Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa pemerintah berupaya agar "moral hazard" atau penyimpangan tidak terjadi saat pemerintah memberikan kelonggaran kredit usaha rakyat (KUR) maupun kredit lain dalam kondisi COVID-19.

"Dalam program-program ini pemerintah terus berupaya agar tak terjadi 'moral hazard'. Dalam hal ini 'track record' dan kemampuan lembaga keuangan melakukan restrukturisasi menjadi sangat penting dan kami sedang formulasikan kebijakan untuk menjaga agar kebijakan bisa bantu masyarakat namun tetap dijaga kehati-hatiannya," kata Sri Mulyani di kantornya di Jakarta, Rabu.

Sri Mulyani menyampaikan hal tersebut seusai mengikuti rapat terbatas dengan tema "Lanjutan Program Mitigasi Dampak COVID-19 pada Sektor Riil" yang dipimpin Presiden Joko Widodo.

Baca juga: 11,9 juta debitur KUR dipastikan bebas bayar pokok angsuran 6 bulan

Dalam rapat itu diputuskan pemerintah akan mengguyur total Rp35,3 triliun untuk memberi relaksasi keringanan pajak untuk PPh pasal 21, PPh pasal 22 dan PPh pasal 25 terhadap 18 sektor usaha di 749 Klasifikasi Baku Lapangan Usaha di Indonesia (KBLI).

Terhadap 18 sektor usaha itu, pemerintah akan memberikan relaksasi berupa penundaan pembayaran pokok angsuran selama 6 bulan, pembebasan bunga untuk 3 bulan pertama dan diskon pembayaran bunga sebesar 50 persen pada 3 bulan selanjutnya.

Selanjutnya pemerintah juga memberikan kelonggaran Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang pembayaran pokok angsuran dan bunganya diringankan mencapai Rp29,6 triliun untuk 11,9 juta debitur KUR

KUR tersebut termasuk Pembiayaan Ultra Mikro (UMI) dari Pusat Investasi Pemerintah (PIP), Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (Mekaar), pinjaman yang dikelola PT Permodalan Nasional Madani (PNM) dan koperasi.

KUR tersebut Rp2,4 triliun di antaranya berasal dari 1 juta debitur yang meminjam dana hingga Rp500 juta. Sedangkan Rp27,2 triliun lainnya berasal dari 10,4 juta debitur yang meminjam KUR dari Program Mekaar dan PNM.

Untuk relaksasi KUR juga berupa penundaan pembayaran pokok angsuran selama 6 bulan, pembebasan bunga untuk 3 bulan pertama dan diskon pembayaran bunga sebesar 50 persen pada 3 bulan selanjutnya.

Baca juga: Cegah PHK, pemerintah perluas insentif pajak pekerja Rp15,7 triliun

"Pertama yang diberikan adalah mereka yang memang kreditnya itu kena COVID-19, artinya mereka selama ini baik-baik saja sebelum ada COVID-19, tapi karena COVID, dia mengalami kesulitan," tambah Sri Mulyani.

Persyaratan kedua adalah mereka yang memiliki "track record" bagus.

"Artinya mereka selama ini 'comply' terhadap akad kreditnya kalau sampai terjadi kredit macet itu adalah situasional, kita melihat dampaknya kepada keseluruhan, yang kami jaga adalah agar jangan sampai orang sengaja memacetkan dan membangkrutkan dirinya sendiri," tegas Sri Mulyani,

Untuk itu Kementerian Keuangan juga akan bekerja sama dengan Kejaksaan Agung dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

"Tujuannya agar kita bisa melihat situasinya sedetail mungkin, memang ini menyangkut puluhan juta tadi dari para kreditur yang berada di berbagai ratusan lembaga-lembaga keuangan. Ini akan menjadi sesuatu yang memang sangat-sangat menantang di dalam implementasinya," ungkap Sri Mulyani.

Sri Mulyani pun berharap tetap ada pengawasan dari masyarakat terkait kelonggaran kredit tersebut.

"Jadi nanti kita akan terus melakukan monitoring pertama terhadap pelaksanaan dari insentif ini. Tujuannya adalah agar mereka bisa bertahan dan diharapkan tidak melakukan PHK atau tidak bangkrut. Kalau tadi insentif dari sisi 'restructuring' itu menyebabkan kredit macet, kita bersama dengan OJK akan membuat rambu-rambunya," tambah Sri Mulyani.

Baca juga: Mentan dorong petani manfaatkan KUR agar terhindar dari tengkulak

Selain itu, Sri Mulyani juga akan mencari mereka yang terdampak COVID-19 agar masuk dalam sistem perbankan.

"Kami mengajak mereka masuk dalam sistem apakah melalui UMI, Mekaar, atau KUR sehingga 'financial inclusion' menjadi lebih baik sambil pemerintah ikut bantu mereka. Ini yang kami lakukan verifikasi data, karena data belum masuk sistem perbankan dan belum masuk dalam sistem bansos pemerintah. Kami ingin mereka bisa masuk, apakah masuk dalam bansos atau sistem keuangan sehingga bisa menjadi bagian dari database yang dimiliki pemerintah," jelas Sri Mulyani.