BBPOM Kalbar sita Formav-D untuk diteliti khasiat dan efeknya
15 April 2020 15:05 WIB
Ilustrasi - Balai BPOM Pontianak menyita 4.198 kemasan dari 57 item berbagai merek kosmetik ilegal hasil razia bersama Korwas PPNS Ditreskrimum Polda Kalbar. ANTARA/Handout/aa.
Pontianak (ANTARA) - Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOm) Provinsi Kalbar, Rabu, menyita ribuan kapsul obat atau jamu Formav-D yang diklaim mampu menyembuhkan COVID-19 untuk diteliti khasiat dan efeknya.
"Penyitaan ini sebagai tindak lanjut dari kami karena ada keluhan dari masyarakat yang menggunakannya sehingga diketahui kandungan isinya," kata kata Plt BBPOM Kalbar, Ketut Ayu Sarwutini di Pontianak.
Setiap obat atau jamu harusnya ada izin dari BBPOM dan setelah dilakukan uji laboratorium nantinya baru bisa diketahui.
"Obat itu tidak hanya untuk mengobati saja, tetapi perlu juga diketahui apakah obat itu ada efek samping atau tidak, hal itulah yang nantinya akan diteliti," ungkapnya.
Baca juga: PM China ajak ASEAN kembangkan obat dan vaksin COVID-19
Baca juga: Indonesia sudah memproduksi obat COVID-19? Cek faktanya
Baca juga: Obat dan makanan diberikan ke jemaah tabligh Indonesia di Filipina
Obat DBD dan Tifus
Sementara itu, Fachrul Lutfhi penemu obat atau jamu racikan Formav-D membenarkan BBPOM Kalbar telah menyita ribuan butir obat Formav-D dan bahan baku obat lainnya untuk diteliti.
"Silakan saja BBPOM Kalbar melakukan penelitian terhadap obat yang saya racik, salah satunya Formav-D yang sudah 10 tahun ini membantu masyarakat dalam mengobati sakit DBD (demam berdarah dengue), tifus dan saat ini juga bisa mengobati COVID-19," ujarnya.
Dirinya juga yakin, kalau obat atau sejenis jamu racikannya itu tidak berbahaya karena sudah hampir sepuluh tahun ini tidak ada keluhan, dan memang bahan bakunya juga banyak di jual di pasar.
"Apalagi dalam hal ini, saya memang berniat membantu masyarakat untuk mengobati sakit DBD misalnya, dan bukan untuk dipasarkan," ujarnya.
Ia melanjutkan, selama ini masyarakat Kota Pontianak dan sekitarnya sudah mengenal Formav-D untuk menyembuhkan pasien DBD dan tifus khususnya.
Lutfi menemukan formulasi untuk Formav-D pada tahun 2006 secara tak sengaja. Pada tahun 2010 semakin banyak yang mengetahui Formav-D terutama untuk penyakit DBD dan tifus.*
Baca juga: Trump sebut dirinya mungkin gunakan obat untuk virus corona
Baca juga: Peneliti Monash University temukan obat potensial lawan COVID-19
Baca juga: Perusahaan obat andalkan sistem order digital saat pandemi COVID-19
"Penyitaan ini sebagai tindak lanjut dari kami karena ada keluhan dari masyarakat yang menggunakannya sehingga diketahui kandungan isinya," kata kata Plt BBPOM Kalbar, Ketut Ayu Sarwutini di Pontianak.
Setiap obat atau jamu harusnya ada izin dari BBPOM dan setelah dilakukan uji laboratorium nantinya baru bisa diketahui.
"Obat itu tidak hanya untuk mengobati saja, tetapi perlu juga diketahui apakah obat itu ada efek samping atau tidak, hal itulah yang nantinya akan diteliti," ungkapnya.
Baca juga: PM China ajak ASEAN kembangkan obat dan vaksin COVID-19
Baca juga: Indonesia sudah memproduksi obat COVID-19? Cek faktanya
Baca juga: Obat dan makanan diberikan ke jemaah tabligh Indonesia di Filipina
Obat DBD dan Tifus
Sementara itu, Fachrul Lutfhi penemu obat atau jamu racikan Formav-D membenarkan BBPOM Kalbar telah menyita ribuan butir obat Formav-D dan bahan baku obat lainnya untuk diteliti.
"Silakan saja BBPOM Kalbar melakukan penelitian terhadap obat yang saya racik, salah satunya Formav-D yang sudah 10 tahun ini membantu masyarakat dalam mengobati sakit DBD (demam berdarah dengue), tifus dan saat ini juga bisa mengobati COVID-19," ujarnya.
Dirinya juga yakin, kalau obat atau sejenis jamu racikannya itu tidak berbahaya karena sudah hampir sepuluh tahun ini tidak ada keluhan, dan memang bahan bakunya juga banyak di jual di pasar.
"Apalagi dalam hal ini, saya memang berniat membantu masyarakat untuk mengobati sakit DBD misalnya, dan bukan untuk dipasarkan," ujarnya.
Ia melanjutkan, selama ini masyarakat Kota Pontianak dan sekitarnya sudah mengenal Formav-D untuk menyembuhkan pasien DBD dan tifus khususnya.
Lutfi menemukan formulasi untuk Formav-D pada tahun 2006 secara tak sengaja. Pada tahun 2010 semakin banyak yang mengetahui Formav-D terutama untuk penyakit DBD dan tifus.*
Baca juga: Trump sebut dirinya mungkin gunakan obat untuk virus corona
Baca juga: Peneliti Monash University temukan obat potensial lawan COVID-19
Baca juga: Perusahaan obat andalkan sistem order digital saat pandemi COVID-19
Pewarta: Andilala
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020
Tags: