Jakarta (ANTARA News) - Kebijakan pemerintah membuka kran impor daging khusus unggas telah meresahkan usaha ternak unggas lokal yang sebagian besar berskala kecil dan menengah (UKM).

Koordinator Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia, Don P Utoyo, mengatakan, dibukanya kran impor unggas melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 20 tahun 2009 itu harus ditangkal dengan cerdik agar tidak mematikan peternak lokal.

Peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian Anton Apriyantono itu, disamping membuka impor unggas juga komoditas peternakan lainnya seperti daging babi dan sapi, serta produk olahannya.

Menurut Don, pemerintah cq Deptan tidak meminta masukan dunia usaha khususnya masyarakat perunggasan dalam membuat peraturan tersebut, sehingga dikhawatirkan akan kontraproduktif terhadap pengembangan usaha peternakan rakyat di Indonesia.

"Sampai saat ini, industri peternakan unggas di dalam negeri masih mampu memenuhi kebutuhan daging unggas dan telur ayam nasional. Bahkan bila permintaan domestik meningkat 1,5 sampai dua kali lipat sekalipun," katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu.

Berdasarkan data Pusat Informasi Pasar (Pinsar) Unggas Nasional pada tahun 2008 total permintaan daging ayam di dalam negeri mencapai 980 ribu ton dan permintaan telur mencapai 920 ribu ton.

"Dengan kebutuhan sebesar itu, kita (Indonesia) sudah swasembada daging dan telur ayam," ujar Don.

FMPI mempertanyakan kebijakan Mentan Anton Apriyantono yang membuka kran impor unggas, di tengah sejumlah negara justru menutup pasarnya agar bisa meningkatkan kinerja usaha rakyat di sektor peternakan.

Saat ini, kata dia, ada sekitar lima juta keluarga yang pekerjaan dan usaha mereka terkait langsung di sektor peternakan, mulai dari peternak kecil yang mencapai 2,5 juta keluarga, pemasok pakan, petani jagung dan singkong, pedagang pasar, sampai karyawan perusahaan perunggasan besar.

"Kalau perusahaan perunggasan besar, mereka bisa bertahan menghadapi persaingan dengan produk unggas impor yang relatif lebih murah, tapi peternak kecil terancam mati, karena tidak mampu bersaing dengan produk impor yang lebih murah," ujarnya.

Ia mengatakan, harga daging ayam hasil produksi peternak dalam negeri saat ini mencapai sekitar Rp22 ribu sampai Rp24 ribu per kilogram, sedangkan daging ayam impor terutama dari Brazil -- yang diperkirakan akan banyak masuk pasca Permentan tersebut -- harga eceran di Indonesia hanya Rp12 ribu per kilogram.

Negara seperti Brazil, kata Don, mampu menghasilkan harga produk unggas yang murah karena ada subsidi pemerintah dalam pengembangan jagung sebagai pakan ternak, sehingga biaya produksinya rendah.

Ditambahkan Ketua Umum Pinsar Unggas Nasional, drh Hartono, kebijakan pemerintah membuka kran impor unggas, berapa pun besarnya, akan mendistorsi harga di pasar domestik dan mengancam keberlanjutan swasembada pangan khususnya pada komoditas unggas.

Hal senada dikemukakan Ketua Asosiasi Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional, Tri Hadiyanto. Dengan tegas ia meminta pemerintah tidak memberlakukan kebijakan impor daging ke Indonesia dan memperbaiki rantai distribusi di dalam negeri agar pasokan daging dan telur unggas menjadi lebih murah.

Berdasarkan data FMPI, daging dan telur ayam merupakan sumber protein yang murah bagi masyarakat, bahkan bila dibandingkan dengan tahu dan tempe.

Sumber protein pada telur hanya senilai Rp105 per gram dan daging ayam sebesar Rp130 per gram. Sedangkan tempe Rp100 per gram dan tahu 120 per gram, sumber protein lainnya daging sapi Rp300 per gram.
(*)