Jakarta (ANTARA News) - Piala Dunia mini itu nyaris tiba di ujung jalan. Kamis dinihari, kesebelasan Spanyol, sang juara Eropa itu, akhirnya bersua kesebelasan Paman Sam yang sama sekali tak diperhitungkan pada laga semifinal Piala Konfederasi.
Sementara semifinal yang lain, 24 jam kemudian, juara lima kali piala dunia, penta campeone, tim Brazil, dijadwalkan berlaga menghadapi kesebelasan Afrika Selatan yang terseok-seok dan sangat tak meyakinkan di laga penyisihan.
Piala Konfederasi ini memang dirancang FIFA sebagai ajang pemanasan yang dilangsungkan setahun sebelum piala Dunia yang sesungguhnya digelar di tempat yang sama. Tuan rumah Afrika Selatan dengan segala daya mencoba memperlihatkan pada dunia bahwa mereka mumpuni dalam penyelenggaraan ajang pertarungan sepakbola yang paling akbar dan bergengsi di seluruh muka bumi ini.
Ketika panitia berusaha membuktikan bahwa mereka pantas menjadi tuan rumah World Cup 2010 itu, regu “si tangan panjang” Afrika Selatan tak mau ketinggalan. Mereka beraksi di markas kesebelasan Mesir yang penuh kejutan itu dengan menggondol sejumlah barang milik para atlet. Kondisi makin buruk, saat hal serupa ternyata juga menimpa tim Brazil, yang konon pembobolannya dilakukan para pengutil ketika seluruh tim samba itu jalan-jalan ke kebun binatang Pretoria.
Selain masalah-masalah non teknis yang mencoreng wajah panitia, pertandingan ternyata menjanjikan sejumlah kejutan. Yang pertama, tentu adalah terlemparnya Italia, kampiun Piala Dunia 2006, yang keluar dari kancah pertempuran saat turnamen masih begitu pagi. Setelah dipecundangi Mesir dengan gol semata wayang Mohamed Homos pada akhir babak pertama, kesebelasan Italia yang terlambat meremajakan diri tersebut, limbung sebelum keok dan dipermalukan 3-0 oleh kesebelasan Brazil di stadion Loftus Versfeld.
Yang kedua, adalah munculnya dua kesebelasan “medioker” yang menjadi kambing hitam turnamen. Kesebelasan Irak yang dikomandani Younis Mahmoud tadinya diperkirakan bakal dipelintir dengan mudah oleh kesebelasan tuan rumah ternyata begitu gigih dalam bertanding dan menahan tim bafana-bafana itu dengan skor imbang, kacamata. Selanjutnya Irak “hanya” kalah 0-1 dari tim favorit Spanyol, sayangnya mereka tak mampu menjebol gawang tim lemah Selandia Baru untuk lolos ke semifinal menemani juara grup A, Spanyol.
Sementara tim Mesir yang menjadi wakil Afrika, datang ke Johannesburg sebagai kesebelasan yang hanya dipandang dengan sebelah mata. Tiba dengan pemain-pemain tua yang rata-rata mendekati usia 30 kesebelasan yang dijuluki Sang Faraoh itu ternyata bertempur dengan gagah berani melawan salah satu favorit juara, Brazil pada laga pembuka.
Tim yang diasuh pelatih gaek yang karismatik Hassan Shehata itu mampu mengimbangi permainan mengalir Brazil. Meski tertinggal 1-3 pada babak pertama, anak-anak sungai Nil itu tak pernah menyerah. Mereka bahkan mampu menyamakan kedudukan 3-3 hanya dalam dua menit. Tak tanggung-tanggung ujung tombak Mesir Mohammed Zidan bahkan berhasil menceploskan dua gol ke dalam gawang yang dijaga kiper tangguh Julio Cesar yang bermain untuk juara seri A, Inter Milan.
Brazil akhirnya dapat memenangi pertempuran pada detik-detik terakhir secara kontroversial melalui penalti Ricardo Kaka. 4-3 untuk Brazil. Bek Brazil Maicon dan pelatih Carlos Dunga mengakui tak habis pikir bagaimana bisa anak-anak sang Faraoh itu mampu dua kali menjebol gawang Cesar hanya dalam 2 menit!.
Dari cakar harimau ke mulut buaya. Itulah yang dihadapi Mesir dalam kancah grup B. Usai menghadapi Brazil dengan gagah perkasa, Mesir harus melakoni laga kedua versus Italia, juara dunia yang liganya menjadi obsesi bermain seluruh pemain Mesir. Apalagi anak-anak azzuri itu datang dengan kekuatan penuh lengkap dengan nahkoda legedaris mereka. Marcello Lippi.
Di stadion Ellis Park, Johannesburg, sejarah mencatat bagaimana tangguhnya kesebelasan Mesir yang padu dan kokoh. Mereka akhirnya membungkam Goliath, persis seperti saat Daud melakukannya di lembah Elah yang sekarang menjadi tanah air Palestina. Gol tunggal Homos menumbangkan Goliath yang suara jatuhnya meninggalkan debum yang memilukan di seluruh arena pertarungan. Pintu neraka seperti terlihat dari sana dan kidung kematian mulai menghampiri telinga-telinga anak-anak Romawi itu.
Sayangnya, sejarah juga mencatat Dewi Fortuna yang telah berpindah ke lain hati. Kali ini sang dewi keberuntungan itu sekaligus menampik Sang Faraoh dan juga Julius Caesar. Italia, karena tak kuasa membendung kejayaan Brazil yang menelan mereka mentah-mentah dengan tiga gol tanpa balas, sementara Mesir kehabisan stamina dan menyerah bulat-bulat di tangan kesebelasan yang paling underdog di grup B, Amerika Serikat. Tim Paman Sam bahkan mampu membuat kejutan seraya menghancurkan Mesir dengan tiga gol tanpa balas.
Semifinal pemanasan Piala Dunia 2010 ini akhirnya akan mementaskan dua pertandingan yang antiklimaks sebelum dimainkan. Spanyol dan Brazil sebagai juara grup tampil begitu menghibur dan meyakinkan. Mereka mencatat poin sempurna: sembilan, hasil dari tiga pertandingan. Kendati sepakbola jelas bukan matematika, namun pertarungan seperti apa yang bisa dijanjikan dari penantang-penantang kelas pecundang yang beruntung seperti Afrika Selatan (empat poin, akan tarung dengan Brazil) dan Amerika Serikat (tiga poin, akan laga dengan Spanyol)?.
Dinihari nanti laga semifinal mulai digelar. Rasanya cukuplah sudah kejutan yang terjadi dalam babak penyisihan turnamen ini. Bukankah para pencinta sepakbola juga berhak untuk membayangkan final Piala Konfederasi berlangsung sebagaimana yang mereka impikan. Yakni Spanyol versus Brazil. Lalu bagaimana dengan Dewi Fortuna? Tolonglah sang Dewi mengambil hak cuti untuk sama-sama menikmati sepuasnya partai semifinal tanpa memihak siapapun, supaya final impian bisa benar-benar terwujud. (*)
Piala Konfederasi: Sebaiknya Dewi Fortuna Ambil Hak Cuti
24 Juni 2009 11:27 WIB
Dua pendukung berpose sebelum pertandingan Afsel vs Iraq di stadion Ellis Park, Johannesburg. (ANTARA/ Reuters/Jerry Lampen)
Pewarta: Oscar Motuloh
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2009
Tags: