Jakarta (ANTARA News) - Program-program ekonomi tiga calon presiden dinilai masih sebatas retorika, sehingga sulit bagi publik menentukan paham mana yang tepat bagi kemajuan bangsa ke depan.

"Tiga capres boleh saja terus meyakinkan masyarakat dengan program-program ekonomi yang diusung, namun masih sebatas jargon pro rakyat," kata Sekretaris Jenderal Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Yuna Farhan kepada ANTARA, di Jakarta, Rabu pagi.

Menurut Farhan, saat ini kampanye paham ekonomi masing-masing capres baik melalui media maupun pada kampanye terbuka justru semakin membingungkan masyarakat.

"Ke tiga pasangan (SBY-Boediono, Mega-Prabowo, JK-Wiranto--red) seluruhnya mengklaim akan menerapkan kebijakan yang lebih memihak kepada rakyat, namun sulit bagi publik memisahkan mana yang betul-betul program pro rakyat dan mana yang tidak," kata Farhan.

Dijelaskannya, "perang" dalam mengedepankan paham ekonomi masing-masing capres hanya sebatas bagaimana teknis penyampaiannya. "Tetapi, soal isi tidak jauh berbeda atau tidak ada yang konkrit," tegasnya.

Ia mengemukakan, sejak awal publik sudah dihadapkan pada dua paham ekonomi yang diklaim saling bertolak belakang yaitu neoliberal dan ekonomi kerakyatan.

"Tuduhan penganut paham neoliberal kepada satu pasang capres dijadikan senjata, di satu sisi pasangan lainnya mengklaim lebih mengedepankan ekonomi kerakyatan. Padahal platform ekonomi yang "dijual" kepada masyarakat tidak ada yang konkrit," ujar Farhan.

Menurutnya, yang dituntut rakyat dari pemimpin pemerintahan adalah bagaimana realisasi peningkatan daya saing perekonomian yang dapat memicu peningkatan kesejahteraan yang merata di masyarakat.

"Dengan begitu, publik pun tidak ibaratnya, "membeli kucing dalam karung". Tidak perlu banyak ngomong, tetapi pemerintahan harus mampu efektif memanfaatkan semua potensi ekonomi demi kemajuan bangsa," tegasnya.



Visi-misi ekonomi

Pada akhir Mei 2009, tiga capres memaparkan visi-misi bidang ekonomi di media televisi yang digelar Kamar Dagang dan Industri (Kadin).

Masing-masing kandidat memberikan pandangan tentang perekonomian dari seluruh aspek meliputi ekonomi mandiri, daya saing industri, pengelolaan sumber daya alam yang benar.

Selanjutnya, mengurangi peran lembaga donor, pembangunan infrastruktur, pengembangan sektor riil, proteksi produk-produk pertanian, pemberdayaan UKM hingga peningkatan industri berskala besar.

Bahkan setelah ketiga capres tersebut menyampaikan program ekonomi yang akan diusung jika memimpin negeri ini, muncul semacam pandangan di masyarakat pemahaman ekonomi yang disebut SBYnomics, Meganomics, dan JKnomics.

Menanggapi hal itu, ekonom Econit Advisory Group Hendri Saparini menjelaskan, sebutan SBYnomics, Meganomics, dan JKnomics terlalu berlebihan karena dalam paham ekonomi dibutuhkan pemikiran dan pembuktian yang komprehensif.

"Pilres kali ini memang fokus penawaran kebijakan-kebijakan ekonomi. Berbeda dengan tahun 2004 lebih pada bagaimana penekanan kampanye hanya pada aspek elektabilitas semata," ujarnya.

Meski begitu Hendri menyoroti, bahwa pasangan capres kampanye SBY-Boediono dengan jargon "Lanjutkan" akan menghadapi kendala besar.

"Lanjutkan...berarti tidak akan membuat perubahan apapun seiring dengan kurangnya pencapaian berbagai sisi ekonomi. Kalau melanjutkan berarti tidak akan mengoreksi, atau akan seperti apa adanya seperti saat ini," katanya.

Ia berpendapat, kebijakan ekonomi yang dijalankan "incumbent" (pemerintahan yang sedang berjalan) terjadi liberalisasi di sektor keuangan, sektor pangan, sektor migas dan energi.

Di tengah situasi krisis ekonomi, dan di saat semua negara meredam membuka pasar dalam negeri, ujarnya, pemerintah Indonesia, justru membuat kebiajakan mempercepat liberalisasi dengan melakukan percepatan free trade area (FTA) dengan membuka kesepakatan dengan Australia, dan Selandi Baru.

"Ini merupakan kebijakan yang justru bertentangan dengan ekonomi kerakyatan yang mengedepankan perlindungan terhadap sumber-sumber produksi dalam negeri," ujarnya.

Berbeda dengan pandangan capres JK-Wiranto, bahwa perlunya kebijakan ekonomi yang bersumber pada dua hal, yaitu pembiayaan pembangunan dengan merealokasi APBN, yang diiringi kebijakan tidak menambah utang negara menuju kedaulatan keuangan negara.

Sementara pasangan capres Mega-Prabowo antara lain mengedepankan upaya mengoreksi utang dengan menjadwalkan kembali atau moratorium utang.

"Dari sisi pemanfaatan BUMN, Megawati menginginkan kembalinya peran BUMN dikembalikan. Sedangkan JK mengedepankan kemandirian pengusaha nasional baik melalui BUMN dan swasta nasional," katanya.

Untuk itu ujar Hendri, empat hal yang menjadi pokok dalam pencapaian ekonomi nasional ke depan adalah pentingnya meningkatkan kemampuan pembiayaan pembangunan, pengelolaan utang, pandangan terhadap peran BUMN, serta pengelolaan sumber daya mineral.

"Kebijakan sekarang ini, Indonesia justru mengarah kepada negara spesialis ekspor bahan baku. Ini sangat berbahaya karena di satu sisi sumber daya energi seperti gas di ekspor ke negara lain, tetapi industri dalam negeri kesulitan atau bahkan membeli energi yang dihasilkan sendiri dengan harga sangat tinggi," ujarnya.(*)