Jakarta (ANTARA News) - Tidak ada model yang menjadi pedoman ideal bagaimana pemilihan presiden secara langsung harus diselenggarakan, selain Amerika Serikat.
Pada sistem demokrasi langsung manapun, setiap orang, semua elite, segala negara, berkaca ke praktik politik AS, termasuk landasan teoritiknya.
Boris Yeltsin di Rusia misalnya, mengadopsi "cara Amerika" ini untuk meraih masa jabatan keduanya pada 1996.
Tak hanya berhasil menyulap sosok Yeltsin dari pemimpin yang menyebalkan menjadi seorang yang paling diinginkan rakyat untuk memimpin Rusia, "cara Amerika" yang diadopsi tim sukses Yeltsin ini juga menjadi patokan bagaimana rekrutmen kepemimpinan politik diselenggarakan Rusia.
Bahkan Pemilu Iran yang juga mempersembahkan debat kandidat dan pastinya melibatkan Mahmoud Ahmadinejad yang tak disukai AS, sedikit banyak mengadopsi pola Amerika.
Melalui kiprah praktisi iklan, dan para alumnus ilmu politik serta ilmu komunikasi yang sebagian belajar di kampus-kampus Amerika, transformasi cara, pendekatan dan praktik politik gaya Amerika itu membudaya di negara-negara luar Amerika.
American way ini mendudukkan "pembangunan citra" kandidat pada posisi terpenting. Salah satu akibatnya, para konsultan politik pencipta dan peramu citra kandidat yang tumbuh lebat bagai jamur di tanah gembur, menjadi sentral tempatnya.
Mereka menekankan bahwa citra dan kemenangan kandidat adalah dua sisi dari satu mata uang yang mereka kuatkan pertautannya lewat analisis ilmiah canggih yang akhirnya menjadi kompas bagi proses rekrutmen kepemimpinan politik.
Kemudian, aliran teori dan metodologi mengenai bagaimana pemilihan pemimpin secara langsung harus dikemas pun tak boleh berhenti. Konsekuensinya, teori-teori mengenai kampanye politik, khususnya pencitraan, pun bertebaran dimana-mana.
Dua perspektif
Salah satu landasan teoritis yang sering menjadi pedoman bagaimana citra kandidat diniagakan ke publik untuk meraih kekuasaan adalah analisis-analisis pakar dalam "Candidate Images in Presidential Elections" yang disunting Kenneth L. Hacker dan diterbitkan Greenwood Publishing Group pada 1995.
Buku ini diantaranya membahas debat capres dalam hubungannya dengan citra capres atau kandidat, yang umumnya dilihat dari dua perspektif.
Perspektif pertama melihat citra kandidat terpisah dari isu debat, sedangkan perspektif kedua memandang citra kandidat sebagai tak terpisah dari isu debat.
Pada praktiknya, perspektif kedua paling sering diadopsi karena dianggap paling pantas menerangkan efektivitas debat kandidat di ranah publik, khususnya televisi.
Sepanjang perjalanan politik AS di era dimana televisi menjadi demikian sentral perannya dalam proses rekrutmen politik, citra kandidat acap menjadi salah satu warna utama debat.
Ilustrasi mengenai hal ini terlihat pada 1992 saat George Bush memusatkan perhatiannya pada karakter pribadi Bill Clinton sebagai tema kampanyenya.
Persoalan karakter capres seperti kekuatan sikap dan ketegaran memang kerap efektif menggugah publik.
Cara ini yang membantu Ronald Reagan mengalahkan Walter Mondale, penantangnya yang dipojokkan karena berkarakter terlalu kompromis dan lamban, padahal saat itu AS membutuhkan pemimpin berpendirian keras untuk menundukkan Uni Soviet.
Karakter pribadi pula yang membuat Ahmadinejad --terlepas kemenangannnya diprotes luas sebagian warga Iran-- selalu unggul dalam debat televisi, termasuk waktu melawan Mousavi yang disebutnya kelanjutan dari tangan korup (mantan presiden) Hashemi Rafsanjani.
"Ahmadinejad dipandang sebagian besar warga Iran telah memenangkan debat nasional via televisi melawan tiga lawannya termasuk Mousavi," kata pakar Iran dari Universitas Pennsylvania, AS, Flynt Leverett seperti dikutip Politico.com.
Masalahnya, sebagaimana bidang ilmu sosial, tak ada pandangan baku dan konsensus mengenai posisi penting debat capres dalam proses pemilu.
Ini karena debat capres diyakini banyak pakar jarang bisa meyakinkan pemilih yang sudah jatuh ke hati satu kandidat.
Ilustrasi ini terjadi ketika George Bush Jr mengalahkan Al Gore yang bertalenta, populis dan menarik perhatian publik, pada Pemilu 2000.
Itu pula yang menjadi salah satu faktor mengapa bagian terbesar rakyat Iran yang konservatif dan hidup di pedesaan, setia memilih Ahmadinejad yang sudah terpatri dalam hati pemilihnya.
Sebaliknya, bagi swing voter atau pemilih mengambang yang lebih mengesampingkan faktor emosional ketika memilih, debat capres menjadi sumber berharga dalam menentukan sikap atau mengubah sikap politiknya, dari misalnya golput menjadi ikut memilih atau dalam memperoleh landasan rasional logis ketika memilih kandidat.
Contohnya, saat John F. Kennedy mengalahkan Richard Nixon pada 1960, ketika Nixon membenamkan Hubert Humphrey pada 1968, tatkala Ronald Reagan mengakhiri era Jimmy Carter pada 1980, dan terakhir pada 2008 ketika Barack Obama membenamkan John McCain dalam pemilu yang dipenuhi orkestra debat paling sukses merangsang swing voter di AS.
Berharga
Ada asumsi umum yang mungkin bisa diteorisasi, bahwa jika pemilih ingin mengakrabi kandidat dan isu pemilu, maka debat publik menjadi sumber informasi berharga bagi calon pemilih.
Faktanya, warga AS --demikian pula masyarakat melek informasi seperti Indonesia sekarang ini-- yang menjadi calon pemilih (terutama swing voter) dapat memperoleh informasi berharga tentang kandidat dari debat capres.
Riset sejumlah pakar yang dibukukan Kenneth L. Hacker salah satunya menyimpulkan, calon pemilih akan mengetahui lebih dalam kualitas kandidat dari debat capres.
Lain dari itu, debat capres berpotensi mengubah kecenderungan suara pemilih dalam pemilu yang dalam bahasa asli Kenneth L. Hacker dikatakan "have potential for influencing election outcome."
Untuk itu, dalam pemilihan presiden langsung, prediksi statis tentang trend pilihan yang mengunci kecenderungan sikap, mood, dan pandangan pemilih yang ironisnya terus berubah, menjadi tidak relevan.
Semua tergantung kepada seberapa banyak, seberapa menarik dan seberapa meyakinkan informasi tentang kandidat sampai ke calon pemilih, untuk kemudian dicernanya.
Tapi itu semua terjadi, jika tingkat melek demokrasi suatu negara semerata Amerika dan faktanya belum ada pemilihan langsung yang seideal Amerika.
Terpenting ditekankan adalah, tidak sebagaimana iklan politik, debat bisa menjadi informasi objektif yang berharga bagi calon pemilih, terutama yang memahami pilihan dan konsekuensinya serta berhasrat mendahulukan pemenuhan logika berpikirnya. (*)
Apa Kata Teori Tentang Efektivitas Debat Capres
19 Juni 2009 18:20 WIB
Tiga Capres (kiri-kanan) Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla. (ANTARA/Saptono)
Oleh Oleh: Jafar M. Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009
Tags: