Artikel
Kisah warga Riau nekad mudik di tenda mungil isolasi diri
Oleh FB Anggoro
20 April 2020 17:29 WIB
Abdullah Al Mabrur di depan tendanya saat isolasi mandiri di pinggir sungai Kecu, Ngaran, Mlese, Ceper, Klaten, Jawa Tengah. Abdullah merupakan pemudik dari Riau yang melakukan isolasi mandiri selama 14 hari sejak Rabu (15/4/2020) dengan mendirikan tenda dipinggir sungai dikampung halamannya untuk mengantisipasi penyebaran virus COVID-19 dilingkungan keluarga dan tetangga. (ANTARA/HO-Abdullah Al Mabrur)
Pekanbaru (ANTARA) - Sebuah tenda mungil di tepi sungai kini jadi peraduan bagi seorang warga Provinsi Riau bernama Abdullah Al Mabrur, yang nekad pulang kampung ke Dukuh Ngaran, Klaten, Provinsi Jawa Tengah.
Ia memilih menyepi di tenda yang jauh dari rumah keluarganya untuk isolasi mandiri karena sadar dirinya berpotensi menularkan virus Corona kepada keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Selain itu, stigma negatif dari sebagian warga sangat terasa, sehingga ia memilih untuk menjauh selama 14 hari ketimbang keluarganya dikucilkan.
“Saya punya inisiatif, bilang ke adik saya tolong carikan tenda untuk piknik di pinggir kali, saya mau isolasi takutnya kurang enak sama tetangga. Saya lebih aman, adem ayem di hati dan pikiran saya di tenda ini,” kata Abdullah Al Mabrur ketika dihubungi ANTARA di Pekanbaru, Senin (20/4).
Ia mengaku sudah merantau dari Klaten dan tinggal di Riau sejak 2011. Ia mengadu nasib seorang diri di daerah berjuluk “bumi lancang kuning” itu dengan membuka klinik pengobatan alternatif di Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan. Bagi warga Pangkalan Kerinci, ia akrab disapa Abah Tabib.
Lelaki berusia 42 tahun ini mengatakan nekad pulang kampung karena tahun lalu sudah tidak pulang saat Lebaran Idul Fitri. Ia mengaku sudah kangen berat dengan keluarganya, dan terpaksa membandel dengan mengabaikan himbauan pemerintah untuk tidak mudik pada Lebaran saat wabah COVID-19.
“Jadi yang dilarang mudik setahu saya itu ASN, TNI, Polri. Saya kan, mohon maaf, cuma kuli. Selain jadi tabib pengobatan alternatif, juga jadi musisi,” kata Abah Tabib sembari berkelakar.
Sebelum memutuskan mudik, ia mengaku ada firasat akan ada kebijakan lockdown atau karantina wilayah karena wabah COVID-19 makin meluas. Karena itu, ia bulatkan tekadnya untuk pulang kampung sebelum bulan masuk bulan suci Ramadhan.
Baca juga: Gotong royong lawan COVID-19 dengan PSBB dan tunda mudik
Baca juga: Syarief Hasan minta pemerintah larang mudik Lebaran
Putusan berisiko
Namun, ia sadar keputusan itu sangat berisiko. Bagi orang yang mudik saat ini tidak lagi bisa diterima dengan tangan terbuka oleh warga di kampungnya. Menurut dia, warga di kampungnya masih banyak yang belum paham tentang virus Corona, sehingga menganggap semua orang yang datang dari luar akan membawa penyakit.
Hal tersebut bisa dipahami karena Riau, khususnya di Kota Pekanbaru, sudah dikategorikan sebagai daerah terjangkit alias zona merah COVID-19. Setiap warga yang dari daerah itu berpotensi membawa virus meski tidak menunjukkan gejala.
Karena itulah, pemerintah mengimbau ada larangan mudik. Namun, bagi Abah Tabib, kerinduan berkumpul dengan keluarga lebih kuat ketimbang semua kengerian itu. Dan ia secara sadar menerapkan protokol kesehatan untuk mengisolasi diri, dan dipilihnya cara yang cukup ekstrim dengan tinggal jauh dari rumah di tenda seorang diri.
“Di sini (Klaten) lebih banyak ketakutannya karena orang banyak gak tahu karakter virus Corona seperti apa. Kalau ada ada orang jauh yang datang dianggap menularkan penyakit. Jadi daripada saya dikucilkan, lebih baik saya isolasi di tenda sendiri,” katanya.
Abah Tabib bertolak dari Riau menggunakan pesawat dari Bandara Sultan Syarif Kasim II Kota Pekanbaru pada tanggal 15 April lalu. Begitu tiba di Bandara Yogyakarta, ia langsung meminta dijemput oleh adik kandungnya.
Sesampainya di kampung halamannya, ia langsung melapor ke Ketua Rukun Tetangga (RT) dan Satgas COVID-19 di daerahnya. Kemudian ia langsung memeriksakan diri ke Puskesmas dan dinyatakan tidak ada gejala terinfeksi virus SARS-CoV-2.
Terhitung lima hari sejak kedatangannya, Abah Tabib berdiam diri di tenda yang didirikannya di tepi Sungai Kecu. Lokasi itu sepi, berjarak 100 meter dari rumah keluarganya. Sedangkan kalau dari rumah tetangga terdekat, tenda itu berjarak sekitar 20 meter.
Baca juga: Wali Kota Palangka Raya minta warga tak mudik cegah COVID-19
Baca juga: Sebagian warga tetap ingin mudik untuk rayakan Lebaran menurut survei
Belum berpelukan
Untuk kebutuhan makan dan minum sehari-hari, adiknya rutin mengirimkan ke tenda tersebut.
“Dulu ini tempat main saya waktu kecil, di belakang sini orang sekarang jarang main ke sini,” katanya mengenai alasan memilih tempat itu.
Tenda kecil berwarna hijau tua itu berada di bawah naungan pohon bambu yang tumbuh subur di tepi Sungai Kecu. Di dekatnya terdapat kursi dan meja kayu. Ia memberi tanda untuk orang yang datang lewat secarik kertas yang dipampang di luar tenda bertuliskan: “SHELTER KARANTINA MANDIRI 14 HARI”.
Selama isolasi Abah Tabib melakukan kegiatan positif untuk menghabiskan waktu di lingkungan sekitarnya. Ia rajin menyemprotkan cairan disinfektan ke tendanya. Selain itu, ia juga mengubah tepian sungai yang sebelumnya kurang tertata jadi lebih bersih dan apik.
“Selama isolasi banyak yang saya kerjakan. Saya bikin tangga, terus memperbaiki saluran air dari atas, terus semak-semak yang banyak itu saya bersihkan, sampah juga saya bersihkan,” katanya.
Meski sudah di kampung halaman, ia mengaku tetap merasa berisiko menularkan penyakit ke keluarganya. Ia tetap menahan diri untuk melepas rindu dengan istri dan empat anaknya.
“Sampai di sini saya tidak langsung ketemu anak dan isteri. Isteri saya ada di rumah mertua. Isteri saya juga paham dan meminta saya jangan dulu ketemu, sampai anak perempuan saya sudah nangis-nangis saja minta ketemu,” katanya.
Akhirnya, ia bisa bertemu anak dan istrinya pada hari keempat setelah isolasi. Itu pun mereka berjarak 2-3 meter, tanpa saling menyentuh.
“Akhirnya ketemu tapi gak berpelukan. Memeluk anak dan istri belum bisa,” ujarnya.*
Baca juga: Akademisi: Tradisi mudik bisa picu gelombang kedua penularan COVID-19
Baca juga: Peneliti: Arus balik jadi gelombang kedua COVID-19 di Jakarta
Ia memilih menyepi di tenda yang jauh dari rumah keluarganya untuk isolasi mandiri karena sadar dirinya berpotensi menularkan virus Corona kepada keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Selain itu, stigma negatif dari sebagian warga sangat terasa, sehingga ia memilih untuk menjauh selama 14 hari ketimbang keluarganya dikucilkan.
“Saya punya inisiatif, bilang ke adik saya tolong carikan tenda untuk piknik di pinggir kali, saya mau isolasi takutnya kurang enak sama tetangga. Saya lebih aman, adem ayem di hati dan pikiran saya di tenda ini,” kata Abdullah Al Mabrur ketika dihubungi ANTARA di Pekanbaru, Senin (20/4).
Ia mengaku sudah merantau dari Klaten dan tinggal di Riau sejak 2011. Ia mengadu nasib seorang diri di daerah berjuluk “bumi lancang kuning” itu dengan membuka klinik pengobatan alternatif di Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan. Bagi warga Pangkalan Kerinci, ia akrab disapa Abah Tabib.
Lelaki berusia 42 tahun ini mengatakan nekad pulang kampung karena tahun lalu sudah tidak pulang saat Lebaran Idul Fitri. Ia mengaku sudah kangen berat dengan keluarganya, dan terpaksa membandel dengan mengabaikan himbauan pemerintah untuk tidak mudik pada Lebaran saat wabah COVID-19.
“Jadi yang dilarang mudik setahu saya itu ASN, TNI, Polri. Saya kan, mohon maaf, cuma kuli. Selain jadi tabib pengobatan alternatif, juga jadi musisi,” kata Abah Tabib sembari berkelakar.
Sebelum memutuskan mudik, ia mengaku ada firasat akan ada kebijakan lockdown atau karantina wilayah karena wabah COVID-19 makin meluas. Karena itu, ia bulatkan tekadnya untuk pulang kampung sebelum bulan masuk bulan suci Ramadhan.
Baca juga: Gotong royong lawan COVID-19 dengan PSBB dan tunda mudik
Baca juga: Syarief Hasan minta pemerintah larang mudik Lebaran
Putusan berisiko
Namun, ia sadar keputusan itu sangat berisiko. Bagi orang yang mudik saat ini tidak lagi bisa diterima dengan tangan terbuka oleh warga di kampungnya. Menurut dia, warga di kampungnya masih banyak yang belum paham tentang virus Corona, sehingga menganggap semua orang yang datang dari luar akan membawa penyakit.
Hal tersebut bisa dipahami karena Riau, khususnya di Kota Pekanbaru, sudah dikategorikan sebagai daerah terjangkit alias zona merah COVID-19. Setiap warga yang dari daerah itu berpotensi membawa virus meski tidak menunjukkan gejala.
Karena itulah, pemerintah mengimbau ada larangan mudik. Namun, bagi Abah Tabib, kerinduan berkumpul dengan keluarga lebih kuat ketimbang semua kengerian itu. Dan ia secara sadar menerapkan protokol kesehatan untuk mengisolasi diri, dan dipilihnya cara yang cukup ekstrim dengan tinggal jauh dari rumah di tenda seorang diri.
“Di sini (Klaten) lebih banyak ketakutannya karena orang banyak gak tahu karakter virus Corona seperti apa. Kalau ada ada orang jauh yang datang dianggap menularkan penyakit. Jadi daripada saya dikucilkan, lebih baik saya isolasi di tenda sendiri,” katanya.
Abah Tabib bertolak dari Riau menggunakan pesawat dari Bandara Sultan Syarif Kasim II Kota Pekanbaru pada tanggal 15 April lalu. Begitu tiba di Bandara Yogyakarta, ia langsung meminta dijemput oleh adik kandungnya.
Sesampainya di kampung halamannya, ia langsung melapor ke Ketua Rukun Tetangga (RT) dan Satgas COVID-19 di daerahnya. Kemudian ia langsung memeriksakan diri ke Puskesmas dan dinyatakan tidak ada gejala terinfeksi virus SARS-CoV-2.
Terhitung lima hari sejak kedatangannya, Abah Tabib berdiam diri di tenda yang didirikannya di tepi Sungai Kecu. Lokasi itu sepi, berjarak 100 meter dari rumah keluarganya. Sedangkan kalau dari rumah tetangga terdekat, tenda itu berjarak sekitar 20 meter.
Baca juga: Wali Kota Palangka Raya minta warga tak mudik cegah COVID-19
Baca juga: Sebagian warga tetap ingin mudik untuk rayakan Lebaran menurut survei
Belum berpelukan
Untuk kebutuhan makan dan minum sehari-hari, adiknya rutin mengirimkan ke tenda tersebut.
“Dulu ini tempat main saya waktu kecil, di belakang sini orang sekarang jarang main ke sini,” katanya mengenai alasan memilih tempat itu.
Tenda kecil berwarna hijau tua itu berada di bawah naungan pohon bambu yang tumbuh subur di tepi Sungai Kecu. Di dekatnya terdapat kursi dan meja kayu. Ia memberi tanda untuk orang yang datang lewat secarik kertas yang dipampang di luar tenda bertuliskan: “SHELTER KARANTINA MANDIRI 14 HARI”.
Selama isolasi Abah Tabib melakukan kegiatan positif untuk menghabiskan waktu di lingkungan sekitarnya. Ia rajin menyemprotkan cairan disinfektan ke tendanya. Selain itu, ia juga mengubah tepian sungai yang sebelumnya kurang tertata jadi lebih bersih dan apik.
“Selama isolasi banyak yang saya kerjakan. Saya bikin tangga, terus memperbaiki saluran air dari atas, terus semak-semak yang banyak itu saya bersihkan, sampah juga saya bersihkan,” katanya.
Meski sudah di kampung halaman, ia mengaku tetap merasa berisiko menularkan penyakit ke keluarganya. Ia tetap menahan diri untuk melepas rindu dengan istri dan empat anaknya.
“Sampai di sini saya tidak langsung ketemu anak dan isteri. Isteri saya ada di rumah mertua. Isteri saya juga paham dan meminta saya jangan dulu ketemu, sampai anak perempuan saya sudah nangis-nangis saja minta ketemu,” katanya.
Akhirnya, ia bisa bertemu anak dan istrinya pada hari keempat setelah isolasi. Itu pun mereka berjarak 2-3 meter, tanpa saling menyentuh.
“Akhirnya ketemu tapi gak berpelukan. Memeluk anak dan istri belum bisa,” ujarnya.*
Baca juga: Akademisi: Tradisi mudik bisa picu gelombang kedua penularan COVID-19
Baca juga: Peneliti: Arus balik jadi gelombang kedua COVID-19 di Jakarta
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020
Tags: