Retno tak menggunakan gula dalam ramuan jamunya, tapi tetap ada rasa cita manis. Rasa manis yang menurut dia tak berlebihan dan jahat untuk kesehatan. Selain manis, dia juga menghadirkan sensasi wangi pada jamu kreasinya, wangi ini berasal dari daun pandan.
"Jadi di lidah rasa tetap jamu, tapi di hidung aromanya wangi yang bisa diterima. Ini yang mungkin kemudian disukai anak-anak muda yang dulunya nggak akrab dengan jamu," kata dia kepada ANTARA belum lama ini.
Ada sepuluh macam jamu yang Retno hadirkan yakni kunyit asem, gula asem, sambiloto, bunga telang nipis, jahe wangi, rosella, jus kacang ijo, nipis plus madu, kejem (kencur, jahe, madu dan jeruk nipis) dan mpon-mpon.
Baca juga: Beberapa manfaat minum air jahe
Baca juga: Mengonsumsi lemon dan kunyit tak mampu cegah corona
Jamu-jamu ini dikemas dalam botol ukuran setengah liter atau 500 ml dan dibanderol Rp20 ribu-25 ribu. Ada label sticker bertuliskan "Sejiwa" di bagian luar botol, mengingatkan pada minuman kemasan kekinian yang populer di kalangan anak muda beberapa tahun terakhir.
Menurut Retno, jamu yang dulunya semata terkesan tradisional bisa juga dipandang modern, melalui pengemasan yang menarik ditambah rasa dan aroma yang berbeda, tidak jamu banget.
Soal tempat berjualan jamu, sebenarnya Retno tertarik membuat semacam kafe. Nantinya pelanggan bisa minum jamu sembari mengobrol, bekerja dan lainnya seperti coffee shop yang belakangan ini jadi populer di berbagai kalangan. Kafe semacam ini juga seakan bisa mengenyahkan kesan maskulin yang selama ini melekat pada "warung jamu".
"Kafe jamu, wah tertarik banget. Ingin bikin tempat minum yang bisa ngejamu sekaligus ngobrol dan kerja santai, tapi nggak pengin kayak warung jamu pinggir jalan yang sangat maskulin itu ya," tutur Retno.
Tapi, hasrat ini belum bisa dia tuntaskan dalam waktu dekat. Retno masih bersikukuh berjualan tanpa toko dan melayani langsung pembelinya. Alasannya, melayani pelanggan itu seru dan ada mengobrolnya.
Kerinduan kaum urban
Jamu buatan Retno salah satunya hadir karena ada sinyal kerinduan masyarakat urban pada makanan dan minuman tradisional, termasuk jamu.
Mereka ini kebanyakan justru rentang usia-nya 20 hingga 40 tahun, dari kalangan mahasiswa hingga para pekerja yang sibuk, termasuk rekan-rekan kerjanya di perusahaan media kawasan Kedoya, Jakarta Barat.
"Belakangan ini mulai dibeli oleh orang-orang dari luar kantor, bahkan sampai Cibubur dan Bekasi. Selebihnya itu tidak bisa dilayani karena jamu ini tidak pakai pengawet sama sekali sehingga mudah basi kalau kelamaan di luar. Tidak bisa pakai ekspedisi hingga ke luar kota," kata Retno.
Walau memang saat ini jamu masih belum jadi tren di kalangan anak muda yang sebagian lebih memilih kopi atau boba. Tetapi menurut dia, kegiatan promosi di media sosial Instagram dan WhatsApp, bukan tak mungkin bisa mengakrabkan jamu dengan para millennials.
Baca juga: Lawan Corona, tenaga medis di Jakarta dibagikan jamu dan telur rebus
Baca juga: Tangkal corona, penjual jamu keliling promosikan "Jamu Jokowi"
Di sisi lain, Retno yang hobi berbelanja ke pasar itu juga paham Indonesia kaya rempah-rempah, lalu dia berdaya urusan dapur, ditambah jiwa berbisnis dan keinginan untuk sehatnya meletup-letup. Semua hal ini semakin menguatkannya membuat jamu sehingga hadirlah "Sejiwa".
Mpon-mpon seperti yang diminum Presiden Joko Widodo untuk menjaga kesehatan juga menginspirasi Retno. Belum lagi presenter Andy F Noya yang menantang Retno membuat jamu ala presiden, jadilah semakin kuat asa Retno meracik jamunya sendiri.
Retno juga mendapatkan dukungan dari sisi alat. Ibunda Retno membawakannya berbagai peralatan dapur dari Wonosobo. Dia yang awalnya bingung "barang segede-gede dosa itu" mau diapakan. Ternyata justru sangat bermanfaat untuk menjalankan bisnis Jamu.
Dia lalu memulai meracik “Sejiwa” secara konsisten di ruang kecil di kawasan Cireundeu, Tangerang Selatan dengan skala produksi rumahan pada tahun 2018.
Sejiwa menyebut pembelinya Teman Jiwa dan ini senada dengan label Sejiwa yang--bahkan makanan dan minuman-pun perlu menemukan jodohnya. Kalau sudah ketemu coba, kemudian suka, pasti repeat order. Kalau jodoh kan pasti cocok baik rasa ataupun harganya, begitu kata Retno.
Retno belajar meracik secara otodidak dibarengi belajar melalui berbagai buku pengetahuan rempah Indonesia.
Soal bahan, dia biasanya mengandalkan pedagang langgannya di pasar Kebayoran. Pedagang ini akan memilihkan bahan-bahan bermutu baik sesuai permintaan. Retno hanya tinggal menghubunginya via WhatsApp dan mengambil jika pesanan yang sudah siap.
Walau masih dalam skala rumahan, Retno ingin bisa menginspirasi orang lain melalui bisnis jamu yang tak memandang gender, suku bangsa, ras dan agama. Impian ini perlahan terwujud. Dua rekannya di Yogyakarta ikut membuka bisnis serupa, disusul tetangganya di Cireundeu yang bahkan membuat jamu sama persis seperti Retno.
"Jadi maksudku, kalau orang memulai usaha, nggak perlu deh memikirkan hal yang ketinggian, mulai aja dari yang kita punya. Jangan belum-belum sudah keluar uang banyak tapi nggak tahu baliknya kapan," papar dia.
Ke depannya dia ingin menambah menu jamunya. Dia ingin menu yang universal alias bisa diterima semua kalangan mulai dari anak muda, orang tua, bapak hingga ibu. Dia berpikir mengembangkan teh serai.
"Saya ingin mengispirasi orang lain memulai sesuatu itu dari skill, bukan hanya passion. Menurutku, kalau memulai sesuatu bisnis dari skill, setidaknya kita punya bekal 25 persen untuk bisa jalan terus," kata dia.
Baca juga: Pelukis Borobudur eksplorasi jamu untuk melukis saat pandemi COVID-19
Baca juga: Bukan cuma kopi, Fore Coffee sekarang juga tawarkan jamu
Bukan jamu anticorona
Pandemi virus corona baru penyebab COVID-19 belakangan ini membuat sejumlah orang menciptakan produk jamu yang dilabeli "Jamu Anticorona". Jamu yang sudah dikenal lama masyarakat Indonesia ini diklaim bisa mencegah seseorang terkena COVID-19.
Retno mengaku tak sependapat pada anggapan ini. Dia mengatakan tidak berniat menciptakan minuman serupa walaupun bahannya tetap rempah-rempah yang dia kenal.
Menurut dia, jamu bisa meningkatkan imunitas dan stamina tubuh yang memang pada akhirnya membantu menjaga diri dari infeksi virus termasuk SARS-CoV-2.
Di sisi lain, saat ini belum ada obat atau vaksin untuk COVID-19. Penelitian terkini baru menunjukkan, kandidat obat yakni "hydroxychloroquine" dan "chloroquine" masih berada dalam tahap uji coba.
Walau bukan "jamu anticorona" tapi pembeli jamu Retno semakin banyak termasuk saat pandemi COVID-19. Sebagian besar mereka yang sudah merasakan manfaat jamu "Sejiwa". Dalam sehari, dia bisa menjual 30 buah botol jamu. Sesekali penjualan bahkan pernah mencapai 70 buah botol.
"Jamu kan bahan asli ya, ini jadi pilihan sehat mereka dibandingkan harus minum obat-obatan kimia," kata Retno.
Soal waktu terbaik minum jamu, sebenarnya bisa kapan saja. Tapi Retno menyarankan pagi hari, saat tubuh membutuhkan nutrisi. Lalu sebaiknya disajikan hangat atau dingin? Ini bisa sesuai selera konsumen asalkan tidak ditambahkan es karena bisa mempengaruhi kekentalan jamu.
"Ini sudah takaran pas. Kalau es, itu kan jadi lebih cair ya. Enaknya misal dinikmati dingin ya keluar dari kulkas saja gitu," tutur Retno. Baca juga: Viral virus corona menuju budaya baru
Baca juga: Mustika Ratu keluarkan produk jamu peningkat daya tahan tubuh
Baca juga: Empon-empon, minuman andalan Cynthia Lamusu hadapi corona