Jakarta (ANTARA News) - Cap ekonom neoliberal terlanjur melekat pada sosok Prof. Dr Boediono, terlebih setelah Gubernur Bank Indonesia itu didaulat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi calon wakil presiden.
Atas tuduhan itu, Boediono tampaknya tak mempunyai banyak ruang untuk berkelit, karena memang bukan perkara gampang menjelaskan sebuah aliran atau ideologi ekonomi tertentu, apalagi jika ideologi itu terlanjur memiliki tendensi negatif.
Hampir tak ada ruang dan media yang cukup. Menjelaskan sepotong-sepotong di stasiun televisi, radio, ataupun kolom media cetak terkadang justru menimbulkan blunder menyesatkan.
Boediono tampaknya sadar betul akan kondisi itu, karenanya ia memilih untuk membuat buku. Dengan buku, Boediono ingin menyuguhkan secara utuh pemikirannya tentang ekonomi Indonesia yang dicita-citakannya.
"Ekonomi Indonesia Mau ke Mana?" adalah buku kumpulan 10 esai Boediono sejak 1981 hingga 2007. Buku ini merupakan rekaman pandangannya sebagai seorang pakar ekonomi dan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.
Buku ini juga merajut landasan berpikir Boediono saat menjabat sebagai Kepala Bappenas, Menteri Keuangan, dan Menko Perekonomian. Ia bersiteguh bahwa kebijakan yang diambil selama dalam pemerintahan semata-mata demi kesejahteraan rakyat.
Boediono menepis peluncuran buku tersebut didedikasikan untuk meraih kursi wakil presiden pada Pilpres 8 Juli mendatang. Ia mengatakan buku ini merupakan hasil pemikiran orisinil seorang Boediono.
"Tulisan ini merupakan tulisan saya. Buku ini bukan untuk kampanye. Buku ini sebagai bagian pencerahan dan mengajak masyarakat untuk berpikir rasional dan jernih," katanya dalam sambutan diskusi bukunya di Perpustakaan Nasional, Jakarta.
Tujuan Kebijakan Ekonomi
Dalam "Ekonomi Indonesia Mau ke Mana?", Boediono menyatakan tujuan akhir kebijakan ekonomi sebuah negara adalah meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Hal itu hanya bisa tercipta jika harga kebutuhan pokok stabil dan penghasilan rakyat dapat diandalkan.
Pertumbuhan ekonomi merupakan satu-satunya jalan untuk meningkatkan penghasilan masyarakat, sementara itu stabilitas ekonomi merupakan cara untuk melindungi agar penghasilan masyarakat tidak tergerogoti oleh naiknya harga bahan pokok.
Keduanya bertujuan untuk menjaga keberpihakan negara pada masyarakat dengan menahan stabilitas harga pokok dan mengarahkan perluasan kegiatan ekonomi.
Selain itu, menurut Boediono, negara juga harus mengusahakan peningkatan kesejahteraan yang adil dan merata, karena pemerintahan yang adil dan memihak pada kepentingan rakyat banyak merupakan prioritas utama stabilitas ekonomi.
"Bukan hal mudah mewujudkan tuntutan dasar tersebut, apalagi jika energi sosial yang ada lebih condong digunakan untuk kesibukan lain yang tidak mendasar," katanya.
Boediono berkeyakinan pemerintahan yang baik adalah yang mampu memfokuskan pada pemenuhan kesejahteraan yang adil dan merata. Dalam bahasa ekonomi, katanya, pemenuhan kesejahteraan yang adil dan merata hanya dapat dicapai dengan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan disertai dengan stabilitas ekonomi yang mantap.
Dalam buku setebal 149 halaman itu Boediono menjelaskan prioritas utama di bidang perekonomian adalah untuk dapat menampung mayoritas angkatan kerja yang kenyataannya masih terdiri dari tenaga kerja kurang terampil.
Menurut Boediono, langkah yang harus diambil untuk memelihara stabilitas ekonomi yang sekarang sudah mantap yaitu, meneruskan kebijakan fiskal moneter yang hati-hati dan menuntaskan penyehatan sektor keuangan.
Sedangkan sasaran pertumbuhan berkelanjutan yang perlu penanganan lebih baik untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah pembangunan infrastruktur dan perbaikan iklim investasi.
Ia menyayangkan strategi industri perdagangan yang lebih mengacu pada kepentingan perusahaan tertentu. Pemisahan Departemen Perdagangan dan Perindustrian justru memperpanjang alur koordinasi kebijakan kedua bidang itu.
Pembangunan infrastruktur, perbaikan iklim investasi dan strategi industri perdagangan yang jelas dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun mendatang.
Boediono menambahkan pertumbuhan suatu negara akan sangat dipengaruhi oleh kualitas institusi, sumber daya manusia, sumber daya alam dan kemampuan teknologinya.
Lemahnya kinerja birokrasi merupakan kendala yang menghambat pertumbuhan bagi semua institusi, untuk itu diperlukan penyesuaian antara faktor agar sinambung dan saling mendukung.
Langkah ekstra yang perlu diambil pemerintah dalam mewujudkan hal itu adalah dengan kebijakan pengembangan usaha kecil dan menengah yang komprehensif, pelatihan kerja yang benar-benar meningkatkan peluang tenaga kerja untuk mengisi lowongan kerja yang tersedia.
Kemudian pembenahan mendasar terhadap pengelolaan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dikirim ke luar negeri dan gerakan pengentasan kemiskinan dengan strategi yang jelas. "Pelaksanaan dan penyusunannya harus melibatkan pemangku kepentingan termasuk departemen, pemerintah daerah, dunia usaha kelompok masyarakat dan tentunya kaum miskin itu sendiri."
Untuk itu ia menganjurkan dibentuknya sebuah focus group yang dikoordinasikan pada tingkat tinggi agar tidak saling bertabrakan dan membuang energi yang tidak diperlukan.
Pemulihan Ekonomi Indonesia
Menurut Boediono, Indonesia sulit keluar dari krisis multidimensional yang sedang dihadapi karena timbulnya beberapa permasalahan mendasar secara bersamaan. Seolah-olah satu masalah timbul untuk memberatkan masalah lain.
Di buku itu dituliskan tiga sebab mendasar di bidang ekonomi yaitu, para pelaku ekonomi belum yakin dengan situasi keamanan dan ketertiban umum, mereka juga tidak melihat adanya aturan main yang jelas di berbagai bidang, dan mereka tidak yakin dengan kebijakan ekonomi yang dapat berubah karena adanya perubahan angin politik.
Dari tiga penyebab mendasar itu, tiga masalah pokok yang menjadi sumber tidak adanya komitmen yang mendalam yaitu hukum dan keteraturan ("law and order"), aturan main ("rule of the game") dan konsistensi kebijakan ("policy consistency").
Hukum dan keteraturan (law and oder) merupakan penentu para investor dalam negeri dan luar negeri untuk menanamkan modalnya, mereka juga melihat situasi dan kondisi keamanan baik secara politik dan sosial agar investasinya dapat berjalan lancar.
Rule of the game atau aturan main yang jelas juga diperlukan agar adanya kepastian dari masing-masing pihak untuk saling menepati kontrak yang akan disepakati
Boediono juga menekankan pentingnya konsistensi kebijakan untuk menumbuhkan minat para investor menanamkan modalnya di dalam negeri. Policy consistency juga tergantung oleh sikap baik dari para pemimpin, politik, masyarakat dan individu, ia mengharapkan kebijakan ini dapat berjalan secara berkesinambungan.
Dalam menerapkan semua usaha untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, Boediono menegaskan perlunya sikap keteladanan dari pemerintah sebagai pemimpin agar bisa menjadi panutan masyarakat dan sebagai bagian dari perwujudan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik).
Tanpa keteladanan tidak akan mungkin tercipta konsistensi kebijakan dari pemerintah untuk menarik para investor.
Untuk mendapatkan tujuan ekonomi, pemerintah tidak boleh menghalalkan segala cara karena akan sama saja dengan mencabik-cabik peraturan yang ada dan memperparah institusi.
Pendapatan Perkapita
Indonesia juga diharapkan agar dapat meningkatkan pendapatan per kapitanya yang pada tahun 2006 diperkirakan sebesar 4.000 dolar AS yang masih jauh dari batas aman di 6.600 dolar AS.
Jika Indonesia mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi minimal tujuh persen setahun dan dengan laju pertumbuhan penduduk 1,2 persen per tahun maka menghasilkan per kapita akan tumbuh sebesar 5,8 persen tiap tahunnya. Dengan pertumbuhan seperti ini Indonesia akan berada di batas aman dalam waktu sembilan tahun.
Namun jika pertumbuhan ekonomi tidak lebih dari tujuh persen, Indonesia memerlukan waktu lebih lama lagi untuk berada di batas aman. Sembilan tahun merupakan waktu yang lama untuk mengawal demokrasi Indonesia yang baru `mekar`.
Dalam hal ini diperlukan peranan penting semua kalangan mulai dari pelaksanaan pemilihan umum yang bebas dan terbuka, multipartai, pembagian kekuasaan antara eksekutif legislatif dan yudikatif, peran pers dan organisasi kemasyarakatan.
"Dengan buku ini, Boediono mengajak masyarakat untuk berpikir jernih dan rasional menyikapi kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah untuk bisa keluar dari krisis multidimensional," kata dosen ekonomi di Universitas Gadjah Mada (UGM) Toni Prasetianto yang menjadi pembicara dalam kesempatan itu. (*)
Ekonomi Indonesia Mau ke Mana?
16 Juni 2009 17:20 WIB
Oleh Oleh Ageng Wibowo
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009
Tags: