Jakarta (ANTARA News) - Dua pemimpin negara berkembang utama, Presiden Luiz Inacio Lula da Silva dari Brasil dan Presiden Hu Jintao dari China awal pekan ini telah menyudahi pertemuan pentingnya di Beijing.

Pertemuan yang digambarkan sebagai realisasi "kemitraan strategis" dua kekuatan ekonomi negara berkembang utama itu tidak hanya membahas masalah politik, namun juga masalah teknologi, perdagangan bilateral dan keuangan internasional.

Seorang pejabat Brasil dari Departemen Luar Negeri, Roberto Jaguaribe, menyebut pertemuan Lula dan Hu itu sebagai upaya membahas reorganisasi serangkaian peristiwa internasional dan memantapkan posisi agar ikut memainkan peranan besar di percaturan dunia.

Peran kemitraan Beijing dan Brasilia dalam kancah internasional memang sudah terbukti bisa semakin meningkatkan posisi tawar sebagai "wakil" negara-negara berkembang terhadap negara-negara maju, terutama dalam satu dekade terakhir.

Mulai dari percaturan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Dana Moneter Internasional (IMF), hingga pertemuan puncak kelompok 20 negara berpengaruh dalam ekonomi dunia (G-20) belum lama ini di London, dua negara tersebut berupaya mendesakkan reformasi tata hubungan ekonomi internasional, termasuk di lembaga multilateral dunia.

Bagi China dan Brasil, dengan perekonomiannya yang terus meningkat dan mampu tetap positif di tengah krisis ekonomi global, sementara di AS, Jepang dan Eropa terjadi resesi ekonomi mengharuskan tata ekonomi internasional harus ditata ulang. Bahkan dua negara ini memiliki keserupaan dalam usulannya tentang perlunya mata uang dunia yang "tidak terkait dengan satu negara" saja.

Kemitraan Meningkat


Setelah bertahun-tahun merenda "kemitraan strategis", buah hasilnya semakin terasa bagi dua kekuatan ekonomi dari Amerika Latin dan Asia Pasifik itu. Terutama Brasil, yang di tengah kondisi krisis ekonomi global sempat khawatir negerinya akan ikut terpuruk, ternyata hubungan dengan Chia sangat menguntungkannya.

Pada awal awal tahun ini Brasil telah memperkirakan ekspor utamanya dari besi, kedelai dan bahan bakar akan merugi hingga 970 juta pound. Tetapi pada akhirnya ramalan negatif itu meleset jauh, karena empat bulan pertama tahun 2009 menunjukkan volume penjualan kedelai dan benih ke China justru melompat 70,1 persen, sementara untuk besi melonjak 51,3 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2008.

Data lain yang lebih meyakinkan terlihat pada pertumbuhan pesat ekspor minyak dan produk turunannya yang mencapai 251 persen. "Kami melakukan kesalahan besar dalam memproyeksikan hal ini sebelumnya," ujar Rodrigo Maciel, Sekretaris Eksekutif Dewan Bisnis Brasil-China seperti dikutip BBC.

Pakar ekonomi Brazil, Allesandro Ribeiro dari Konsultansi Tendecias di Sao Paulo, menyebutkan adanya "potensi besar" hubungan tersebut semakin berkembang", karena China bisa membantu dalam penanaman modal di proyek-proyek eksplorasi di wilayah bergaram dan juga wilayah ekonomi lain di Brasil, sementara di pihak China membutuhkan produk yang dimiliki Brasil seperti besi dan aluminium, untuk proyek infrastruktur seperti rel kereta.

Tidak mengherankan, ekspor Brasil ke China naik tajam 64,7 persen dalam empat bulan pertama tahun 2009 dibandingkan periode yang sama tahun lalu, dan kemitraan dua negara tersebut untuk pertama kali, di bulan Maret dan April tahun ini menjadikan China menjadi mitra dagang utama Brasil menggantikan posisi Amerika Serikat.

Di sektor energi, China bermitra dengan Brasil sangat diuntungkan karena sebuah kesepakatan yang dicapai dalam pertemuan kedua pemimpin ini menyebut Brasil akan memasok 100.000 hingga 160.000 barel minyak per hari dengan harga pasar, dan sebagai imbalannya adalah pinjaman 10 miliar dolar AS dari Bank Pembangunan Cina untuk mengembangkan sumber minyak utama Brasil.

`Menyingkirkan` Dolar AS

Pertemuan Lula dan Hu di Beijing juga merealisasikan ide bersama yang telah mereka munculkan saat berjumpa di pertemuan puncak G-20 awal tahun ini yaitu transaksi perdagangan bilateral yang tidak menggunakan dolar AS, namun menggunakan mata uang masing-masing, real dan renminbi.

Meski pembicaraan "menyingkirkan" dolar AS itu masih tahap awal, namun ditegaskan para pejabat dari dua negara itu, upaya itu akan mencapai tujuannya secara pasti dan model transaksi pembayaran ini tidak memakai model "currency swap agreement".

"Currency swap agreement" merupakan perjanjian untuk transaksi jual/beli di antara dua mata uang asing yang diikuti dengan perjanjian akan dijual/dibeli ulang pada masa yang akan datang selama periode tertentu.

"Dalam hal ini `currency swap? tidak terkait. Kami sekarang membahas bagaimana merealisasikan nantinya bahwa Brasil akan membayar barang-barang China memakai uang real dan China membayar barang-barang Brasil menggunakan uang renmimbi," kata seorang pejabat di Bank Sentral Brasil seperti dikutip Financial Times (18/5).

Dengan model transaksi perdagangan yang "tidak memakai" dolar AS, tentunya sangat disukai China yang memilki cadangan devisa terbesar di dunia ini karena mata uang yang hanya dikaitkan satu negara saja membuat ketergantungan terhadap satu negara tersebut. Celakanya, bila negara tersebut terkena krisis, seperti saat ini AS yang menjadi biang krisis ekonomi dunia, maka negara lain, terutama negara berkembang dan miskin yang ikut menggunakan dolar AS untuk transaksi pembayaran, yang sebetulnya bersih (innocent) menjadi terkena dampak buruknya.

Gubernur Bank Sentral China, Zhou Xiaochuan memang telah berulangkali mengemukakan usulannya di forum internasional untuk menggantikan dolar AS sebagai mata uang transaksi utama dunia dengan mata uang internasional "yang tidak terkait dengan negara secara individual".

Bagi Zhou, untuk menciptakan mata uang internasional sebenarnya mudah, dan bias diaplikasikan dalam bentuk semacam "special drawing rights" (SDR), unit mata uang yang digunakan Dana Moneter Internasional (IMF).

SDR sendiri adalah sebuah standar ukuran nilai mata uang IMF untuk penarikan dana yang didasarkan dari nilai sejumlah mata uang utama, di antaranya dolar AS, yen dan euro dengan jumlah tetap.

Dengan model SDR ini, maka tidak terjadi ketergantungan kepada mata uang satu negara saja, yang sesungguhnya sangat berisiko.

Bagi China dan Brasil, seiring dengan meningkatnya perdagangan dua kekuatan ekonomi negara berkembang itu di tengah resesi ekonomi masih menyelimuti negara-negara maju termasuk AS, "penyingkiran" dolar AS di perdagangan bilateral akan sungguh bermakna karena bisa memantapkan mata uang miliknya negara masing-masing.

Seorang pembantu Lula da Silva yang mengiringi kunjungan presidennya ke Beijing mengungkapkan bahwa kemauan politik untuk meningkatkan hubungan Brasil dengan China sangat jelas tampak dalam pertemuan di kunjungan itu.

Bahkan, dua gubernur bank sentral, Henrique Meirelles dari Brasil and Zhou Xiaochuan dari China, telah diminta segera untuk saling bertemu mendiskusikan hingga operasionalnya.

"Sesuatu yang tidak terpikirkan 10 tahun lalu sekarang ini bakal terjadi," kata pembantu Lula da Silva seperti dikutip Financial Times. "Mata uang yang kuat seperti real dan renminbi memiliki kapabilitas sebagai mata uang transaksi perdagangan."(*)