsoft, Bill Gates, sebagai Once in a Century atau sekali dalam setiap seratus tahun itu.
Faktanya pula solidaritas muncul di mana-mana, bahkan dari dalam atlet sendiri, tidak saja untuk masyarakat global, tapi bagi sesama atlet.
Fenonema yang kaya menyantuni yang miskin kini semarak hidup di olahraga, salah satunya ketika tiga petenis top dunia --Novak Djokovic, Roger Federer dan Rafael Nadal-- memprakarsasi penggalangan dana untuk menyelamatkan para petenis berperingkat rendah dari kesulitan finansial akibat tutupnya turnamen-turnamen akibat krisis virus corona yang langsung memutus mata pencaharian mereka.
"Kami harus menunjukkan kepada mereka bahwa mereka tidak terlupakan," kata Djokovic.
Kemuliaan seperti itu terjadi di mana-mana, dari satu cabang ke cabang olahraga, dari Formula 1 sampai golf, dari atletik sampai tinju, dari NBA sampai Liga Premier, dan seluruh spektrum baik di dalam maupun di luar arena.
Akhirnya, sepak bola, dan semua cabang olahraga, pasca-pandemi, meminjam hipotesis Gianni Infantino, "akan lebih baik, lebih manusiawi dan lebih perhatian kepada nilai-nilai sejati."
Baca juga: Virus corona hampir bangkrutkan juara Liga Slowakia tujuh kali
Adegan itu adalah saat pentas olahraga antar-galaksi yang tak dihadiri satu pun penonton. Hanya sorak sorai penonton sejagat yang ditransmisikan secara elektronis ke dalam stadion sehingga stadion seolah penuh penonton.
Ide menggelikan itu tercetus 20 tahun sebelum internet menjadi kebutuhan primer kebanyakan manusia era ini dan tiga sampai empat dekade sebelum smartphone, media sosial dan transmisi video sudah sedemikian massal seperti saat ini terjadi.
Ketika pandemi virus corona baru yang seketika memadamkan hampir semua kompetisi olahraga, termasuk sepak bola, ide "Buck Rogers" 40 tahun silam itu agaknya menjadi tak terlalu menggelikan lagi, paling tidak untuk era virtual di mana kecerdasan buatan bakal mendominasi zaman kemudian.
Salah satu sebab tidak terlalu menggelikan lagi ide "Buck Rogers" itu adalah apa yang ditempuh sebuah klub sepak bola Denmark, Midtjylland.
Mengantisipasi bukanya lagi musim yang tertunda oleh pandemi penyakit COVID-19 yang diakibatkan virus corona baru, Midtjylland mengakali format pertandingan tanpa penonton dengan memasang layar-layar raksasa di lahan parkir stadion MCH Arena yang menjadi markas klub Liga Super Denmark itu.
Layar-layar raksasa ini memungkinkan orang tak perlu masuk stadion untuk menyaksikan tim kesayangannya bertanding. Mereka juga tak harus melanggar aturan jaga jarak sosial hanya demi menyaksikan ramai-ramai sebuah pertandingan sepak bola.
Baca juga: Klub-klub La Liga akan bermain tanpa penonton sampai 2021
Baca juga: Midtjylland pasang layar raksasa begitu Superliga Denmark dilanjutkan
Mereka hanya perlu tetap di dalam mobilnya masing-masing sambil mata terpicing ke layar-layar raksasa guna menyaksikan dua tim berebut bola, sedangkan suara komentator dan atmosfer laga bisa mereka dapatkan dari radio di mobil mereka.
Dan apa yang terjadi di luar stadion itu ditayangkan balik oleh layar raksasa di dalam stadion sehingga para pemain sepak bola dapat merasakan kehadiran penonton kendati penontonnya berada di dalam mobil.
"Kami bekerja keras menciptakan kemungkinan pengalaman terbaik. Virus corona tak mengubah soal itu, cuma memberikan prakondisi-prakondisi," kata direktur pemasaran Midtjylland Preben Rokkjaer.
Untuk keperluan ini, klub tersebut membuka lahan parkir yang bisa menampung 2.000 sampai 12.000 kendaraan yang mengepung stadion MCH Arena.
Psikologi ada penonton
Teknologi 1980-an sudah pasti terlalu berat untuk mengadopsi ide gila "Buck Rogers" itu, namun teknologi masa kini yang akrab sekali dengan live-video tentu tak terlalu sulit membuat sesuatu yang terlihat virtual menjadi riil.
Ide unik lainnya ditawarkan oleh Borussia Moenchengladbach. Ide ini bahkan jauh dari kata teknologi, tapi lebih kepada menghadirkan psikologi "ada penonton" di dalam stadion yang penting bagi pemain sepak bola dan juga atlet cabang olahraga mana pun.
Bersiap menghadapi kemungkinan bergeraknya lagi roda kompetisi Liga Utama Jerman awal Mei nanti, Moenchengladbach mengisi kursi-kursi penonton dengan 50.000 karton bergambar dan seukuran penonton sungguhan.
"Kami akan menjadi klub pertama yang membawa sedikit suasana hidup dalam stadion kami, sekalipun penonton sungguhannya menyaksikan laga itu dari rumah," tulis organisasi fans Fanprojekt Moenchengladbach (FPMG) dalam sebuah posting online.
Dengan mengeluarkan 19 euro (Rp115 ribu), seorang pendukung Gladbach bisa membeli karton bergambar dirinya, untuk kemudian nanti dipasang di dalam stadion Gladbach..
Tak melulu untuk komersil karena uang sebesar itu bisa dipakai untuk membuat tujuh staf FPMG tetap punya pekerjaan dan sisanya untuk mereka yang berada di garis depan melawan virus corona.
Baca juga: Bundesliga diperkirakan kembali bergulir pada 9 Mei
Semua cerita itu adalah ilustrasi mengenai berubahnya pola kompetisi olahraga, khususnya sepak bola, yang bukan mustahil menjadi tren baru seandainya atmosfer semarak dalam stadion sulit lagi dihadirkan selama pandemi terus berlanjut atau vaksin belum jua ditemukan.
Apa yang akan berlaku pada beberapa bulan ke depan, seandainya pandemi masih memaksa stadion-stadion mengunci diri, sepertinya bakal menciptakan suasana, tantangan dan kreasi baru dalam dunia olahraga.
Saat bersamaan nyaris mustahil dunia berjalan tanpa olahraga, apalagi pada era di mana olahraga sudah menjadi pertunjukan dan industri seperti saat ini terjadi. Terlalu sulit bagi dunia untuk membiarkan kompetisi terus-terusan tak bergulir.
Yang dilakukan Midtjylland dan Borussia Moenchengladbach hanyalah salah satu bagian dari episode kerinduan manusia era ini terhadap hal-hal menarik dalam olahraga yang direnggut virus iblis yang merusak tatanan global itu.
Ada pelajaran penting dari langkah yang akan diambil Midtjylland dan Borussia Moenchengladbach itu. Pelajaran itu adalah olahraga menjadi kian mempedulikan kesehatan manusia.
Lebih manusiawi
Menjauhkan manusia dari risiko sakit menjadi sama pentingnya dengan tetap menghadirkan semangat penonton dalam stadion yang menjadi bagian tak terpisahkan dari pertandingan, sekalipun itu cuma di lahan parkir seperti dilakukan Midtjylland atau meletakkan karton seukuran manusia di stadion seperti ditempuh Moenchengladbach.
Itu semua dilakukan agar kompetisi tetap hidup, pemain tetap berkompetisi, klub tetap berdiri, stadion-stadion terhindar menjadi kota hantu, dan industri tetap bisa menarik profit serta audiens.
Namun semua itu dilakukan tidak lagi melulu demi untung, melainkan juga demi kesadaran membuat manusia terbebas dari penyakit.
Baca juga: Bos sepak bola Italia sebut Serie A lanjut lagi Oktober
Ini pula yang mendasari maju mundurnya sejumlah besar kompetisi elite olah raga di berbagai belahan duni, termasuk sepak bola Eropa, sampai-sampai Belgia, Belanda, dan Prancis tak mau lagi diombang-ambing oleh ketidakpastian krisis virus dengan menghentikan dan bahkan membatalkan kompetisi musim ini.
Kepedulian untuk terus sehat ini tampaknya bakal menjadi lagu wajib di teater-teater olahraga di seisi buana, bahkan tatkala dunia normal kembali tanpa pandemi.
Presiden FIFA Gianni Infantino bahkan menyatakan, "Ada pelajaran yang saya dan Anda mesti pahami, sepak bola yang muncul setelah virus akan sama sekali berbeda...lebih inklusif, lebih sosial, dan lebih suportif, terhubung ke masing-masing negara dan pada saat bersamaan lebih global, tak lagi eksklusif, dan lebih terbuka."
Dan faktanya, terkurung dalam waktu bersamaan di rumah dari ujung utara sampai selatan Bumi, dari timur sampai barat, telah menciptakan kesadaran bersama mengenai pentingnya kesehatan, tentang pentingnya kebersamaan dan solidaritas dalam menghadapi virus yang sudah menjadi musuh dan masalah bersama, tak peduli ras, agama dan orientasi politik manusia.
Inilah salah satu hikmah di balik era pandemi yang mengkerangkeng umat sejagat itu, yang disebut salah satu orang terkaya di dunia, sang inovator dan pendiri Microsoft, Bill Gates, sebagai Once in a Century atau sekali dalam setiap seratus tahun itu.
Faktanya pula solidaritas muncul di mana-mana, bahkan dari dalam atlet sendiri, tidak saja untuk masyarakat global, tapi bagi sesama atlet.
Fenonema yang kaya menyantuni yang miskin kini semarak hidup di olahraga, salah satunya ketika tiga petenis top dunia --Novak Djokovic, Roger Federer dan Rafael Nadal-- memprakarsasi penggalangan dana untuk menyelamatkan para petenis berperingkat rendah dari kesulitan finansial akibat tutupnya turnamen-turnamen akibat krisis virus corona yang langsung memutus mata pencaharian mereka.
"Kami harus menunjukkan kepada mereka bahwa mereka tidak terlupakan," kata Djokovic.
Kemuliaan seperti itu terjadi di mana-mana, dari satu cabang ke cabang olahraga, dari Formula 1 sampai golf, dari atletik sampai tinju, dari NBA sampai Liga Premier, dan seluruh spektrum baik di dalam maupun di luar arena.
Akhirnya, sepak bola, dan semua cabang olahraga, pasca-pandemi, meminjam hipotesis Gianni Infantino, "akan lebih baik, lebih manusiawi dan lebih perhatian kepada nilai-nilai sejati."
Baca juga: Virus corona hampir bangkrutkan juara Liga Slowakia tujuh kali
Editor: Teguh Handoko
Copyright © ANTARA 2020
Tags: