APD langka, pemkot Osaka minta warga donasi jas hujan plastik
15 April 2020 16:13 WIB
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe melepaskan maskernya saat tiba untuk memberi keterangan kepada media mengenai tanggapan pemerintah mengenai virus corona (COVID-19) di kediamannya di Tokyo, Jepang, Senin (6/4/2020). (REUTERS/Issei Kato/wsj/djo)
Tokyo (ANTARA) - Pemerintah Kota Osaka di Jepang menerbitkan surat permintaan mendesak yang memohon warga menyumbangkan jas hujan plastik ke para tenaga medis di rumah sakit karena alat pelindung diri (APD) mulai langka.
Pasalnya, sejumlah dokter dan tenaga kesehatan yang merawat pasien COVID-19 mulai mengenakan kantong sampah sebagai alat pelindung diri.
Otoritas di Jepang pada minggu lalu menetapkan status darurat di Tokyo dan enam wilayah lain, termasuk di antaranya Osaka. Akan tetapi, jumlah pasien terus bertambah sampai mencapai 8.200 jiwa dan 166 korban tewas.
Laporan dari media setempat menyebutkan jumlah pasien COVID-19 di Osaka dan prefektur sekitarnya hampir mencapai 900 orang pada Rabu siang. Osaka pun jadi daerah kedua yang terdampak parah di Jepang setelah Tokyo.
Baca juga: Jepang akan umumkan keadaan darurat di Prefektur Aichi
Baca juga: Pembuat ventilator hewan Jepang tingkatkan produk buat pasien corona
Laman resmi Pemerintah Kota Osaka mengumumkan pihaknya menerima sumbangan jas hujan warna dan jenis apa pun, asalkan alat itu dapat digunakan untuk orang dewasa. Pemkot Osaka juga menerima sumbangan poncho, jas hujan berbentuk jubah.
Langkah itu dilakukan karena pemerintah kota berupaya meningkatkan persediaan alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan.
Wali kota Osaka, Ichiro Matsui, di hadapan rakyatnya, Selasa (14/4) mengatakan sejumlah fasilitas kesehatan menghadapi kelangkaan seluruh jenis alat pelindung diri.
"Beberapa orang bahkan mengenakan kantong sampah," kata dia.
"Kami meminta ke siapa pun yang memiliki jas hujan tidak terpakai di rumah, atau yang memiliki stok lebih, agar menghubungi kami," kata Matsui.
Tenaga medis di Jepang dalam beberapa minggu terakhir telah mengingatkan sistem kesehatan dapat kewalahan menghadapi lonjakan pasien COVID-19. Sejumlah perawat mengatakan mereka tidak yakin rumah sakit memiliki persediaan cukup untuk alat pelindung diri seperti masker N95 dan jubah operasi.
Beberapa perawat di Tokyo mengaku mereka diminta untuk menggunakan kembali masker yang telah dipakai.
Menteri Kesehatan Katsunobu Kato telah menemui sejumlah pengusaha pada minggu lalu. Ia mendesak mereka untuk meningkatkan produksi masker dan kebutuhan medis lainnya.
Di tengah kelangkaan itu, pengguna media sosial mengatakan mereka mulai menerima masker kain yang dibuat dari pakaian bekas. Perdana Menteri Shinzo Abe pada dua pekan lalu berjanji akan mengirim masker kain ke tiap rumah di Jepang.
Rencana itu dikritik banyak pengguna media sosial.
Dengan tagar "Dua Masker" - merujuk pada jumlah masker yang diberikan ke tiap rumah terlepas dari jumlah anggota keluarga -- banyak pengguna Twitter mengatakan masker itu terlalu kecil untuk orang dewasa.
Sejumlah pengguna media sosial mengkritik langkah itu merupakan pemborosan uang pajak mengingat anggaran itu dapat digunakan untuk subsidi sebagai bantuan yang dibutuhkan warga.
Abe menerima tekanan untuk berbuat lebih banyak, antara lain membebaskan tagihan seluruh warga sebagaimana yang telah dilakukan negara lain.
"Apa kalian dapat membayar sewa (rumah, red) dengan ini (masker, red)? atau tagihan air, atau tagihan listrik?" kata seorang pengguna Twitter dengan nama "Kayase".
"Siapa pun yang senang mendapatkan masker pasti tidak punya masalah lain," tambah dia.
Sumber: Reuters
Baca juga: Dengan tirai plastik, toko serba ada Jepang terapkan jarak sosial
Baca juga: Narita siapkan tempat tidur kardus, pelancong tunggu hasil tes corona
Pasalnya, sejumlah dokter dan tenaga kesehatan yang merawat pasien COVID-19 mulai mengenakan kantong sampah sebagai alat pelindung diri.
Otoritas di Jepang pada minggu lalu menetapkan status darurat di Tokyo dan enam wilayah lain, termasuk di antaranya Osaka. Akan tetapi, jumlah pasien terus bertambah sampai mencapai 8.200 jiwa dan 166 korban tewas.
Laporan dari media setempat menyebutkan jumlah pasien COVID-19 di Osaka dan prefektur sekitarnya hampir mencapai 900 orang pada Rabu siang. Osaka pun jadi daerah kedua yang terdampak parah di Jepang setelah Tokyo.
Baca juga: Jepang akan umumkan keadaan darurat di Prefektur Aichi
Baca juga: Pembuat ventilator hewan Jepang tingkatkan produk buat pasien corona
Laman resmi Pemerintah Kota Osaka mengumumkan pihaknya menerima sumbangan jas hujan warna dan jenis apa pun, asalkan alat itu dapat digunakan untuk orang dewasa. Pemkot Osaka juga menerima sumbangan poncho, jas hujan berbentuk jubah.
Langkah itu dilakukan karena pemerintah kota berupaya meningkatkan persediaan alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan.
Wali kota Osaka, Ichiro Matsui, di hadapan rakyatnya, Selasa (14/4) mengatakan sejumlah fasilitas kesehatan menghadapi kelangkaan seluruh jenis alat pelindung diri.
"Beberapa orang bahkan mengenakan kantong sampah," kata dia.
"Kami meminta ke siapa pun yang memiliki jas hujan tidak terpakai di rumah, atau yang memiliki stok lebih, agar menghubungi kami," kata Matsui.
Tenaga medis di Jepang dalam beberapa minggu terakhir telah mengingatkan sistem kesehatan dapat kewalahan menghadapi lonjakan pasien COVID-19. Sejumlah perawat mengatakan mereka tidak yakin rumah sakit memiliki persediaan cukup untuk alat pelindung diri seperti masker N95 dan jubah operasi.
Beberapa perawat di Tokyo mengaku mereka diminta untuk menggunakan kembali masker yang telah dipakai.
Menteri Kesehatan Katsunobu Kato telah menemui sejumlah pengusaha pada minggu lalu. Ia mendesak mereka untuk meningkatkan produksi masker dan kebutuhan medis lainnya.
Di tengah kelangkaan itu, pengguna media sosial mengatakan mereka mulai menerima masker kain yang dibuat dari pakaian bekas. Perdana Menteri Shinzo Abe pada dua pekan lalu berjanji akan mengirim masker kain ke tiap rumah di Jepang.
Rencana itu dikritik banyak pengguna media sosial.
Dengan tagar "Dua Masker" - merujuk pada jumlah masker yang diberikan ke tiap rumah terlepas dari jumlah anggota keluarga -- banyak pengguna Twitter mengatakan masker itu terlalu kecil untuk orang dewasa.
Sejumlah pengguna media sosial mengkritik langkah itu merupakan pemborosan uang pajak mengingat anggaran itu dapat digunakan untuk subsidi sebagai bantuan yang dibutuhkan warga.
Abe menerima tekanan untuk berbuat lebih banyak, antara lain membebaskan tagihan seluruh warga sebagaimana yang telah dilakukan negara lain.
"Apa kalian dapat membayar sewa (rumah, red) dengan ini (masker, red)? atau tagihan air, atau tagihan listrik?" kata seorang pengguna Twitter dengan nama "Kayase".
"Siapa pun yang senang mendapatkan masker pasti tidak punya masalah lain," tambah dia.
Sumber: Reuters
Baca juga: Dengan tirai plastik, toko serba ada Jepang terapkan jarak sosial
Baca juga: Narita siapkan tempat tidur kardus, pelancong tunggu hasil tes corona
Penerjemah: Genta Tenri Mawangi
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020
Tags: