Eijkman: Pasien sembuh COVID-19 bisa terinfeksi kembali
29 April 2020 17:18 WIB
Tangkapan layar konferensi video Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Amin Soebandrio di Gedung BNPB Jakarta, Selasa (21/4/2020). (ANTARA/ (Muhammad Zulfikar)
Jakarta (ANTARA) - Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Subandrio mengatakan pasien sembuh COVID-19 bisa saja kembali terinfeksi kembali virus SARS-CoV-2 penyebab penyakit COVID-19 jika kekebalan tubuh tidak cukup melawan penyakit itu.
"Tetap memungkinkan, terkena (COVID-19) lagi tetap mungkin kalau dia tidak membangkitkan kekebalan yang cukup," kata Amin kepada ANTARA, di Jakarta, Rabu.
Dia menuturkan pada umumnya orang-orang yang sembuh dari COVID-19 akan punya antibodi untuk melawan penyakit itu. Namun, ada beberapa orang yang antibodinya tidak cukup tinggi untuk memproteksi tubuhnya sehingga bisa terjadi reinfeksi.
Baca juga: Eijkman: Perlu percepatan pemeriksaan massal COVID-19 di Indonesia
Reinfeksi bisa saja terjadi karena terkena paparan virus yang banyak dan pada saat itu antibodinya tidak sanggup melawan virus itu.
"Kalau antibodinya cukup tinggi bisa seumur hidup dia terlindungi tapi pada orang-orang yang 'low responder', produksi antibodinya tidak terlalu tinggi," ujar Amin.
Pasien sembuh COVID-19 harus tetap menjaga daya tahan tubuh kuat dan melakukan pencegahan penularan COVID-19 termasuk menjaga jarak sosial.
Amin menuturkan respon imun tiap orang berbeda-beda.
"Sama-sama kena kuman yang sama tapi respon antibodinya beda-beda," ujarnya.
Baca juga: Eijkman: Laboratorium tersertifikasi tangani patogen risiko tinggi
Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi respon antibodi orang berbeda-beda yakni faktor genetik, faktor lingkungan dan faktor gaya hidup. Faktor-faktor itu bisa mempengaruhi respon imun seseorang terhadap penyakit.
Kejadian munculnya pasien sembuh COVID-19 yang terinfeksi virus SARS-CoV-2 kembali terjadi di Jepang.
Amin menuturkan sebagian besar pasien COVID-19 sembuh saat ini karena kekebalan tubuh. Mereka sembuh bukan karena antivirus.
COVID-19 bukan menjadi penyebab tunggal pasien COVID-19 meninggal, tapi karena adanya penyakit penyerta lain dan kekebalan tubuh yang menurun.
"Yang sakit berat pun kalau ada kelainan organ yang lain itu diperbaiki dulu kalau itu sudah bagus otomatis kekebalannya akan kembali sendiri. Tapi kalau penyakit komplikasinya itu yang organ-organ lainnya itu belum bisa diatasi, kita tidak bisa mengandalkan kekebalan untuk mengatasi virus karena kekebalannya akan rendah," ujar Amin.
Jika terinfeksi COVID-19, seseorang dengan penyakit penyerta lain seperti diabetes, gagal ginjal dan darah tinggi akan dengan mudah jatuh pada kondisi yang memburuk.
"Orang-orang yang sudah punya penyakit sebelumnya itu akan lebih rentan lebih mudah untuk jatuh pada keadaan berat," tuturnya.
***3***
Baca juga: Lembaga Eijkman sediakan VTM bagi pelayanan kesehatan se-Indonesia
Baca juga: Herawati Sudoyo, ilmuwan Eijkman yang terjun dalam penanganan COVID-19
"Tetap memungkinkan, terkena (COVID-19) lagi tetap mungkin kalau dia tidak membangkitkan kekebalan yang cukup," kata Amin kepada ANTARA, di Jakarta, Rabu.
Dia menuturkan pada umumnya orang-orang yang sembuh dari COVID-19 akan punya antibodi untuk melawan penyakit itu. Namun, ada beberapa orang yang antibodinya tidak cukup tinggi untuk memproteksi tubuhnya sehingga bisa terjadi reinfeksi.
Baca juga: Eijkman: Perlu percepatan pemeriksaan massal COVID-19 di Indonesia
Reinfeksi bisa saja terjadi karena terkena paparan virus yang banyak dan pada saat itu antibodinya tidak sanggup melawan virus itu.
"Kalau antibodinya cukup tinggi bisa seumur hidup dia terlindungi tapi pada orang-orang yang 'low responder', produksi antibodinya tidak terlalu tinggi," ujar Amin.
Pasien sembuh COVID-19 harus tetap menjaga daya tahan tubuh kuat dan melakukan pencegahan penularan COVID-19 termasuk menjaga jarak sosial.
Amin menuturkan respon imun tiap orang berbeda-beda.
"Sama-sama kena kuman yang sama tapi respon antibodinya beda-beda," ujarnya.
Baca juga: Eijkman: Laboratorium tersertifikasi tangani patogen risiko tinggi
Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi respon antibodi orang berbeda-beda yakni faktor genetik, faktor lingkungan dan faktor gaya hidup. Faktor-faktor itu bisa mempengaruhi respon imun seseorang terhadap penyakit.
Kejadian munculnya pasien sembuh COVID-19 yang terinfeksi virus SARS-CoV-2 kembali terjadi di Jepang.
Amin menuturkan sebagian besar pasien COVID-19 sembuh saat ini karena kekebalan tubuh. Mereka sembuh bukan karena antivirus.
COVID-19 bukan menjadi penyebab tunggal pasien COVID-19 meninggal, tapi karena adanya penyakit penyerta lain dan kekebalan tubuh yang menurun.
"Yang sakit berat pun kalau ada kelainan organ yang lain itu diperbaiki dulu kalau itu sudah bagus otomatis kekebalannya akan kembali sendiri. Tapi kalau penyakit komplikasinya itu yang organ-organ lainnya itu belum bisa diatasi, kita tidak bisa mengandalkan kekebalan untuk mengatasi virus karena kekebalannya akan rendah," ujar Amin.
Jika terinfeksi COVID-19, seseorang dengan penyakit penyerta lain seperti diabetes, gagal ginjal dan darah tinggi akan dengan mudah jatuh pada kondisi yang memburuk.
"Orang-orang yang sudah punya penyakit sebelumnya itu akan lebih rentan lebih mudah untuk jatuh pada keadaan berat," tuturnya.
***3***
Baca juga: Lembaga Eijkman sediakan VTM bagi pelayanan kesehatan se-Indonesia
Baca juga: Herawati Sudoyo, ilmuwan Eijkman yang terjun dalam penanganan COVID-19
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020
Tags: